Selama ribuan tahun, Sungai Musi telah menjadi moda transportasi tumpuan masyarakat Sumatera. Aneka macam hasil bumi, termasuk rempah, didistribusikan melalui anak-anak sungainya.
Yusami (65), pedagang di Pasar Sekanak, Kelurahan Ilir, Kecamatan Palembang, terkantuk-kantuk di depan toko kelontong kecilnya. Sejak pagi buta, tak satu kapal pun berlabuh di dermaga untuk sekadar membeli kebutuhan sehari-hari.
Letak toko Yusami hanya beberapa langkah dari pinggir Sungai Musi. ”Sepuluh tahun terakhir dermaga ini semakin sepi. Jarang sekali perahu-perahu yang mau mampir,” ucapnya, Maret lalu.
Kini, di Pasar Sekanak tinggal tersisa 60-an pedagang. Padahal, sekitar 10 tahun lalu ada lebih dari 100 pedagang di pasar itu. Konsumen mereka adalah pembeli yang hilir mudik naik perahu di Sungai Musi.
Jika ditarik ke ratusan tahun sebelumnya, selain Sungai Musi, ada sembilan sungai lain yang memegang peran sangat penting pada masa Kerajaan Sriwijaya sekitar abad ke-7 hingga abad ke-13. Kesembilan sungai itu dikenal dengan sebutan Batanghari Sembilan, terdiri dari Sungai Kikim, Sungai Kelingi, Sungai Lakitan, Sungai Rawas, Sungai Lematang, Sungai Enim, Sungai Ogan, Sungai Banyuasin, dan Sungai Komering. Semua sungai itu, kecuali Sungai Banyuasin, bermuara di Sungai Musi.
Menurut catatan Sevenhoven, pada 1821-1822 rempah dibawa melalui jalur sungai untuk dijual di sejumlah pasar di Palembang, salah satunya ke Pasar Sekanak.
”Dahulu, walaupun tidak ada jalan darat, tidak ada istilah daerah terpencil di Sumatera Selatan. Sebab, semua daerah bisa terhubung melalui anak-anak sungai dan sungai besar. Keberadaan sungai-sungai itu ibarat jalan tol di masa Sriwijaya,” ujar arkeolog Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti.
Melayarkan rempah
Batanghari Sembilan baru benar-benar digunakan sebagai moda transportasi perdagangan rempah pada masa Kesultanan Palembang Darussalam (1659-1821). MH Court dalam laporannya menyebutkan, Batanghari Sembilan melayarkan aneka macam hasil perkebunan seperti lada, beras, dan kapas di Sungai Lematang; beras, lada, dan rotan di Sungai Ogan; serta lada dan beras di Sungai Komering dan Banyuasin.
JI van Sevenhoven dalam buku Lukisan tentang Ibukota Palembang juga menyinggung tentang rempah pada masa Kesultanan Palembang yang didatangkan pedalaman Sumatera Selatan dan Pulau Bangka. Kedua daerah itu merupakan wilayah jajahan Kesultanan Palembang.
Menurut catatan Sevenhoven, pada 1821-1822 rempah dibawa melalui jalur sungai untuk dijual di sejumlah pasar di Palembang, salah satunya ke Pasar Sekanak. Rempah yang diangkut ke sana bermacam-macam, seperti lada panjang 10 buah dengan harga 0,06 gulden, lada biasa 1,5 gantang 0,06 gulden, kunyit segantang 0,075 gulden, jintan sekati 0,10 gulden, jahe muda seikat 0,05 gulden, daun sirih 50 helai 0,025 gulden, dan pinang 10 buah 0,025 gulden.
”Hingga masa kesultanan, sungai tetap memegang peranan penting, baik sebagai jalur perdagangan maupun alat legitimasi pejabat kesultanan, untuk memperluas pengaruhnya di wilayah pedalaman Sumatera Selatan,” ucap Retno.
Seiring dengan runtuhnya Kesultanan Palembang pada 1821, peran anak-anak Sungai Musi sebagai penghubung arus perdagangan dari pedalaman ke kota berangsur-angsur surut. ”Belanda mengubah pola hidup dan wajah kota Palembang dari kota air menjadi kota daratan. Banyak sungai ditimbun untuk dibangun jalanan di atasnya,” tutur pemerhati sejarah Palembang, Yudhi Syarofie.
Perubahan-perubahan ini mencapai puncaknya ketika Palembang dijadikan kota atau gemeente sesuai undang-undang desentralisasi yang berlaku pada 1 April 1906. Walaupun sudah dijadikan kota, pembangunan Palembang secara berkelanjutan baru dimulai sejak 1929 ketika arsitek Thomas Karsten membuat pemetaan penataan kota (Dedi Irwanto Muhammad Santun, Venesia dari Timur, Memaknai Produksi dan Reproduksi Simbolik Kota Palembang dari Kolonial sampai Pascakolonial, 2011) .
Untuk menciptakan infrastruktur kota, Belanda membangun daratan dengan membangun jalan pada daerah aliran sungai yang terdapat di kota. Mereka banyak menimbun sungai dan rawa-rawa untuk mempersatukan pulau-pulau yang dipisahkan oleh aliran sungai-sungai tersebut. Sungai Tengkuruk menjadi anak sungai pertama yang ditimbun untuk dijadikan boulevard kota pada 1929-1930. Selanjutnya, Sungai Kapuran dan Sungai Sekanak juga ditimbun untuk menghubungkan pusat kota dengan kompleks permukiman Eropa di Talang Semut pada 1932.
”Peran sungai semakin memudar ketika Belanda membangun akses jalan dari Palembang ke wilayah-wilayah pedalaman di Sumatera Selatan. Mereka juga membangun jaringan kereta api yang menghubungkan Palembang dengan wilayah pedalaman Sumatera Selatan pada 1911-1927,” tambah Yudhi.
Tak bersisa
Meski catatan sejarah banyak menyebut Sumatera Selatan dan sekitarnya sebagai salah satu sentra rempah pada masa Sriwijaya, para arkeolog hingga saat ini belum berhasil menemukan bukti-bukti arkeologis. Meski demikian, hal tersebut tidak berarti bahwa dahulu rempah tidak tumbuh dan diperdagangkan di sana.
Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Budi Wiyana menjelaskan, jejak tanaman hasil perkebunan ataupun rempah dari masa Sriwijaya kemungkinan sudah hancur sehingga sulit ditemukan saat ini. Apalagi pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang dan sekitarnya memiliki kondisi geografis berupa tanah rawa gambut dengan kadar asam tinggi.
”Tanah di Sumatera bagian timur berupa rawa gambut yang asam. Fosil ataupun artefak cepat rusak jika terendam di air asam, apalagi rempah yang mudah hancur,” katanya.
Meski jejak lamanya sulit ditemukan, perkebunan rempah pada masa Sriwijaya kemungkinan besar sempat berkembang di kawasan pantai timur Sumatera Selatan yang berdekatan dengan Pulau Bangka, daerah penghasil lada sekarang. Di daerah ini ditemukan pula fosil damar yang dulu juga menjadi komoditas perdagangan ke China dan India selain lada.
Dengan segala kondisinya sekarang yang sudah banyak berubah, Batanghari Sembilan pernah mengambil peran penting dalam sejarah perdagangan rempah Sriwijaya. Anak-anak Sungai Musi itu menjadi saksi sejarah kejayaan rempah Sumatera. (DRI/ABK/MKN)