Dahulu, harga pala jauh di atas emas. Nilai setengah kilogram pala setara dengan 7 lembu gemuk! Namun, sekarang, harga ”buah-buah ajaib” itu turun drastis dan masyarakat kesulitan menciptakan nilai tambah.
Jalan dengan lebar lebih kurang 5 meter itu baru akan terlihat ramai jika ada kapal penumpang atau kapal yang membawa wisatawan singgah di Pulau Naira, Kepulauan Banda, Maluku. Di sisinya berjejer belasan kios kecil menawarkan aneka rupa penganan ringan berbahan pala dengan olahan sangat sederhana.
Ada manisan pala, selai pala, dan dodol pala yang dikemas dalam plastik bening. Ada juga sirup pala yang diisi dalam botol bekas minuman. Semuanya itu terbuat dari daging buah pala (Myristica fragrans) yang biasanya dibuang petani. Petani pala hanya mengambil bagian biji dan bunga untuk dijual.
Komposisi buah pala terdiri dari daging, bunga, cangkang, dan biji. Pala dipanen tiga kali setahun setelah berumur minimal lima tahun. Sekali panen, satu pohon dapat menghasilkan hingga 5.000 buah.
Manisan pala dijual berkisar Rp 7.000 per kemasan dan dodol pala Rp 10.000 per kemasan. Saribanon Tan (70), pedagang, menuturkan, dalam satu bulan, penghasilan dari menjual manisan pala paling banyak Rp 200.000. Artinya, manisan pala yang laku tak lebih dari 29 bungkus. Begitu juga dodol pala, tak banyak yang laku.
”Tergantung kapal. Kalau kapal penumpang dan kapal turis tidak datang, di sini sepi. Kalau tidak laku selama enam bulan, kami buang karena sudah kedaluwarsa. Dari zaman Belanda, orangtua kami buat barang ini,” katanya sembari memberikan sepotong manisan pala untuk dicoba. Itulah inovasi tertinggi yang mampu dikerjakan ibu-ibu Banda dalam skala industri rumah tangga.
Sementara biji dan bunga tak mampu diolah menjadi lebih bernilai. Setelah dipanen dan dijemur, biji dan bunga dibawa kepada pengepul untuk disortir dan diberi harga. Biji kualitas super kini dihargai Rp 75.000 per kilogram, biji kelas dua (bentuk keriput) Rp 55.000 per kilogram, dan kelas tiga (pecahan) Rp 30.000 per kilogram.
Harga biji pala kini cenderung turun dibandingkan sebelum tahun 2010 yang sempat mencapai Rp 190.000 per kilogram. Petani sedikit terhibur dengan harga bunga pala yang berada pada kisaran Rp 120.000 per kilogram. Namun, dalam satu buah, bobot bunga tak seberapa dibandingkan bobot biji. Dari 1.000 buah pala yang dipanen, bobot biji sekitar 3 kilogram, sedangkan bobot bunga tak lebih dari 8 ons.
Petani tak pernah tahu harga yang sesungguhnya di Pulau Jawa atau di belahan negara lain yang menjadi tujuan ekspor pala dari Banda. Padahal, pala menjadi bahan baku industri makanan, minuman, dan obat-obatan yang setelah diproduksi berlipat ganda harganya. Bahkan, setelah dipasarkan, produk olahan itu kembali dijual di Banda.
Dulu diburu
Kualitas pala Banda memang sudah dikenal jauh sebelum era kolonial. Sejak ratusan, bahkan mungkin ribuan tahun lalu, pedagang Melayu, China, India, dan Arab sudah masuk ke Banda membeli pala dan selanjutnya dijual hingga ke Eropa.
Pedagang Eropa pertama kali sampai di Banda berasal dari Portugis dengan membawa dua kapal masing-masing di bawah pimpinan Antonio de Abreu dan Francisco Serrao. Abreu dan Serrao diperintahkan Laksamana Alfonso de Albuquerque yang menaklukkan Maluku pada tahun 1511 sebagai tanda awal kolonialisme Eropa di Nusantara.
Perjalanan mereka dipandu nakhoda Melayu bernama Ismail. Mereka tiba di Banda pada Januari 1512 dan menemukan banyak pedagang Arab yang sudah tiba sekitar 100 tahun sebelumnya. Perjalanan hingga tiba di Banda itu ditulis Serrao seperti dikutip Des Alwi dalam bukunya, Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon.
Harga pala dan rempah-rempah lain di Eropa semakin menggila dan memicu perburuan sehingga mengubah peta sejarah dunia. Harga 1 kilogram pala di Eropa kala itu lebih mahal dari harga 1 kilogram emas. Namun, kini nilai 1 kilogram pala hanyalah 0,00015 dari harga 1 kilogram emas dengan asumsi harga Rp 500.000 per gram emas.
Menurut Herdin La Raru (33), pengepul pala di Naira, pala Banda sangat berkualitas dan lebih disukai pembeli. Namun, belakangan harga cenderung turun karena pala Banda berjamur lantaran proses pengeringan tidak maksimal.
”Kata pembeli dari Surabaya (Jawa Timur), begitu sudah harga pasarnya. Apalagi kalau kondisi politik dan keamanan tidak stabil. Orang luar negeri tidak berani masuk Indonesia untuk beli pala,” kata Herdin.
Pala dari Banda umumnya dibawa ke Surabaya menggunakan kapal Pelni. ”Tahun 2015 sebanyak 582 ton dan tahun 2016 sebanyak 412 ton. Dari jumlah itu, 80 persen berupa biji pala dan sisanya bunga pala,” kata Muhammad Adriansyah, Kepala Subcabang PT Pelni Banda Naira. Pala itu diekspor ke China, Timur Tengah, dan Eropa.
Warisan korupsi
Des mencatat, sebelum Perang Dunia II, jumlah pohon pala di Banda mencapai 480.000 pohon. Setelah dikuasai Jepang, banyak pohon pala dimusnahkan dan diganti dengan umbi-umbian untuk makanan tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka, kebun pala Banda milik Belanda atau per dinasionalisasikan pada 1957.
Untuk mengelolanya, Pemerintah Provinsi Maluku membentuk PT Perkebunan Pala Banda pada 1986, tetapi akhirnya hancur tahun 1994 karena korupsi. Pemerintah pusat pun mengambil alih dengan membentuk PT Banda Permai dengan mengakomodasi Pemprov Maluku dan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira. Saat itu, jumlah pohon pala tinggal 31.000 pohon dan banyak di antaranya berumur lebih dari 70 tahun sehingga tidak produktif. Perjalanannya pun diwarnai dengan praktik korupsi sehingga nasibnya kini suram.
Sebelumnya, pengelolaan pala dengan sistem bagi hasil, yakni 30 persen untuk perusahaan (pemprov dan yayasan) dan 70 persen untuk masyarakat. Perusahaan berkewajiban mengatur pemasaran pala dengan harga yang lebih bagus tanpa melalui tengkulak yang cenderung merugikan petani.
Korupsi pengolahan pala kini seperti sejarah Serikat Dagang Hindia Timur (VOC) Belanda yang berdiri pada 1602 dan akhirnya bubar pada 1799. Salah satu penyebab kebangkrutan VOC adalah korupsi. VOC didirikan untuk urusan dagang rempah-rempah, termasuk pala.
Pemprov Maluku hingga kini belum punya konsep mengembangkan potensi pala Banda. Membantu pemasaran pun seperti tak terdengar. Potensi pala Banda yang dahulu diburu kini tak punya nilai. Harga biji dan bunga dalam kendali tengkulak, sedangkan dagingnya hanya berubah rupa menjadi sekelas dodol dan manisan.
[kompas-highchart id=”luas_areal_pala”]
[kompas-highchart id=”harga_pala”]
Nilai tambah
Pongky van den Broeke (61), pemilik perkebunan pala di Pulau Banda Besar sekaligus generasi ke-13 perkenier Belanda, mengatakan, saat ini produksi pala Banda turun akibat kebanyakan pohon telah tua. Adapun pohon-pohon yang muda belum berbuah optimal.
”Pada 1997-1998, satu kali panen bisa dapat 5 ton biji pala. Sekarang, sekali panen paling tinggi hanya 2 ton,” kata Pongky. Kondisi itu masih diperparah dengan rendahnya harga jual biji pala saat ini, yakni Rp 75.000 kilogram untuk kualitas tertinggi (super).
Pongky mengatakan, selama ini pemerintah sudah sering menggelar penyuluhan soal pemberian nilai tambah pala. Namun, hal itu hanya berhenti di penyuluhan dan tidak pernah sampai kepada praktik atau bantuan riil kepada petani untuk mendongkrak nilai tambah itu. ”Petani membutuhkan bantuan riil, seperti proses perizinan dipermudah, modal, hingga pemasaran,” katanya.
Pongky pernah mencoba mengolah pala untuk dijadikan minyak asiri sebagai bahan baku kosmetik atau parfum pada 2002. Saat itu, 1 liter minyak asiri dihargai Rp 600.000.
Namun, sejak lima tahun lalu usahanya itu berhenti. Salah satunya karena kesulitan bahan baku. Untuk diolah menjadi minyak asiri, diperlukan pala muda atau pala yang rontok dari pohon sebelum waktunya. Namun, pala jenis itu hanya sedikit tersedia.
”Pernah ada permintaan dari Korea Selatan untuk memasok 3 ton minyak asiri per bulan. Saya tidak sanggup. Andaikan seluruh pala di Banda ini dikumpulkan pun, tidak akan bisa memenuhi permintaan itu,” kata Pongky.
Karena itu, Pongky sekarang memilih fokus pada usaha pembibitan pala yang dapat memberi nilai tambah lebih besar ketimbang hanya menjual biji. Pembibitan pala dilakukannya sejak enam tahun lalu.
Ia mengatakan, 1 kilogram pala sekitar 300 biji. Jika dijual sebagai biji kualitas super, hasil yang diperoleh hanya Rp 75.000. Namun, jika biji itu dibibitkan hingga menjadi kecambah, harganya menjadi Rp 1.500 per kecambah atau berarti bernilai total Rp 450.000 untuk 300 biji tadi.
”Harga makin tinggi kalau bibit dijual saat berusia empat bulan, yakni Rp 5.000 per bibit,” ujar Pongky. (FRANSISKUS PATI HERIN/MOHAMAD FINAL DAENG/ALOYSIUS B KURNIAWAN)