Kompas/Priyombodo

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Co Firing

Kompor Pelet ”Made in” SMKN 2 Ende

·sekitar 4 menit baca

Biomassa dari sampah organis bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar memasak untuk sektor rumah tangga. Inovasi siswa SMK Negeri 2 Ende, Nusa Tenggara Timur, patut diapresiasi lewat kompor pelet.

Oleh Fransiskus Pati Herin

Anjelo Genda (16) memotong lempengan seng menggunakan mesin. Seng lalu dilipat membentuk kotak. Di setiap sudutnya dilas dengan potongan besi penopang. Inilah bentuk dasar kompor pelet karya siswa SMK Negeri 2 Ende, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.

Pada Jumat (8/10/2021) itu, Anjelo bersama tujuh siswa yang lain sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Ada yang memotong lempengan besi, mengelas dudukan kompor, merancang dapur pembakaran, dan lainnya. Dibutuhkan setidaknya 14 komponen untuk dirangkai menjadi satu unit kompor pelet.

Kompor tersebut berbahan bakar pelet yang diproduksi dari sampah organik. Sampah dari dedaunan dicacah kemudian digiling. Ruang dapur pada kompor mampu menampung pelet sebanyak 700 gram.

Kompor itu tingginya 40 sentimeter (cm), lebar 32 cm, dengan bobot 6,5 kilogram (kg). Inilah bentuk ketiga yang dihasilkan sejak para siswa itu bereksperimen membuat kompor pelet mulai Agustus 2021. Didampingi guru, mereka berusaha menemukan model kompor ideal. Tak tertutup kemungkinan mereka akan mendesain model terbaru.

Untuk produksi kompor pelet ini, SMKN 2 Ende berkolaborasi dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kerja sama itu bagian dari program tanggung jawab sosial perusahaan PLN. Sejauh ini, sudah 252 unit kompor, semuanya pesanan PLN. Karena masih dalam tahap uji coba, kompor belum diproduksi massal.

”Produksi masih sesuai pesanan untuk diuji coba dulu. Jika nanti masyarakat tertarik, akan dilakukan produksi lebih banyak lagi,” ujar Kepala SMKN 2 Ende Fransico Soares. Satu kompor dengan harga jual Rp 450.000 itu diperkirakan dapat digunakan hingga 10 tahun.

Kompas/Priyombodo

Aktivitas siswa di bengkel kerja pembuatan komplet atau kompor pelet di SMK Negeri 2 Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Jumat (8/10/2021). Kompor pelet merupakan inovasi dari siswa SMK Negeri 2 Ende yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kompor minyak tanah.

Menurut Soares, penggunaan kompor pelet lebih efisien dibandingkan dengan kompor minyak tanah. Kebanyakan masyarakat di Ende menggunakan kompor minyak. Kompor elpiji belum terlalu populer. Biaya yang dikeluarkan satu rumah tangga untuk kompor minyak di atas Rp 200.000 per bulan.

”Kalau untuk kompor pelet, mungkin mahal saat pembelian kompor, tetapi selanjutnya untuk beli pelet tidak sampai Rp 100.000 per bulan. Biaya itu untuk hitungan harga pelet Rp 600 per kg. Ini kan jauh lebih murah,” kata Soares.

Masalah sampah

Soares mengatakan, semangat dari produksi kompor pelet adalah mendorong pengolahan sampah di Ende. Dalam satu hari, produksi sampah di Ende mencapai 110,86 ton di mana 70 persen di antaranya jenis sampah organik. Sebagian sampah itu belum dikelola dengan baik.

Kehadiran kompor pelet bermaksud merangsang pemerintah daerah dan masyarakat untuk mengolah sampah organik menjadi pelet. Proses produksi pelet tidak sulit dan butuh dua mesin, yakni mesin pencacah dan mesin produksi. Prosesnya berlangsung cepat.

Dalam pengolahan ini, masyarakat bisa saja tidak perlu membeli pelet. Dengan membawa sampah organik ke lokasi pengolahan, masyarakat dapat menukarnya dengan pelet. Program barter sampah organik dengan pelet mulai digaungkan untuk membangkitkan partisipasi masyarakat.

”Tujuan kompor pelet ini adalah bagaimana sampah-sampah di kota ini dapat ditangani dengan baik. Kompor ini hanya media,” katanya.

Kompas/Priyombodo

Stephanus Retang (35) mencacah sampah bio massa dari rumput kering untuk dibuat pelet di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). Pelet dimanfaatkan oleh PLTU Ropa sebagai substitusi atau campuran batubara pada metode co-firing sebesar 5 persen.

Berdasarkan pantauan Kompas, sampah di sejumlah sudut Ende belum tertangani. Tempat pembuangan sampah juga tidak banyak.

Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Ende Petrus Djata mengakui, sampah masih menjadi masalah di daerah itu. Seperti gayung bersambut, Pemerintah Kabupaten Ende sudah berkolaborasi dengan PLN untuk pengolahan sampah. Saat ini sudah ada satu unit mesin pengolahan sampah dan pelet bantuan PLN.

Mesin itu sudah diuji coba memproduksi puluhan ton pelet yang digunakan untuk bahan bakar di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) pada Juni 2021. Pelet dengan komposisi 5 persen dicampur dengan batubara yang merupakan bahan bakar utama PLTU. Uji coba berlangsung lima hari dan kebutuhan pelet 15 ton per hari.

Menurut Petrus, keberlanjutan dari produksi pelet, baik untuk bahan bakar di PLTU maupun kompor pelet, menjadi tantangan ke depan. Di kota Ende, butuh enam unit mesin pengolahan sampah menjadi pelet. Lagi-lagi, anggaran menjadi kendala. Harga satu unit mesin pengolahan Rp 750 juta.

Pemkab Ende menargetkan, tahun 2030, sekitar 10.000 rumah tangga di Ende sudah menggunakan kompor pelet. Sasaran sampai ke desa-desa. ”Ke depan seiring dengan pertumbuhan penduduk, ketersediaan kayu bakar juga pasti berkurang. Ini bisa diantisipasi dengan kompor pelet,” kata Petrus.

Kompas/Priyombodo

Aktivitas siswa di bengkel kerja pembuatan komplet atau kompor pelet di SMK Negeri 2 Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Jumat (8/10/2021). Mereka tengah mengerjakan pesanan 200 unit kompor pelet.

Manajer PLN Unit Pelaksana Pembangkitan Flores Lambok Siregar mengatakan, semua unsur yang diperlukan untuk mendorong penanganan sampah lewat kompor pelet sudah terpenuhi. Ada material sampah, ada tempat produksi kompor pelet, dan mesin pengolah pelet. Untuk akselerasi program, perlu intervensi kebijakan dari pemda. Perlu fokus dengan target kerja terukur.

Menurut dia, kunci keberhasilan program itu adalah partisipasi masyarakat. Masyarakat Ende yang sebagian besar terjalin dalam kekerabatan dan hubungan keluarga menjadi modal sosial untuk digerakkan mendukung program ini. Masyarakat harus dijadikan subyek. PLN sudah memulainya di Desa Keliwumbu, sekitar 90 kilometer dari kota Ende.

Lambok Siregar optimistis gerakan itu akan masif. Secara khusus, ia mengapresiasi gerak cepat SMKN 2 Ende yang terus bereksperimen menghasilkan kompor pelet hingga inovasi ketiga. Sekolah bahkan sudah membuat kemasan kompor itu dengan memberi nama ”Komplet Sare Pawe”. Ya, Komplet made in SMKN 2 Ende.

Artikel Lainnya