Oleh: Tatang Mulyana Sinaga
Beroperasi sejak 39 tahun lalu, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, masih perkasa menghasilkan listrik berkapasitas 140 megawatt (MW) dari tiga unit pembangkit. Keberlangsungan PLTP pertama di Indonesia itu bergantung pada ketersediaan air di sekitarnya. Sebagian petani diberdayakan menanam kopi untuk menjaga kawasan resapan air untuk dapat memanen energi berkelanjutan.
Udara sejuk pegunungan mengiringi langkah Sudarman (55) memasuki kebun kopi di samping PLTP Kamojang, Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Kamis (30/9/2021) pagi. Bunga kopi berwarna putih bermekaran di lahan berketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut tersebut.
Ratusan pohon kopi arabika tumbuh di antara puluhan pohon eukaliptus. Tak hanya bermanfaat bagi Sudarman dan 35 petani lainnya, kebun seluas 2 hektar itu juga turut mendukung operasional PLTP Kamojang.
“PLTP perlu air untuk dijadikan uap sehingga menghasilkan listrik. Sementara petani butuh diberdayakan agar kopi tumbuh subur dan menambah nilai jual dengan pengolahan yang baik. Jadi, saling menguntungkan,” ujarnya.
Sejak tiga tahun lalu, Sudarman dan puluhan petani lainnya bekerja sama dengan Indonesia Power sebagai pengelola PLTP Kamojang. Petani yang sebelumnya hanya menjual buah ceri kopi, kini dapat mengolah serta menjualnya dalam bentuk beras kopi (green bean) dan bubuk. Bahkan, kulit kopi diolah menjadi teh kaskara sehingga bernilai ekonomi.
Ia bercerita, lima tahun lalu buah ceri kopi dijual dengan harga di bawah Rp 5.000 per kilogram kepada pengepul. Petani belum mempunyai keterampilan dan peralatan memadai untuk mengolah kopi sehingga menghasilkan nilai tambah. Harga panen kopi yang murah membuat banyak petani di Dusun Kamojang, Desa Laksana, Ibun, enggan merawat kebunnya. Imbasnya, pohon kopi tidak produktif. Kebun kopi ditumbuhi alang-alang.
“Sebagian petani kembali menanam sayuran. Hal ini kurang baik bagi lingkungan karena tidak optimal dalam menahan air. Tetapi, kalau bertahan menanam kopi tanpa pengolahan, petani akan merugi,” ujarnya.
Melalui Kelompok Tani Gunung Kamojang, Sudarman dan sejumlah petani lainnya diberi berbagai pelatihan, mulai dari cara menanam kopi hingga proses pascapanen. Mereka juga mendapatkan bantuan beberapa alat pengolahan kopi, seperti mesin pengupas kulit basah atau pulper, pengupas kulit kering atau huler, grinder, dan mesin sangrai.
Berbekal pelatihan dan peralatan itu, petani semakin terampil mengolah kopi. Mereka tak lagi menjual hasil panen berbentuk buah ceri. Saat ini, produksi beras kopi dijual seharga Rp 125.000 per kg untuk kategori spesial dan Rp 100.000 per kg untuk reguler. Sementara bubuk kopi full wash dihargai Rp 50.000 per kemasan 150 gram. Sejak dua tahun lalu, mereka telah menjual kopi dengan merek sendiri bernama Wanaka Kopi.
Dengan budi daya dan pengolahan yang tepat, cita rasa kopi asal Kamojang mampu bersaing dengan sentra kopi dari daerah lain. Terbukti pada 2020, Sudarman meraih juara pertama Kontes Kopi Spesialti Indonesia untuk kategori arabika full wash dan semi wash.
Kelompok Tani Gunung Kamojang juga sedang mengembangkan pengolahan ampas kopi menjadi tepung sebagai bahan pembuatan kue. Sementara kebun kopi menjadi tempat uji coba budi daya lebah madu. “Kami ingin pengolahan kopi di sini zero waste sehingga ampas kopi juga bisa dimanfaatkan. Sementara budi daya lebah akan sangat membantu penyerbukan bunga kopi,” ujarnya.
Beragam nilai tambah dari pengolahan kopi itu memompa gairah petani untuk merawat kebun dan lingkungan sekitarnya. Bahkan, tiga bulan lalu, mereka juga menanam kopi arabika di lahan seluas 4,2 hektar milik Indonesia Power. “Semakin banyak lahan yang ditanami pohon tentu akan lebih baik. Saat ini fokus kami pada pengolahan kopi sehingga pohon yang ditanam pun kopi karena sudah dimengerti petani,” ucapnya.
Iman Kurnia (36), petani lainnya, juga sempat nyaris frustasi menjadi petani kopi. Empat tahun lalu, buah ceri kopi hasil panen kebunnya hanya dihargai Rp 4.000 per kg. Beralih menjadi petani sayur sempat tebersit di pikirannya. Akan tetapi, niat itu pupus setelah ia bergabung dengan Kelompok Tani Gunung Kamojang. Menurut dia, kemitraan pemberdayaan dengan Indonesia Power mendorong petani untuk giat menanam pohon yang bernilai ekonomi.
“Kalau alam rusak, tentu kami warga setempat yang paling pertama merasakan dampak buruknya. Jadi, pola kemitraan dalam menjaga lingkungan mesti dipertahankan,” ujarnya.
Alih fungsi lahan menjadi tantangan kelestarian alam Kamojang. Selain dimanfaatkan untuk kebun tanaman semusim seperti sayuran, sejumlah bidang lahan terjal juga digunakan sebagai lokasi wisata dan tempat berjualan. Kondisi ini berpotensi mengancam menurunnya daya dukung lingkungan terutama di kawasan resapan air.
Manajer Operasi dan Pemeliharaan PT Indonesia Power Kamojang POMU (Power Generation and O&M Services Unit) Wahyu Somantri mengatakan, ketersediaan air sangat penting dalam mendukung operasional PLTP. Oleh karenanya, penanaman pohon akan membantu tanah menyimpan air sehingga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan uap panas.
“Ibaratnya air itu digodok di dalam tanah dan menghasilkan uap. Kalau airnya habis, bagaimana uapnya bisa dihasilkan? Jadi, dengan menanam pohon, akan menjaga kontinuitas air di reservoir,” jelasnya.
PT Indonesia Power Kamojang POMU juga mengelola PLTP Darajat berkapasitas 55 MW di Kabupaten Garut, PLTP Gunung Salak (3 x 60 MW), dan PLTP Ulumbu di Nusa Tenggara Timur (4 x 2,5 MW).
Wahyu menuturkan, selain menanam kopi dengan memberdayakan petani setempat, pihaknya rutin menanam tanaman keras saat memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada bulan Juni. Program penghijauan melibatkan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan Perhutani. “Gunung dan hutan harus terus dijaga agar ketersediaan airnya tetap ada. Pohon kopi cukup bagus untuk membantu menyimpan air dan memberikan manfaat ekonomi bagi petani,” katanya.
Sebagai sumber energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan pembangkit berbahan bakar fosil, PLTP Kamojang ikut mengawal komitmen penggunaan energi terbarukan. Meski pemakaiannya belum optimal, menjaga kelestarian alam untuk mendukung operasionalnya akan membantu mewujudkan masa depan energi yang lebih bersih.