Pembangkit Listrik Tenaga Air

Milenial Membangun PLTA Jatigede untuk Energi Terbarukan

Editor Aris Prasetyo
·sekitar 5 menit baca

Anak muda turut berkontribusi membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air Jatigede di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Mereka harus berpisah dengan keluarga hingga mengawasi rekan kerja yang jauh lebih senior demi mewujudkan energi baru terbarukan.

ABDULLAH FIKRI ASHRI

Puluhan meter di bawah tanah berhawa panas, Senin (27/9/2021), Jefri Nson Tampubolon (28) dan timnya berusaha menembus bukit. Terowongan selebar 4,5 meter dan panjang hampir 700 meter yang disebut horizontal penstock. Pipa pesat itu akan mengalirkan air dari Bendungan Jatigede hingga menyalurkan listrik berkapasitas 2 x 55 megawatt ke rumah warga di sejumlah daerah. Tidak hanya memasok kebutuhan Jawa-Bali sekitar 35.000 MW, listrik itu juga energi baru terbarukan (EBT) ramah lingkungan.

Apalagi, pemerintah ingin meningkatkan porsi penggunaan EBT dari 13,55 persen menjadi 23 persen pada 2050. Saat ini, energi fosil yang suatu saat akan habis masih mendominasi pembangkit listrik di Indonesia dan membebani anggaran pemerintah. Akan tetapi, perjuangan Jefri dan tim tidak mudah. Suhu di terowongan gelap itu bisa mencapai 32 derajat celsius. Selain kipas angin, udara segar datang dari pipa oranye yang terhubung ke daratan. Risiko terowongan ambruk juga mengancam.

Itu sebabnya, pengerjaannya harus hati-hati. Keselamatan menjadi utama. ”Terowongan belum selesai. Masih ada sekitar 60 meter yang belum tembus (bukit). Tanahnya labil,” kata Jefri, supervisor dari Unit Pelaksana Proyek Jawa Bagian Tengah 2 PT PLN (Persero). Hingga pekan ketiga September, pengerjaan horizontal penstock masih 46,15 persen atau setengah dari perencanaan 82,24 persen. Secara keseluruhan, infrastruktur senilai Rp 1,7 triliun itu sudah 88,3 persen dan ditargetkan rampung akhir tahun ini.

Secara nonteknis, kendala pembangunan PLTA juga karena pandemi Covid-19. Awal 2020, kasus suspek virus korona baru terdeteksi di lokasi proyek. Pengerjaan pun terhenti dari April 2020 dan jalan lagi sembilan bulan kemudian atau awal Januari 2021. Pandemi juga memengaruhi akses penerbangan bagi warga negara tertentu. Konsultan Sinohydro, perusahaan asal China yang turut membangun PLTA Jatigede, pun terkendala datang.

Bagi Jefri yang baru tiga tahun di proyek itu, mengawasi sekitar 20 pekerja punya tantangan sendiri. Apalagi, sebagian besar petugas jauh lebih tua dibandingkan dirinya. ”Kami belajar di sini. Kalau ada yang tidak sesuai, kami bawa ke rapat dengan konsultan dan kontraktor,” katanya.

Suhu di terowongan gelap itu bisa mencapai 32 derajat celsius. Selain kipas angin, udara segar datang dari pipa oranye yang terhubung ke daratan. Risiko terowongan ambruk juga mengancam.

Baca juga: Membesarkan Harapan Lewat Bendungan Jatigede

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN

Pembuatan saluran air untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede di Kabupaten Sumedang, Senin (27/9/2021). Saat ini pembangunan PLTA Jatigede dengan kapasitas 2×55 MW sudah mencapai 88,33 persen. PLTA ini memanfaatkan air dari Waduk Jatigede sebagai pendorong turbinnya.

Bersama dua supervisor lainnya, pria asal daerah Danau Toba, Sumatera Utara, itu rutin mengecek terowongan horizontal penstock setiap Senin-Jumat. Jika piket, ia tetap mengawasi pengerjaan pada Sabtu. Jika ada kesempatan, ia mudik sekali setahun demi melepas rindu dengan keluarga. Ia disambut hangat setiap balik ke kampung. ”Orangtua bangga sekali karena saya orang pertama di keluarga yang bisa kerja di BUMN (badan usaha milik negara) seperti PLN,” ucap anak petani itu.

Jefri masih ingat, ia harus menempuh perjalanan sekitar 18 jam dengan bus dari Medan, Sumut, ke Pekanbaru, Kepulauan Riau demi ikut seleksi pegawai PLN pada 2017. Ia pun harus menginap di rumah kos kawannya. Setidaknya tujuh tahap tes ia lalui, mulai dari akademik hingga kesehatan. ”Dari belasan teman yang ikut, hanya saya yang lolos,” kata alumnus Universitas Sumatera Utara itu.

Sebelum Jefri, Eko Mandala Permana (30) sudah bekerja di PLTA Jatigede sejak Oktober 2014 atau ketika usianya sekitar 24 tahun. Alumnus Politeknik Negeri Medan ini juga harus terpisah jarak dengan keluarganya di Sumut. Supervisor di UPPJBT 2 ini bertugas mengawasi pembangunan headrace tunnel, terowongan sepanjang 2,1 kilometer yang menjadi jalur air sebelum ke penstock. Saat ini, pengerjaannya lebih dari 90 persen.

”Saya butuh sebulan beradaptasi. Paling sulit kalau ada pekerja asing, tetapi enggak bisa bahasa Inggris,” ujarnya. Namun, kendala itu bisa teratasi dalam rapat lebih besar bersama konsultan serta kontraktor.

Perempuan satu-satunya

Anak muda lainnya di PLTA Jatigede, Yessy Trafelia (26), juga harus terpisah jarak lebih 220 kilometer dengan keluarga dan suami yang baru dinikahinya akhir 2020. Satu-satunya perempuan di UPP JBT 2 yang terjun langsung ke lapangan ini bertugas mengawasi pembangunan Bendungan Karedok. Bendungan tersebut nantinya tidak hanya menampung air 1,2 juta meter kubik, tetapi juga mengatur aliran air sehingga tidak banjir di daerah hilir, Kabupaten Indramayu. Saat ini progresnya 92,3 persen dan diharapkan selesai akhir tahun ini.

Bendungan tersebut nantinya tidak hanya menampung air 1,2 juta meter kubik, tetapi juga mengatur aliran air sehingga tidak banjir di daerah hilir, Kabupaten Indramayu. Saat ini progresnya 92,3 persen dan diharapkan selesai akhir tahun ini.

Baca juga: PLTA Musi, Penopang Energi Terbarukan di Selatan Sumatera

Bersama tiga rekan lainnya, ia bertanggungjawab mengawasi 30-45 pekerja di bendungan yang semuanya pria dan sebagian besar lebih tua. ”Awal-awal ada yang melihat saya lebih muda. Jadi, ngeyel (tidak mau diatur) kalau diberi tahu. Padahal, saya, kan, supervisor,” katanya.

Akan tetapi, setelah tiga tahun di proyek itu, Yessy mulai beradaptasi. Ia perlahan paham bahasa warga setempat yang bekerja di sana. Komunikasinya dengan kontraktor dan konsultan juga kian lancar. ”Mereka malah lebih mengemong saya seperti anaknya,” kata perempuan mungil yang kerap mengenakan rok di lokasi proyek ini.

Dunia energi memang sudah menjadi impian Yessy. Dari Lampung, kampung halamannya, ia kuliah ke Institut Teknologi PLN, Jakarta. Orangtuanya merupakan pedagang sayur di Pasar Induk Tangerang. ”Alhamdulillah, keluarga support. Saya mau masuk teknik sipil karena kerjanya di pelosok. Saya suka eksplorasi tempat baru. Jadi, punya pengalaman dan relasi baru,” katanya.

Jefri, Eko, dan Yessy merupakan sedikit generasi milenial (berusia 24-39 tahun) yang bekerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, generasi Y atau milenial pada 2019 sekitar 23 persen dari total 268 juta penduduk. Artinya, mereka menjadi bagian dari usia produktif dan sedang meniti karier di berbagai bidang pekerjaan.

Gallup dalam publikasinya berjudul ”How Millenials Want to Work and Live” (2016) memetakan sejumlah ciri generasi milenial menyangkut pekerjaan. Misalnya, milenial mengedepankan komunikasi dua arah antara staf dan atasan. Pada model kepemimpinan gaya lama, atasan bertindak sebagai bos dan cenderung berkomunikasi searah (Kompas, 10/12/2020).

Manajer UPP JBT 2 Agus Pawitra WP mengatakan, hampir semua dari 20 pegawai proyek PLTA Jatigede merupakan milenial. ”Mungkin hanya saya yang di atas 40 tahun. Mereka bekerja keras untuk mewujudkan energi baru terbarukan,” ujarnya.

Kiprah milenial, seperti Jefri, Eko, dan Yessy, dalam pembangunan PLTA Jatigede mungkin akan usia ketika pembangkit itu beroperasi. Namun, mereka telah mencatatkan karyanya untuk energi baru terbarukan yang bisa berusia seumur hidup.

Baca juga: Sosok: Asep Supriadi, Kembali Berdaya di Jatigede

Artikel Lainnya