KOMPAS/AHMAD ARIF

Setiap malam, jalan trans-Kalimantan di ruas Pelaihari, Kecamatan Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, dipenuhi pengendara sepeda motor yang membawa kayu ulin hingga setengah ton per motor, seperti pada Selasa (10/2) dini hari. Banyak pembawa ulin seperti ini yang terjatuh dan tewas di jalan.

Liputan Kompas Nasional

Jelajah Kalimantan: Pengojek Ulin, Menantang Maut di Trans-Kalimantan

·sekitar 3 menit baca

Iring-iringan pengojek ulin berkelat-kelit di antara truk-truk batu bara sarat muatan di jalan aspal penuh lubang. Banyak yang sudah terjatuh, sebagian cedera parah, bahkan ada yang tewas. Namun, mereka nekat melintas tiap hari.

Para pengendara itu disebut pengojek ulin karena sepeda motor mereka dipenuhi muatan kayu ulin seberat rata-rata 0,5 ton.

Hari hampir malam. Darham (40) dan tiga pengojek ulin beristirahat di tepi jalan trans-Kalimantan di daerah Bati-bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Hampir seharian mereka memacu sepeda motor. Mereka hendak membawa kayu ulin yang mereka ambil dari desa-desa di pinggir hutan di Tanah Laut untuk dijual ke Banjarbaru, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, dan Banjarmasin yang berjarak lebih dari 100 kilometer.

Keempat pengendara motor itu melepaskan helm, sarung tangan, dan jaket tebal mereka. Darham bersandar di sadel sepeda motor bebeknya yang telah dimodifikasi. Rodanya diganti dengan roda cangkul yang biasa untuk sepeda motor trail. Tangki bensin yang terletak di bawah jok dipindahkan ke depan, persis di belakang setang.

Jok belakang lantas dipasangi besi melintang untuk menopang kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) seberat setengah ton. Karena beban berat kayu ulin bertumpu pada besi melintang di jok belakang, peredam kejut (shock breaker) pun ditambah sepasang sehingga motor mempunyai empat peredam kejut.

“Biaya untuk memodifikasi peredam kejut Rp 150.000. Dua setang besi untuk menaruh kayu ulin dipesan di tukang las seharga Rp 90.000,” kata Jarni (36), pengojek ulin lain.

Motor yang digunakan, menurut Jarni, umumnya keluaran 1-2 tahun terakhir. Dibutuhkan tenaga mesin yang prima untuk membawa beban seberat itu. “Saya sudah dua kali ganti sepeda motor dalam tiga tahun ini,” kata Jarni.

Dengan motor bebek modifikasi, pengojek ulin ini bisa memacu kecepatan hingga 100 kilometer per jam. “Kalau pelan malah bisa jatuh karena sulit menjaga keseimbangan. Kalau kencang justru aman membawa kayu-kayu itu,” kata Darham.

Namun, dengan laju secepat itu dan beban setengah ton, sepeda motor menjadi sulit dikendalikan. Sudah tak terhitung pengendara yang jatuh dengan tubuh terimpit kayu, kaki atau anggota tubuh patah, bahkan tewas. “Kalau takut, kada (tidak) makan kita. Ada anak-anak di rumah yang butuh makan dan biaya sekolah,” kata Darham, yang memiliki tiga anak ini.

Iming-iming keuntungan tinggi membuat mereka nekat. Kayu ulin mereka beli di desa-desa di dekat hutan dengan harga Rp 25.000-Rp 35.000 per potong, kemudian mereka jual seharga Rp 45.000-Rp 60.000 per potong.

“Sekali angkut, biasanya dapat untung bersih Rp 100.000,”kata Darham. Keuntungan itu sudah dipotong angsuran kredit sepeda motor sebesar Rp 21.000. “Kami hanya sanggup mengangkut ulin dua hari sekali. Badan bisa remuk kalau tiap hari narik kayu,” kata Darham.

Usaha ini menggiurkan karena permintaan akan kayu besi khas Kalimantan itu tinggi, tetapi pasokan kurang karena kayu sudah langka. Akibatnya, di Kalsel saat ini harga kayu ulin melangit, berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta per meter kubik.

Jalur penyedot kayu

Hingga beberapa tahun lalu, para pengojek ulin tak perlu membawa muatan dengan cara yang berisiko. Waktu itu mereka dengan leluasa membawa kayu ulin dengan truk asal bisa membayar uang sogokan kepada aparat. Jalan trans-Kalimantan di ruas ini menjadi saksi jutaan kubik kayu yang dibawa dengan truk-truk setiap harinya.

Tahun 2005, pemerintah menertibkan pembalakan hutan. Truk pengangkut kayu tak bisa lagi bebas berlalu lalang. Para pemain kayu yang kehilangan pekerjaan kemudian berdemonstrasi besar-besaran, yang berujung anarki dengan merusak Kantor DPRD Tanah Laut. Pemerintah Kabupaten Tanah Laut pun memberikan kelonggaran kepada pekerja kayu untuk mengangkut kayu dengan sepeda motor. Sejak itulah muncul pengojek ulin.

Keputusan Bupati Tanah Laut Nomor 35 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pemanfaatan Limbah Kayu Ulin menyebutkan, panjang kayu ulin yang boleh dibawa dengan sepeda motor tidak lebih dari 1,5 meter.

Keputusan itu sempat mengundang kontroversi karena dituding menjadi pembenar bagi perdagangan kayu hasil pembalakan. “Kayu yang dibawa pengojek motor itu bukan limbah, tapi tebangan baru. Karena itu, harus ada penertiban,” kata Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Suhardi.

Namun, pengojek ulin yang tak memiliki alternatif usaha lain tak hirau dengan hal itu. “Kalau dulu yang kami takuti aparat, sekarang kami hanya takut jatuh,” kata Darham, yang pada masa kejayaan pembalakan kayu menjadi sopir truk kayu.

Bagi Darham, keputusan bupati itu menjadi senjata untuk melenggang di jalan trans-Kalimantan dengan memboncengkan kayu ulin. Ia tak khawatir ditangkap aparat. Ia hanya takut jatuh dan mati di jalan…. (HARYO DAMARDONO)

Artikel Lainnya