KOMPAS/EDDY HASBY

Pekerja menggunakan sepeda motor menuju lokasi pemetikan teh di kaki Gunung Dempo, Pagar Alam, Sumatera Selatan, Rabu (17/2).

Liputan Kompas Nasional

Rasa: Nikmatnya Teh Gunung Dempo…

·sekitar 5 menit baca

Warna coklat mengilat, aroma teh yang tajam, dan rasa yang lebih sepat adalah ciri teh asal Gunung Dempo, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, dibandingkan dengan teh-teh pabrikan yang beredar luas di pasaran Indonesia. Posisi tanaman teh yang berada di lereng timur gunung, sehingga mendapat sinar matahari pagi langsung, membuat cita rasa teh Gunung Dempo sangat khas.

Namun, teh itu tidak bisa sembarang dinikmati. Sekitar 90 persen produksi teh Gunung Dempo diperuntukkan bagi pasar ekspor, khususnya ke India dan Eropa. Bahkan, sejumlah merek teh luar negeri juga menggunakan bahan baku dari teh Gunung Dempo.

Sisanya, 10 persen, dan sebagian besar yang berkualitas rendah diperuntukkan bagi pasar lokal dan nasional. “Untuk pasar nasional umumnya dijual sebagai bahan baku teh pabrikan sehingga cita rasa teh Gunung Dempo sudah tidak utuh,” kata Manajer Perkebunan Teh PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Pagar Alam, Budi Susanto, Senin (15/2) di Pagar Alam. Selain itu, hanya sekitar 0,5 persen yang dilempar ke pasaran dalam bentuk teh pabrikan merek Gunung Dempo. Teh kemasan itu umumnya hanya ditemukan di sekitar Pagar Alam, sulit ditemukan di daerah lain, termasuk Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumsel.

Sulitnya menemukan teh Gunung Dempo di luar Pagar Alam karena belum adanya jaringan distribusi yang luas. Selain itu, format produksi pabrik teh Pagar Alam adalah sebagai industri hulu sehingga hasil produksinya memang ditujukan untuk bahan baku teh kemasan dan bukan dijual secara langsung.

Di sisi lain, produksi teh justru terus meningkat walau lahan perkebunan teh tetap. Efisiensi dan mekanisasi pemetikan teh membuat jumlah produksi teh terus bertambah.

Dengan luas perkebunan teh 1.478 hektar, PTPN VII rata-rata menghasilkan 40 ton teh pucuk basah setiap hari dan cenderung terus meningkat. Dalam setahun, produk teh Gunung Dempo rata-rata mencapai 14.000- 17.000 ton teh pucuk basah atau setara 3.600-4.250 ton teh kering.

Selain jaringan penjualan yang sulit, promosi dan kebanggaan penggunaan teh itu juga sangat kurang. Bahkan, di Pagar Alam sendiri, hotel-hotel maupun kantor pemerintahan cenderung menggunakan teh merek pabrikan nasional walau daerahnya sendiri adalah penghasil teh.

Pasar ekspor

Jika kualitas teh terbaik Gunung Dempo diekspor untuk produk teh luar negeri, teh kualitas rendahnya menjadi bahan baku produk teh-teh lokal dan nasional. Namun, untuk memperbaiki cita rasanya, teh-teh kualitas buruk itu dicampur dengan teh-teh kualitas baik dengan campuran tertentu sehingga kualitasnya tidak terlalu buruk.

Harga teh kualitas terbaik berkisar 2,6 dollar Amerika Serikat atau Rp 24.000-Rp 25.000 per kilogram, sedangkan kualitas terendah hanya Rp 6.000-Rp 9.000 per kg.

Acep Sudiar, Sinder Teknik Pengolahan Pabrik Teh PTPN VII Pagar Alam, mengatakan, teh Gunung Dempo berkualitas baik karena menghadap sinar matahari pagi langsung. Sinar matahari selama pukul 07.00- 10.00 membuat proses fotosintesis atau pembakaran zat hijau daun daun teh berlangsung sempurna.

Selain itu, posisi ketinggian teh Gunung Dempo juga paling sesuai, yaitu berkisar 1.000- 1.200 meter di atas permukaan laut. Jika terlalu tinggi, warna teh akan lebih pekat. Jika terlalu rendah, rasa dan aromanya berkurang.

Tanaman teh yang lebih tinggi dan tidak terkena sinar matahari langsung membuat daun teh mudah terkena kabut dan air yang menempel di daun susah hilang. Akibatnya, daun teh rentan terkena cacar daun yang akan mengurangi kualitas daun tehnya.

Pabrik tua

Perkebunan dan pabrik pengolahan Teh Pagar Alam yang saat ini dikelola PTPN VII dimulai pembangunannya pada 2 Mei 1929 oleh sebuah perusahaan Belanda, NV Lanbouw Maata Chapij, merupakan sisa peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Selama perkembangannya, perkebunan teh ini menjadi saksi sejarah perjuangan bangsa. Selama masa Perang Dunia II, perkebunan dikuasai Jepang. Setelah kemerdekaan, perkebunan dikelola oleh Departemen Pertanian. Namun, ketika sengketa dengan Belanda pada 1949-1951, kebun dan pabrik teh dibumihanguskan.

Pabrik kemudian dibangun kembali pada tahun 1951-1958 oleh perusahaan Belanda lain, Cultuur NV Soerabaya. Saat nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda berlangsung hingga tahun 1963, perkebunan dikelola oleh Perusahaan Perkebunan Negara Baru Sumsel dan terus berganti nama, hingga sejak 1996 dikelola oleh PTPN VII.

Pabrik teh dibangun pada tahun 1929 dan hingga kini masih dimanfaatkan secara utuh. Bentuk dan konstruksi pabrik itu masih sama seperti 81 tahun lalu, mulai dari besi hingga papan kayunya. Sebagian papan kayu memang sudah diganti karena lapuk, tetapi papan penggantinya justru lebih cepat rusak dibandingkan dengan papan asli.

Mesin-mesin yang digunakan pun banyak yang masih peninggalan Belanda. Penggunaan mesin baru untuk peningkatan kapasitas produksi masih terbatas.

Untuk mendapatkan teh kualitas terbaik, ungkap Budi, daun teh yang diambil adalah mulai dari batang ujung yang belum membuka yang disebut peko, hingga tiga daun setelah peko. Setelah menjalani proses pelayuan, penggilingan, oksidasi, pengeringan, dan pemilahan, dari teh yang dihasilkan diperoleh 16 jenis teh dengan kualitas yang berbeda satu dengan lainnya.

Teh Kebawetan

Selain Gunung Dempo, perkebunan teh di Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, juga termasuk tua. Perkebunan seluas 2.000 hektaryang kini dikelola PT Sarana Mandiri Mukti itu mulai dibuka tahun 1925 oleh Belanda.

Setelah masa kemerdekaan, pengelolaan perkebunan itu mengalami pasang surut sehingga pada tahun 1989 tanaman lama dicabut dan diganti baru. Saat ini volume produksi teh kering dari perkebunan tersebut dalam setahun rata-rata 1,5 ton per hektar.

“Setelah dikeringkan, teh ini diangkut ke Bandung. Di sanaakan diolah sebelum diekspor. Setiap minggu diangkut 8 ton ke Bandung,” kata Didik Martono, staf bagian umum PT Sarana Mandiri Mukti.

Di Kabawetan juga ada 2.000 hektar perkebunan teh yang dikelola PT Tri Sula, yang merupakan perusahaan penanaman modal asing. Kemudian ada lagi perkebunan teh seluas 600 hektar milik PT Agra Teh Bukit Daun di Kecamatan Bermani Hulu, Kabupaten Rejang Lebong. Teh dari perusahaan ini juga rutin diangkut ke Bandung untuk diolah kemudian diekspor.

Banyaknya perkebunan teh di kawasan hulu Sungai Musi menunjukkan betapa banyak kekayaan alam negara ini. Tidak sedikit pula diminati penggemar teh di dunia. Kini, saatnya untuk membangkitkan dan menggandakan kebanggaan atas produk dalam negeri. (MZW/BOY/WAD/RYO/JAN)

Artikel Lainnya