Liputan Kompas Nasional

Diskusi ”Kompas” Kepulauan Seribu: Menggali ”Harta” Orang Pulo * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 3 menit baca

Rangkaian Hajat Pulang Babang di Pulau Panggang dan Pulau Pramuka, pada kurun Oktober 2011-Juni 2013, bisa menjadi penanda bahwa wisata Kepulauan Seribu tak melulu soal alam. Gelaran itu adalah ikhtiar penggalian ”harta” terpendam warga gugusan pulau karang.

Babang, oleh masyarakat kepulauan, berarti melaut dalam jangka waktu lama, yakni hitungan minggu hingga bulan. Secara filosofi, babang dimaknai perjalanan keluar dengan rencana matang dan bekal cukup, serta secara sadar kembali dalam keadaan lebih sejahtera lahir batin.

Hajatan itu hasil jerih payah peneliti dan seniman Lab Teater bersama warga dan tokoh masyarakat Pulau Panggang-Pulau Pramuka untuk merekonstruksi tradisi. Pulang babang lalu dijadikan nama rangkaian kegiatan itu. Ada bazar dan pameran, pertunjukan kesenian, perlombaan, diskusi, serta pentas teater. Ada pula pelatihan keaktoran, tari, musik, penulisan, tata rias, dan tata panggung.

”Kami tidak lagi bisa berharap dari eksploitasi sesuatu yang kami lakukan berpuluh tahun lalu. Ketika kami menyadari sumber daya alam kami sudah sangat terbatas, kami akhirnya berkesimpulan bahwa kami harus melakukan kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan,” kata Mahariah, tokoh sekaligus aktivis sosial di Pulau Panggang, dalam diskusi tentang Kepulauan Seribu di kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Jumat (8/5).

Harapan Mahariah, warga kepulauan bisa mengenali harta miliknya, jati dirinya, lalu menjaganya sebagai sesuatu yang berharga sekaligus menjadi ikon baru wisata.

Peneliti budaya dari Lab Teater itu meyakini, komunitas di Pulau Panggang, pulau pertama yang dihuni di gugusan pulau itu, tak lain adalah kalangan pelaut-pedagang Islam dengan akar tradisi yang kuat. Perdagangan Nusantara mencapai puncaknya sekitar abad ke-17. Kala itu, Makassar-Banten menjadi poros perniagaan maju sehingga menjadi etnis yang mendominasi penghuni Pulau Panggang.

Dampak baik dan buruk

Lonjakan wisatawan di Kepulauan Seribu beberapa tahun terakhir menimbulkan dampak luar biasa. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah wisatawan domestik ke Kepulauan Seribu meningkat enam kali lipat lebih pada kurun 2010-2013, yakni dari 226.234 orang menjadi 1,482 juta orang.

Dampak buruknya, sesuai data dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, tutupan karang berkurang drastis. Survei awal tahun 2000 menunjukkan, lokasi titik-titik penyelaman di sekitar Pulau Pramuka umumnya memiliki tutupan karang lebih dari 50 persen. Pada survei tahun 2014, 2-3 titik penyelaman dari 10 titik penyelaman tutupannya kurang dari 25 persen.

Peneliti dari Rujak Center for Urban Studies, Dian Tri Irawaty, berpendapat, kerusakan lingkungan lainnya, yaitu lahan terdegradasi, antara lain ditandai dengan erosi, sedimentasi, dan abrasi pantai.

Oleh karena itu, lanjut Dian, selain mengembangkan paket wisata ramah lingkungan, Kepulauan Seribu membutuhkan strategi memberdayakan masyarakat untuk pengembangan pariwisata berbasis komunitas. ”Perlu intervensi dari profesi, seperti penari, pemusik, desainer, grafis, penyanyi, dan seniman, untuk menggali potensi dan bakat masyarakat,” ujarnya.

Adopsi terumbu karang

Selain potensi kebudayaan itu, Mahariah, yang juga guru di Pulau Pramuka, memiliki berbagai gagasan cerdas terutama dalam konsep turisme ramah lingkungan (ecotourism). Program itu antara lain adopsi bibit terumbu karang dan bakau oleh wisatawan dengan membayar Rp 12.000-Rp 20.000 per buah.

Mahariah mengusulkan, Pemkab Administrasi Kepulauan Seribu membuat payung hukum peraturan daerah yang mengatur tentang pungutan retribusi wisatawan. Dalam pungutan itu bisa dimasukkan iuran imbal balik terhadap potensi alam yang sudah dipakai para wisatawan. Imbal balik itu bisa berupa menanam karang atau menyetok ulang ikan hias.

”Ini juga bisa menjadi solusi bagi petani karang yang tidak bisa lagi menjual karang ke luar pulau karena ada moratorium. Nantinya, karang mereka jual kepada pengunjung untuk ditanam lagi. Perencanaannya bisa dibicarakan pemkab dan Taman Nasional,” ujarnya.

Mahariah berpendapat, masing-masing pulau berpenghuni di Kepulauan Seribu harus memiliki pembeda. Di Pulau Pramuka, tempatnya tinggal, ia mencoba mengembangkan pusat pendidikan dan pengolahan sampah. Di Pulau Untung Jawa ada budi daya kerang menjadi suvenir cantik, seperti lampu hias, bros, tempat tisu, dan bingkai kaca. Potensi dan kreativitas itu bisa dikembangkan jadi destinasi baru di luar pesona alam. (MUKHAMAD KURNIAWAN/DIAN DEWI PURNAMASARI)

Artikel Lainnya