Dari genteng rumah, Nuraini (56) menadah air hujan, lalu mengalirkannya melalui pipa-pipa paralon ke tong, jeriken, dan ember. Penampung ia tempatkan di depan dan kanan-kiri rumah. ”Ini bekal menghadapi kemarau,” ujarnya.
Oleh MUKHAMAD KURNIAWAN
Hujan deras yang mengguyur Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Senin (9/2), membuat semua penampung milik Nuraini segera penuh. Ember dan jeriken bekas wadah minyak goreng pun telah ia keluarkan. Musim hujan selalu menjadi momentum berburu cadangan air.
Tetangga Nuraini, Manap (56), menyiapkan tandon berukuran ekstra besar khusus untuk menampung air hujan. Satu tandon berkapasitas 1.500 liter, satu lagi ukuran 2.000 liter. Manap menempatkannya di halaman rumah.
”Air tampungan cukup untuk memasak atau minum sekeluarga 2-3 bulan. Namun, kami tak menggunakannya saat ini karena air sumur masih tawar saat hujan sering turun seperti ini. Biasanya air sumur berubah menjadi payau atau asin saat musim kemarau,” kata Manap.
Air hujan untuk minum? Barangkali aneh dan tak wajar bagi sebagian orang. Namun, bagi Manap dan sejumlah warga Pulau Pramuka, air hujan terasa lebih enak dibandingkan dengan air sumur yang payau. ”Sejak kecil saya minum air hujan dan (tubuh) baik-baik saja sampai sekarang,” kata Manap.
Pada saat kemarau panjang, warga kepulauan lebih menderita lagi. Air sumur berubah jadi payau dan asin. Warga tak bisa lagi memanfaatkannya untuk minum atau memasak. Ketika itu, air bersih didatangkan dari daratan Jakarta atau Tangerang dengan kapal-kapal pengangkut melalui Muara Angke, Marina Ancol, ataupun Tanjung Pasir. Harganya pun mahal.
Kini ratusan keluarga di Pulau Pramuka masih berebut air tanah dan menadah air hujan karena pasokan air bersih belum mencukupi. Badan Pusat Statistik mencatat ada 3.930 penampung hujan dan 710 sumur di Kelurahan Pulau Panggang (meliputi Pulau Pramuka) untuk pemenuhan kebutuhan air bersih.
Ketersediaan air bersih menjadi masalah krusial warga Pulau Pramuka dan umumnya penghuni gugusan pulau karang di Kepulauan Seribu. Tak ada sumber air permukaan seperti sungai atau mata air di pulau-pulau itu.
Kondisi air tanah sangat bergantung pada kepadatan vegetasi dan ketebalan lapisan tanahnya. Dari sisi ini, Pulau Pramuka dianggap lebih baik dibandingkan dengan Pulau Panggang yang gundul dan padat penduduk. Mayoritas air sumur di Panggang payau meski hujan masih sering turun.
Keadaan geologi Kepulauan Seribu umumnya terbentuk dari batuan kapur, karang, atau pasir, serta sedimen dari Pulau Jawa dan Laut Jawa. Jenis tanah di daratan berupa pasir koral yang merupakan hasil pelapukan batu gamping terumbu koral.
Pada beberapa pulau, termasuk Pulau Pramuka, ada daratan pantai yang ditumbuhi bakau sehingga ditemui lapisan tanah organik hasil pelapukan tumbuhan dan material yang terbawa arus laut lalu tertahan akar pohon bakau.
Lebih mudah
Menurut sejumlah warga, relatif mudah mendapatkan air tawar di Pulau Pramuka ketimbang Pulau Panggang. Pada musim hujan, sebagian sumur warga yang tinggal di pinggir pantai Pulau Pramuka pun tawar. Kondisi itu dimanfaatkan sejumlah pemilik sumur untuk menyedot dan mengolah air tanah lalu menjualnya ke warga Pulau Pramuka lain serta ”diekspor” ke Pulau Panggang.
Satu galon air tanah yang telah disaring dijual Rp 5.000. Sebagian warga Pulau Pramuka memanfaatkannya untuk memasak dan minum sehari-hari.
Lalu lintas perdagangan air meningkat saat musim kemarau. Warga mengandalkan air sumur milik tetangga atau milik saudaranya yang masih tawar untuk memasak atau minum, sementara kebutuhan mandi dan cuci-kakus dengan air payau.
Namun, tak sedikit yang terpaksa membeli air minum kemasan yang harganya lebih mahal karena tambahan ongkos distribusi, seperti kemasan galon 19 liter yang mencapai Rp 23.000. Padahal, air dalam kemasan serupa masih dijual Rp 15.000-Rp 16.000 per galon di Jakarta.
Alhasil, hanya sebagian warga yang mampu secara ekonomi yang bisa mengonsumsi air dalam kemasan tersebut.
Persoalan air bersih seperti penyakit yang menahun bagi warga Kepulauan Seribu. Berulang kali pemerintah berjanji memenuhi kebutuhan air bersih dengan sejumlah program, termasuk membangun instalasi reverse osmosis (RO), pengolah air laut menjadi air tawar. Namun, kapasitasnya tak mencukupi atau usianya tak lama karena alasan ongkos pengolahan dan perawatan yang mahal.
Tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana membangun empat instalasi pengolahan air di empat pulau Kepulauan Seribu.
Bupati Kepulauan Seribu Tri Djoko Sri Margianto menyebutkan, dua instalasi pengolah air yang masing-masing berkapasitas 900 meter kubik per detik dibangun di Pulau Harapan dan Pulau Kelapa, sementara instalasi di Pulau Panggang berkapasitas 500 meter kubik per detik dan di Pulau Pramuka 250 meter kubik per detik.
Pembangunan instalasi-instalasi tersebut direncanakan mulai pertengahan tahun dan ditargetkan rampung pada akhir tahun ini. Seluruhnya didanai pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta.
Instalasi akan menggunakan air laut sebagai bahan baku pengolahan dan mengalirkannya ke rumah-rumah warga melalui jaringan perpipaan. Pengelolaan instalasi akan diserahkan kepada Suku Dinas Tata Air Kabupaten Kepulauan Seribu.
Dengan beroperasinya instalasi pengolah air skala besar itu, lanjut Tri Djoko, kebutuhan air bersih warga dapat dipenuhi, setidaknya bagi penduduk di empat pulau tersebut. Pasokan diklaim bisa mencapai 150 liter per orang per hari.
Jika benar demikian, rencana itu menjadi kabar menggembirakan bagi Nuraini, Manap, dan warga Kepulauan Seribu lain yang kini masih menadah hujan. Mereka ingin, selain jumlahnya mencukupi kebutuhan, harga air bersih tersebut terjangkau oleh warga sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM).
Pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dengan menjamin kebutuhan pokok air minum masyarakat. Syaratnya, air memenuhi standar kualitas, kuantitas, dan kontinuitas. Semoga bukan hanya janji lagi.