Pulau Panggang tak hanya terpadat di Kepulauan Seribu, tetapi juga diyakini sebagai hunian tertua di gugusan pulau-pulau di sebelah utara daratan Jakarta. Pulau Panggang bahkan menjadi ”pemasok” penghuni bagi Pulau Pramuka.
Hal ini mengacu pada situasi dirintisnya pusat pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu di Pulau Pramuka tahun 1980-an.
”Kala itu, kami dari Pulau Panggang diminta pindah menghuni Pulau Pramuka. Tentu saja diawali dengan kegiatan membuka lahan yang sebelumnya berupa pepohonan dan semak belukar,” ujar Siti Sumiati (63).
Siti Sumiati adalah bidan yang sudah hampir 40 tahun mengabdi di Pulau Panggang dan Pramuka. Rumahnya terletak di Pulau Pramuka, tak jauh dari dermaga dan rumah sakit umum daerah, dan kantor bupati Kepulauan Seribu. Perbincangan dengan Sumiati dengan sendirinya mengungkap relasi antara Pulau Panggang dan pulau-pulau lainnya di wilayah Kepulauan Seribu.
Sebelum bertemu Bidan Sum (panggilan akrab Sumiati), Kompas terlebih dulu bercakap-cakap dengan Mahariah, guru SD di Pulau Panggang, yang bermukim di Pulau Pramuka. Sumiati dan Mahariah memiliki kemiripan rutinitas: bolak-balik Panggang-Pramuka untuk tugas pengabdian.
Dari keduanya diperoleh gambaran bahwa Pulau Pramuka dan Pulau Panggang adalah satu kesatuan sosial-budaya dan ekonomi. Orang-orang yang menghuni Pulau Pramuka tak lain adalah orang-orang Pulau Panggang. Bisa disebut, dua pulau ini memiliki hubungan yang kuat secara geografi dan demografi.
Pulau Pramuka dan Pulau Panggang sangat dekat secara geografis, hanya berjarak 1 km. Keduanya terhubungkan kapal ojek yang berdurasi 20-30 menit. Anak-anak Pulau Panggang melanjutkan pendidikan SMP dan SMA di Pulau Pramuka. Sebaliknya, tak sedikit orang Pulau Pramuka bekerja di kantor lurah dan puskesmas, serta mengajar di Pulau Panggang.
Dari Dermaga Pulau Pramuka, Pulau Panggang tampak kelihatan. Tentang hal ini, orang Jakarta suka berseloroh dengan menyebut jarak kedua pulau ini hanya sepelemparan batu.
Dengan nada berseloroh, Mahariah mengibaratkan Pulau Panggang dan Pulau Pramuka sebagai satu tarikan napas. Sama-sama saling menghidupkan.
Pintu gerbang
Bagi orang luar Kepulauan Seribu, Pulau Pramuka diibaratkan sebagai pintu gerbang Pulau Panggang. Untuk menjangkau Pulau Panggang, orang terlebih dulu harus menginjakkan kaki di Pulau Pramuka. Sebab, dermaga yang layak disinggahi kapal besar terletak di Pulau Pramuka. Sementara Pulau Panggang tak mempunyai dermaga yang layak dirapati kapal besar.
Dermaga yang tersedia di Pulau Panggang hanya layak untuk kapal ojek dan perahu nelayan berkapasitas 20-25 orang. Pulau Panggang dikelilingi karang yang membuatnya sulit disinggahi kapal berpenumpang di atas 50 orang.
Pokoknya, bagi orang Jakarta, Pulau Panggang mustahil bisa dijangkau tanpa terlebih dulu mendarat di Pulau Pramuka. Begitu pula saat pulang ke Jakarta, mustahil tanpa bertolak dari Dermaga Pulau Pramuka.
Anak-anak Pulau Panggang melanjutkan pendidikan SMP di Pulau Pramuka dengan mengandalkan kapal ojek.
Timbal balik
Sebagian nelayan Pulau Panggang menjual ikan di Pulau Pramuka. Sejumlah pembuat sate gepuk (penganan khas berbahan ikan tongkol) dari Pulau Panggang juga memasarkan produk mereka di warung-warung dekat Dermaga Pulau Pramuka.
Sepulang dari Pulau Pramuka, mereka membawa bahan lain seperti sayur mayur, gula pasir, dan minyak goreng.
Dalam kegiatan kepariwisataan, kedua pulau ini juga saling bergantung. Kebutuhan akan penginapan bagi para wisatawan hanya bisa dipenuhi di Pulau Pramuka.
Sebaliknya, menginap di Pulau Panggang hanya bisa dilakukan dengan menumpang di rumah nelayan atau sengaja begadang di atas geladak kapal nelayan sambil menunggu saat berangkat menangkap ikan saat fajar menyingsing.
Di Pulau Pramuka, terutama dekat dermaga, berjajar puluhan home stay. Kondisi lahan di Pulau Pramuka yang berstruktur pasir dan tanah lebih memungkinkan untuk dibangun penginapan dan home stay ketimbang Pulau Panggang. Apalagi, Pulau Pramuka yang luasnya 26 hektar (dua kali dari Pulau panggang), tidak sepadat Pulau Panggang. Lapisan tanah yang tebal disertai vegetasi yang subur memungkinkan Pulau Pramuka juga memiliki sumber air bersih dari tanah. Walaupun sedikit payau, rasanya tak seasin air di Pulau Panggang.
Namun, kegiatan pariwisata di Pulau Pramuka banyak bergantung dari Pulau Panggang. Banyak pemandu yang diving atau snorkeling adalah warga Panggang, demikian juga perahu yang disewa untuk menuju titik selam banyak yang dipunyai nelayan Pulau Panggang.
Kegiatan wisata konservasi, seperti adopsi karang di Pramuka, juga mengandalkan hasil transplantasi karang budidaya warga Pulau Panggang. Saat tim Kompas berkelana tempo hari, tampak sejumlah karyawan perusahaan multinasional tengah menjalankan aktivitas konservasi. Dipandu dua warga Pulau Panggang, Lupus dan Ismail, mereka belajar mencangkok (transplantasi) karang dan menanam bakau. Ibaratnya, laboratorium konservasi Pulau Panggang sebagian berlokasi di pantai Pulau Pramuka.
Geliat ekonomi Pulau Pramuka tak membuat mata warga Pulau Panggang silau. Meski lahan di Pulau Pramuka terbentang luas, tak semua warga Pulau Panggang tertarik pindah. Sebagian besar dari 4.133 jiwa penduduk Pulau Panggang tetap setia bertahan di pulau kelahirannya. Warga tetap bergeming di tengah sesaknya Pulau Panggang dan kian asinnya sumur tanah karena intrusi air laut.
Tak mudah pindah
Wacana pemerintah merelokasi penduduk ke pulau-pulau lain yang belum terhuni disambut dingin warga Pulau Panggang. Alasannya, selain sudah enak berkumpul dan kawin-mawin di Pulau Panggang, membangun kehidupan baru di pulau lain tidaklah sesederhana yang dibayangkan.
”Di sini kalau mau kerja keras sedikit gampang nyari duit, tinggal mancing ke laut, ikannya yang datang sendiri menyambar umpan,” kata Euce (48), Orang Pulo yang membuka usaha sate gepuk, penganan khas sejenis pepes ikan. Perempuan asal Bogor itu menunjuk gerombolan ikan seukuran lebar telapak tangan berkejaran di sela batuan kerang di dasar dermaga.
Bila Pulau Pramuka saja yang berdaya dukung lingkungan memadai tak menggoda hati orang-orang Pulau Panggang untuk berpindah hunian, apalagi pulau-pulau lain. Data statistik menyebutkan, Kelurahan Panggang terbagi atas 13 pulau. Yang terhuni secara komunal alias berpola kampung hanya Pulau Panggang dan Pulau Pramuka. Mayoritas lainnya, atau 11 pulau lainnya, sudah terkapling untuk kepentingan khusus. Misalnya, untuk perkantoran dan pemakaman di Pulau Karya.
Tak kalah ironis adalah sebagian besar pulau tak berpenghuni itu sudah dikuasai secara pribadi untuk keperluan peristirahatan. (PRASETYO EKO P/NASRULLAH NARA)