Di sebuah pondok di tepi laut, Ismail menunjukkan sejumlah sampel hasil transplantasi karang yang dilakukannya. Bersama sekelompok nelayan, aktivis lingkungan ini memang giat membudidayakan terumbu karang. Aktivitas itu adalah bagian dari wisata konservasi dan perbaikan terumbu karang di sekitar kawasan Pulau Panggang dan Pulau Pramuka.
Pulau Panggang dan Pulau Pramuka bertetangga, hanya terpisahkan 1 kilometer. Dua pulau ini memiliki relasi secara historis, ekonomis, dan demografi.
”Karang jenis ini tumbuh sekitar 1 sentimeter per bulan. Sementara karang yang dipakai warga untuk reklamasi dan fondasi rumah itu sangat lambat tumbuhnya, hanya sekitar 1 sentimeter per tahun,” katanya, medio Juni lalu.
Terumbu karang sudah banyak yang rusak karena kegiatan manusia. Mulai karena limbah, pemakaian potasium, ditambang buat fondasi rumah, sampai kegiatan pariwisata.
Eksploitasi selama beberapa dekade di gugusan Kepulauan Seribu membuat terumbu karang terdegradasi. Tingginya tekanan terhadap kondisi perairan, seperti polusi, tumpahan minyak, perubahan fungsi habitat, pemanasan global, dan berbagai sebab terjadinya kerusakan.
Pada sisi lain, masyarakat Kepulauan Seribu, termasuk di Pulau Panggang, pulau terpadat, sangat bergantung terhadap sumber daya yang ada di terumbu karang. Mereka mencari ikan-ikan karang, seperti kerapu. Selain itu, mereka juga memanfaatkan karang masif sebagai material penimbunan laut dan sebagai bahan bangunan.
Sayangnya, arah pengembangan kawasan ini, menurut Mahariah, tokoh masyarakat Pulau Panggang, masih berperspektif eksploitatif. Misalnya, mendorong pertumbuhan pariwisata besar-besaran tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Padahal, setiap kawasan memiliki batasan kemampuan daya dukungnya.
Menurut dia, belum pernah ada penelitian mengenai berapa sebenarnya kemampuan daya dukung lingkungan Kepulauan Seribu. Apakah mereka mampu menampung jutaan wisatawan yang kini berkunjung ke kawasan tersebut setiap tahun? ”Beban ekologisnya sudah sangat berat. Pernah tidak, misalnya, dihitung perbandingan antara pendapatan dan kerusakan dan biaya pemulihan yang dibutuhkan?” kata Mahariah.
Dari sejumlah penelitian yang dilakukan berbagai pihak, kondisi terumbu karang di Kepulauan Seribu memang sudah memprihatinkan.
Tomas Tomascik dalam bukunya, The Ecology of The Indonesian Seas bagian II, menyebutkan, karena kedekatannya dengan Jakarta, terumbu karang Kepulauan Seribu memiliki nilai sangat penting terkait konservasi dan pendidikan. Terletak di utara Jakarta, Kepulauan Seribu adalah salah satu gosong terumbu (patch reef) paling kompleks.
Meski namanya Kepulauan Seribu, jumlahnya lebih kecil dari itu. Dari 342 platform karang, hanya 110 yang memiliki gundukan bervegetasi (pulau) lebih besar dari setengah hektar.
Kompleks paling selatan terletak sekitar 25 kilometer dari Teluk Jakarta dan terpisah dari daratan utama Pulau Jawa oleh saluran atau channel dalam, yang memiliki arus ke arah barat. Kedalaman maksimum saluran ini sekitar 88 meter.
Saluran tersebut menjadi penghalang hidrologi yang sangat penting dengan mengalihkan tumpahan air penuh sedimen dari Jawa menjauh dari gugusan Kepulauan Seribu. Pulau Pari merupakan satu-satunya platform patch reef yang terletak di selatan saluran.
Meski demikian, menurut Otto Ongkosongo dan Suhartati M Nasir dalam tulisan berjudul Stresses to The Seribu Coral Reefs (1994), karena kedekatannya dengan Jakarta, kawasan Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh tekanan dari daratan, seperti kekeruhan dan segala macam polusi.
Tak hanya itu, aktivitas di dalam kawasan, seperti penggalian dan penambangan karang, rekayasa daratan pulau, reklamasi, dan bagan, berkontribusi langsung pada kerusakan terumbu karang.
Eksploitasi karang di kawasan tersebut berlangsung ratusan tahun. Disebutkan, koral dipergunakan sebagai material konstruksi bangunan abad ke-16 di Jakarta. Diperhitungkan, setiap tahun tak kurang dari 8.500 meter kubik koral dieksploitasi dan sebagian menggunakan dinamit. Selama periode 1928-1930 saja, 20.000-40.000 meter kubik material koral telah ditambang.
Penggalian atau pengambilan karang berlangsung nyaris di semua pulau. Salah satu pengambilan karang secara intensif diperkirakan pertama kali dilakukan di Pulau Onrust pada masa kolonial Belanda.
Hilangnya sejumlah pulau
Tak hanya merusak terumbu karang, eksploitasi berlebih itu juga menyebabkan hilangnya sejumlah pulau di Kepulauan Seribu. Selama periode 1913 sampai 1999, AR Farhan dan S Lim dalam makalah Vulnerability Assessment of Ecological Conditions in Seribu Island (2012), mengungkapkan, empat pulau telah hilang.
Pulau itu adalah Rotterdam Island atau yang dikenal sebagai Pulau Ubi Besar, Schiedam Island atau Pulau Ubi Kecil, Haarlem Island atau Pulau Ayer Kecil, dan Leiden Island atau Pulau Nyamuk Besar. Penyebab hilangnya pulau-pulau tersebut akibat penambangan koral dan pengeboman ikan.
”Saya pernah dengar katanya Bandara Soekarno-Hatta itu dulu materialnya banyak diambil dari karang di kawasan Kepulauan Seribu. Jadi tak heran kalau ada pulau yang hilang,” cerita Ismail.
Kegiatan eksploitasi karang masih berlangsung hingga sekarang dengan praktik penggalian atau penambangan karang. Karang-karang tersebut digunakan sebagai material reklamasi pantai atau sebagai bahan bangunan. Tumpukan karang yang baru diambil dari laut, misalnya, banyak terlihat di Pulau Panggang.
Warga Pulau Panggang, Junaedi, menyebutkan, warga yang hendak membangun rumah biasanya mengambil sendiri di sebuah gosong karang. Namun, banyak juga praktik jual beli karang yang sebenarnya dilarang.
Kebutuhan untuk bahan bangunan meningkat membuat harga karang terus naik. Hassan Basri mengingat, sekitar 27 tahun lalu saat ia membangun rumah, harga karang waktu itu sekitar Rp 7.000 per meter kubik. Kini, harga karang mencapai Rp 120.000 per meter kubik.
Sejumlah upaya dilakukan untuk menyelamatkan harta yang terpendam di perairan Kepulauan Seribu tersebut. Penggunaan potasium ataupun bahan peledak untuk menangkap ikan sudah dilarang. Kegiatan pariwisata juga diarahkan ke ekowisata ramah lingkungan.
Sejumlah nelayan Pulau Panggang membudidayakan terumbu karang yang dipergunakan untuk wisata konservasi dan perbaikan terumbu. (PRASETYO EKO P/NASRULLAH NARA)