KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Tugu peringatan migrasi penduduk Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu, Sabtu (11/4). Penduduk Pulau Untung Jawa pernah bermigrasi ke Pulau Ubi Besar pada tahun 1940 akibat serangan nyamuk besar-besaran. Kemudian, mereka kembali lagi bermigrasi ke Pulau Untung Jawa pada tahun 1954 setelah Pulau Ubi Besar mengalami abrasi parah.

Liputan Kompas Nasional

Migrasi Warga: Cerita tentang Serangan Nyamuk dan Abrasi * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 4 menit baca

Tugu peringatan setinggi sekitar 2 meter yang dilengkapi tiang bendera berdiri tegak di tengah permukiman warga Pulau Untung Jawa. Bangunan itu merupakan peringatan kerasnya perjuangan warga pulau untuk bertahan hidup. Sebelum semua warga menetap di Untung Jawa, mereka terpaksa dua kali bermigrasi akibat serangan nyamuk dan ancaman abrasi.

Tugu itu menjadi penanda kepindahan warga dari Pulau Ubi Besar ke Untung Jawa 61 tahun lalu, tepatnya pada 13 Februari 1954.

Sejak pendudukan Belanda dan Jepang, Pulau Untung Jawa telah dihuni warga pribumi yang berasal dari daratan Jawa. Letak pulau itu cukup dekat dari daratan, yaitu 3,5 mil atau sekitar 30 menit penyeberangan dari Pantai Tanjung Pasir, Teluk Naga, Tangerang. Oleh Belanda, pulau ini dinamai Amiterdam.

Masih lekat di ingatan Abdul Fatah (81) bagaimana warga yang dulu tinggal di Pulau Ubi Besar harus membabat hutan di Pulau Untung Jawa. Ayahnya, Bek Saenan sekaligus pemimpin kala itu, menyuruh warga membuka hutan di Pulau Amiterdam untuk ditinggali. Selama dua tahun, warga harus sabar membangun kehidupan baru di pulau tersebut.

”Pokoknya di sini hutan, banyak pohon besar. Mau masuk banyak semak berduri. Kami harus bawa parang untuk membabat supaya tubuh tidak terluka,” tutur Fatah di rumahnya, medio April lalu.

Selain ditumbuhi pepohonan tinggi dan rimbun, banyak ular dan monyet berekor panjang di pulau itu. Satu demi satu, warga menebang kayu dan memilihnya sebagai bahan bangunan rumah. Warga menata kehidupan pelan-pelan meski ancaman abrasi di Pulau Ubi Besar, tempat tinggal lama mereka, ada di depan mata. ”Warga tahu pulau semakin terkikis, tetapi tak bisa langsung pindah. Pulau ini perlu digarap dulu,” ujar Fatah dengan mata menerawang.

Di Pulau Ubi Besar, warga bermata pencarian sebagai nelayan. Sebagian menyelam untuk mengambil terumbu karang. Terumbu karang dijual di Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara. Tak ada warga yang bercocok tanam di pulau yang sekarang tenggelam itu. ”Yang muda-muda memancing pakai perahu sampai jauh. Yang bisa menyelam mengambil kembang karang,” kenang Fatah.

Menurut Fatah, sebelum menggarap Pulau Untung Jawa, bek terlebih dahulu meminta izin Presiden Soekarno. Soekarno awalnya meminta warga pindah ke Pulau Damar. Warga menolak karena letaknya sangat jauh.

Tatanan administrasi di pulau ini pun telah ada sejak 1920. Wilayah seluas 40,1 hektar itu dipimpin seorang bek atau lurah dalam istilah sekarang. Ada tujuh bek yang berkuasa dalam kurun waktu sekitar 10 tahun. Mereka adalah Bek Fi’i, Bek Kasim, Bek Marah, Bek Midi, Bek Markasan, dan Bek Saenan. Bek tidak hanya memimpin satu pulau, tetapi delapan pulau sekaligus.

Para bek berbagi kekuasaan atas pulau, di antaranya Pulau Amiterdam (Pulau Untung Jawa), Pulau Middbur (Pulau Rambut), Pulau Schiedam (Pulau Ubi Kecil), Pulau Purmerend (Pulau Sakit/Pulau Bidadari), Pulau Kherkof (Pulau Kelor), Pulau Kuiper (Pulau Cipir/Pulau Khayangan), dan Pulau Onrust (Pulau Sibuk). Pada masa kini, Lurah Untung Jawa membawahi 15 pulau. Enam pulau di antaranya saat ini sudah tenggelam karena abrasi.

Badai nyamuk

Setelah pindah di Pulau Untung Jawa, kehidupan warga tak serta-merta mulus. Mereka diserang wabah nyamuk. Saking banyaknya, gerombolan nyamuk yang menyerang terlihat seperti angin badai. Warga tak bisa berkutik. Mereka melarikan diri dengan berendam di air laut.

”Wah, kalau datang nyamuk itu begulung kaya kebo (kerbau). Harus berendam di laut untuk menghindari,” ujar Fatah.

Fatah tak mengetahui jenis nyamuk apa yang menyerang kala itu. Gigitan nyamuk meninggalkan bekas merah dan gatal. Namun, gigitan itu tak diikuti gejala demam berdarah atau malaria.

Serangan nyamuk itu sempat memaksa warga untuk kembali ke Pulau Ubi Besar atas perintah Bek Saenan yang tak tahan dengan penderitaan warganya.

Keberuntungan Jawa

Tim Pengelola Wisata Pulau Untung Jawa dalam situs resmi sejarah tahun 1989 mempunyai cerita versi lain. Pada situs itu disebutkan, pada 1930 Bek Marah mulai menganjurkan rakyatnya pindah dari Pulau Ubi Besar ke Untung Jawa. Saat itu, Pulau Ubi Besar sudah nyaris tenggelam. Perjalanan dari Pulau Ubi Besar ke Untung Jawa mencapai 8 jam dengan perahu layar.

Penduduk Pulau Untung Jawa, yang diyakini awalnya berasal dari daratan Pulau Jawa, menerima kedatangan masyarakat Pulau Ubi Besar dengan senang hati. Beberapa penduduk yang bernama Cule, Kemple, Derahman, Derahim, Selihun, Sa’adi, dan Saemin menganjurkan warga pendatang memilih lahan dan menggarapnya untuk ditempati. Nama Pulau Amiterdam berganti menjadi Pulau Untung Jawa yang berarti pulau keberuntungan.

Pasca kemerdekaan, tatanan pemerintahan di Kepulauan Seribu pun berubah. Kepemimpinan bek pun digantikan dengan lurah. Bek Saenan menjadi orang pertama yang mengalami masa pergantian dari bek menjadi lurah. ”Lurah sekarang itu beda dengan bek zaman dulu. Bek sering menawari warga makan. Kalau tidak punya makanan, kami sering diminta mengambil nasi sebakul lengkap dengan lauknya. Maklum waktu itu makanan masih susah,” kenang Abdul Syukur (55), warga Untung Jawa.

Pada masa kepemimpinan Lurah Saenan itulah, sebagian warga yang masih tinggal di Pulau Ubi Besar diminta kembali ke Pulau Untung Jawa. Ini adalah migrasi kedua yang terjadi setelah serangan nyamuk. Kini, Ubi Besar sepenuhnya termakan abrasi dan tenggelam. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Artikel Lainnya