KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga Pulau Payung, Kepulauan Seribu, Jakarta, membawa mesin mobil yang baru saja dibeli di Rawa Saban, Tangerang, Minggu (10/5), untuk dipasang di kapal kayu mereka. Warga Pulau Payung harus mencari kebutuhan sehari-hari ke wilayah lain, seperti Tangerang atau Pulau Tidung.

Liputan Kompas Nasional

Pulau Payung: Dari Pernikahan sampai Pemakaman di Tidung * Kelana Seribu Pulau

·sekitar 3 menit baca

Pulau Payung seolah tak bisa lepas dari keberadaan Pulau Tidung. Sebagian besar aktivitas 167 warga Pulau Payung masih bergantung pada warga yang bermukim di Tidung. Apalagi, dari sisi pemerintahan, Pulau Payung adalah satu rukun tetangga di bawah Kelurahan Pulau Tidung.

Untuk pernikahan, misalnya, calon pengantin dari Pulau Payung harus pergi ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Tidung. Pilihan lainnya adalah memanggil penghulu untuk datang ke Payung, tentunya dengan biaya lebih mahal.

”Kalau kita datang ke KUA, biaya nikah Rp 600.000, sedangkan kalau penghulu yang datang biayanya Rp 800.000. Tetapi, kalau dihitung dengan biaya transportasi ke Tidung, memanggil penghulu masih lebih murah,” kata Ayunah (53), warga Payung yang akan menikahkan anak ketiganya.

Tidak hanya penghulu. Juru masak yang biasa meramu makanan dalam skala besar juga didatangkan dari Tidung. Satu juru masak dibayar Rp 250.000. ”Untuk satu acara pernikahan, bisa mendatangkan empat juru masak,” kata Ayunah lagi.

Selain itu, tenda dan bunga untuk dekorasi pelaminan juga berasal dari Tidung. Sewanya mencapai Rp 10 juta, atau Rp 12 juta jika dilengkapi musik organ tunggal dan penyanyi dangdut.

Untuk berbelanja bahan makanan, warga juga harus pergi ke Pulau Tidung yang memiliki semacam pengepul bahan pangan dan kebutuhan harian. Opsi lain adalah berperahu ke Rawa Saban, Tangerang, untuk membeli bahan pangan dengan harga murah. Harga barang di Rawa Saban jauh lebih murah daripada Tidung. Namun, biaya transportasi ke sana termasuk tinggi.

Biaya transportasi ini menjadi pertimbangan warga yang akan berbelanja. ”Kalau pas ada tetangga yang mau belanja, biasanya saya nitip. Nanti kasih lebihan untuk bantu beli solar. Kalau ada pesanan katering banyak, baru saya belanja sendiri ke Tidung atau Rawa Saban. Kadang juga ada tetangga titip dibelikan sesuatu,” kata Ayunah, yang juga membuka warung makan di tepi pantai.

Mursalin, pemilik toko aneka barang kebutuhan harian di Payung, mengatakan, dirinya harus menyediakan uang Rp 600.000 untuk biaya solar kapal serta ongkos kuli bongkar-muat barang di Rawa Saban.

Karena tingginya ongkos perjalanan itu, Mursalin harus mengumpulkan seluruh kebutuhan yang akan dibelanjakan. Kadang juga ada titipan tetangga. Hasil belanja ini mencukupi kebutuhan hampir seluruh warga Payung.

Biaya membangun rumah di Payung juga tergolong mahal karena sebagian besar material harus didatangkan dari pulau lain, seperti Pulau Tidung atau Pulau Jawa.

Mursalin menceritakan, pembangunan lantai dua rumahnya menghabiskan biaya Rp 100 juta. Bangunan baru berukuran 6 x 14 meter itu digunakan untuk anaknya, tetapi kadang juga disewakan ke wisatawan bila ada pesanan.

Ketergantungan guru

Ketergantungan lainnya adalah guru. Hampir semua guru SD di Payung datang dari Tidung pada pagi hari, dan kembali siang selepas jam mengajar usai.

Masalahnya, pelayaran sangat bergantung pada kondisi alam. Bila ombak tinggi, pengemudi kapal akan menunda keberangkatan atau bahkan membatalkan sama sekali. Apalagi, saat musim angin barat yang ditakuti nelayan dan pengguna kapal.

Belum lagi bila kapal mengalami kerusakan sehingga perjalanan juga terlambat atau dibatalkan. Hal ini kerap mengganggu kegiatan belajar mengajar di Payung.

Hingga pertengahan Mei ini, baru satu guru dan satu petugas tata usaha yang tinggal di Pulau Payung. Umumnya, mereka menetap di Payung setelah menikah dengan warga setempat.

Bila ada warga di Pulau Payung yang meninggal, petugas perawat jenazah juga harus didatangkan dari Tidung. Petugas ini yang memandikan hingga mengafani jenazah.

Setelah selesai disalatkan, jenazah dibawa dengan kapal ke Tidung. Di pulau itu juga, jenazah warga Pulau Payung akan dimakamkan. ”Orangtua saya dimakamkan di Tidung. Kalau mau Lebaran, kami biasa ke sana untuk ziarah,” kata Murtati (64), warga Pulau Payung. (AGNES RITA SULISTYAWATY)

Artikel Lainnya