KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Salim

Liputan Kompas Nasional

Sosok: Salim – Pengabdi Lingkungan Kepulauan Seribu

·sekitar 5 menit baca

Sejak tahun 1983, Salim (64) ”menebus dosa” masa lalunya. Dari pemburu dan penjual sisik, dia berbalik menjadi penangkar penyu sisik (”Eretmochelys imbricate”), sekaligus aktivis lingkungan hidup di Kepulauan Seribu. Sederet penghargaan dia peroleh dari sejumlah lembaga dan berkesempatan bertemu dengan pejabat tinggi negeri ini.

OLEH MUKHAMAD KURNIAWAN

Hari segera petang, tetapi Salim masih bolak-balik dari bak-bak di area penangkaran ke pinggir pantai dan sebaliknya di sisi timur Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, Sabtu (7/2). Sebentar duduk di pinggir bak, lalu berdiri dan menutup satu keran, kemudian ke bak lain dan membuka kerannya. Sesekali dia ke pinggiran pantai untuk memastikan pipa penyedot yang terbenam ke air.

Salim berkejaran dengan air laut yang beranjak surut. Dia ingin memastikan bak-bak tempat hidup penyu itu selalu bersih dan terisi air. ”Jika laut surut, air tak bisa disedot ke bak-bak, penyu bisa kekurangan air. Idealnya, air selalu diganti agar penyu tetap sehat dan tumbuh dengan baik,” ujarnya.

Setidaknya dua hari sekali Salim menguras dan mengisi belasan bak dengan air baru. Dia juga rutin memberikan pakan, merawat, sekaligus mengontrol ribuan telur penyu di tempat penetasan agar telur menetas sempurna dan lebih banyak jumlahnya.

Dua anaknya, Maidi (21) dan Sudewo (17), terkadang datang membantu Salim menguras dan mengisi bak dengan air baru. Rutinitas itu semakin berat bagi tubuh Salim yang mulai renta. Salim seharusnya telah pensiun. Namun, naluri dan kecintaan menggerakkan tubuhnya untuk merawat penyu dari fase telur hingga siap lepas ke alam bebas.

Sejak meninggalkan kampung halaman dan merantau di Kepulauan Seribu tahun 1970, Salim memang tak bisa lepas dari penyu. Bedanya, dulu dia adalah pemburu sekaligus penjual penyu sisik.

”Tak hanya saya, warga lain menangkap dan menukar penyu dengan beras atau kebutuhan pokok lain. Lima kilogram beras ditukar dengan 20 penyu anakan,” ujarnya.

Ketika itu, penyu mudah ditemukan di pantai-pantai berpasir di gugusan pulau-pulau Kepulauan Seribu, terutama pada musim bertelur, antara Desember dan Mei. Menurut Salim, selain penyu anakan, para pedagang datang untuk membeli sisik, daging, atau cangkang. Selain diolah menjadi kancing, tusuk konde, atau hiasan, sisik penyu juga dijadikan mahar perkawinan karena dianggap berharga dan langka.

Di alam bebas, anak-anak penyu yang baru menetas menghadapi ancaman kematian dari hewan, seperti biawak, burung, dan kepiting. Namun, ancaman terbesar adalah manusia. Pembangunan daerah-daerah pesisir kian mengimpit habitat penyu. Populasinya semakin terancam perburuan manusia. Organisasi Internasional untuk Konservasi Sumber Daya Alam atau International Union for Conservation of Nature bahkan menetapkannya sebagai hewan yang terancam punah.

Penyu termasuk dalam kelompok reptilia yang mendiami laut tropis dan subtropis di seluruh dunia. Ada tujuh jenis penyu di dunia. Dari jumlah itu, enam jenis ditemukan di Indonesia, yakni penyu sisik, penyu hijau (Chelonia mydas), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), dan penyu pipih (Natator depressus).

Berbalik arah

Orientasi Salim akan penyu berbalik secara perlahan sejak 1983. Penyuluhan berulang dari petugas membuatnya sadar bahwa penyu semakin tertekan. Keberadaannya kian sulit ditemukan dan terancam punah. Sejak itu dia bertekad untuk tak lagi memperdagangkannya. Dia ingin menebus masa lalu. Namun, Salim sulit lepas dari penyu.

Kecintaan itu mendorong Salim mengumpulkan telur-telur yang berserak di alam dan terancam diambil pemburu. Naluri menggerakkannya ke lokasi-lokasi telur penyu. Dia sambangi pulau-pulau dengan perahunya. Dari Pulau Penjaliran di utara, Salim bergerak ke Pulau Semak Daun, Pulau Panggang, Pulau Pramuka, lalu ke pulau-pulau lain di kawasan selatan. Dia menangkar dan menetaskan telur di beberapa lokasi dan melindunginya dari ancaman hewan serta penjarahan manusia.

Pada 1984, kata Salim, Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS) memfasilitasi pembangunan tempat penangkaran penyu di Pulau Semak Daun. Ribuan telur yang terkumpul dia tetaskan di lokasi itu, lalu merawatnya hingga dia merasa siap untuk dilepasliarkan ke alam.

Sejak itu, dia bekerja sebagai tenaga honorer penangkaran penyu di TNKS. Kemampuannya dimanfaatkan oleh sejumlah lembaga dan perusahaan swasta melalui program tanggung jawab sosial untuk menyuluh warga dan melatih calon penangkar lain. Ribuan atau barangkali ratusan ribu penyu hasil tangkarannya telah dilepaskan ke alam.

Tahun 2000 Salim tak lagi nomaden dari lokasi penangkaran ke lokasi lainnya di beberapa pulau. Sejak itu, dia menetap di tempat penangkaran penyu di Pulau Pramuka. Kini ada enam tenaga dari Balai TNKS yang membantunya mengumpulkan telur penyu. ”Setiap bulan ada 500-1.000 telur terkumpul. Dari jumlah itu, 60-70 persen berhasil menetas,” ujarnya.

Tidak hanya penyu. Salim adalah ”pendekar” lingkungan bagi ekosistem pulau-pulau di Kepulauan Seribu. Lulusan sekolah rakyat ini tak menguasai betul teknik lingkungan. Namun, dia bergerak mengikuti naluri. Saat mendapati sebagian sisi pulau tergerus, Salim tertegun, berpikir bagaimana mencegahnya. Dia mencari biji mangrove dari pulau-pulau di luar Kepulauan Seribu dan membawanya pulang untuk dikembangbiakkan.

Salim menebar biji-biji itu di pantai di dekat tempat tinggalnya. Harapannya, biji bisa tumbuh menjadi bibit, lalu dia tanam untuk membentengi pulau. Rupanya usaha itu berhasil. Salim mencari sebanyak mungkin biji untuk ditumbuhkan menjadi bibit, lalu menanamnya di pinggiran Pulau Pramuka.

Tidak hanya di Pramuka, Salim pergi ke pulau-pulau lain membawa bibit mangrove, seperti ke Pulau Tidung. Usahanya tidak mulus di awal karena banyak pihak pesimistis mangrove bisa tumbuh di pulau-pulau karang Kepulauan Seribu. Namun, Salim yakin di beberapa lokasi pulau terdapat tanah, pasir, dan lingkungan yang cocok untuk tanaman pesisir itu.

Hasilnya, sebagian sisi pulau kini terlindungi deretan bakau yang ditanam Salim dengan sangat rapat. Belakangan, model tersebut diketahui sebagai rumpon berjarak. Tujuannya, memperkecil peluang mati karena gempuran ombak, sekaligus mengamankan pasir agar tak terbawa arus laut.

Kini ratusan ribu pohon telah tumbuh. Perjuangan Salim mengumpulkan biji, membibit, dan menghijaukan pesisir berbuah penghargaan. Ketekunannya pula mengantarnya bertemu dan berjabat tangan dengan sejumlah penguasa negeri. Dari foto-foto kenangan yang dia pajang di tempat penangkaran penyu, tampak Salim bersalaman dan berfoto bersama mantan Presiden Soeharto, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono.

Artikel Lainnya