KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Reka ulang tradisi ratus atau son son untuk pengawetan batik yang akan digunakan untuk pernikahan kaum bangsawan di Desa Larangan Luar, Kabupaten Pamekasan, Minggu (6/3).

Batik Madura

Sejarah Batik, Cawan Adukan Budaya * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Hari ini, di tiga kabupaten Pulau Madura: Bangkalan, Pamekasan, dan Sumenep, pembatik tersebar di mana-mana dengan keragaman motifnya masing-masing. Semuanya punya motif yang begitu beragam, disatukan sebuah ciri perpaduan warna cerah menyala. Sulit menyimpulkan asal-usul dinamisnya motif dan warna batik madura.

Di Keraton Sumenep, tersimpan sebuah arca tanpa kepala yang ditemukan dari situs Hindu-Buddha di Dungkek, pelabuhan tua di bagian selatan Kota Sumenep. Mata arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono, berbinar menyigi bentukan syangka di tangan kanan arca, berikut pahatan piringan cakra di tangan kiri arca. Juga pahatan motif dalam ken, sebutan bagi kain di masa Jawa Kuno, yang membalut bagian bawah tubuh arca itu.

”Ini arca Dewa Wisnu, tampak dari syangka dan cakra di kedua tangan. Arca ini berasal dari Majapahit, ditandai ragam hias bunga teratai yang tumbuh dari jambangan yang menegaskan arca Wisnu itu berasal dari abad ke-14. Pahatan motif kawung pada kain yang dikenakan arca masih utuh, dan membuktikan batik telah menjangkau Madura sejak abad ke-14. Namun, itu bukan dasar untuk menyimpulkan batik sudah diproduksi di Madura pada abad ke-14,” kata Dwi.

Dalam perkembangan berikutnya, Madura bersentuhan dengan penyebaran agama Islam, yang hingga kini memengaruhi kebudayaan masyarakat Madura. Fransiskus Assisi Sutjipto Tjiptoamodjo menulis dalam disertasinya, ”Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura (Abad XVII sampai Abad XIX)”, menyebut agama Islam telah berkembang di Madura barat sejak masa Lembu Peteng, bupati daerah itu yang ditunjuk raja Majapahit.

Sutjipto mengutip pendapat J Hageman bahwa awalnya Lembu Peteng berkedudukan di Desa Madegan, daerah Sampang. ”Waktu terjadi peperangan antara penganut Islam dan Kerajaan Majapahit, Aria Lembu Peteng memihak kepada pemeluk Islam. Waktu Majapahit runtuh, (menurut kronik Madura yang dibaca Hageman itu terjadi pada tahun 1486 M), Lembu Peteng berkuasa di daerah Pamekasan, (dan) agama Islam berkembang di Madura,” tulis Sutjipto.

Jejak-jejak warna

Karakter kaya warna juga berjejak pada gebyok atau ukiran kayu di latar tiga kubah makam Asta Tinggi, kompleks makam keluarga bangsawan Kerajaan Sumenep. Kompleks makam bangsawan Sumenep itu dibangun Pangeran Pulang Jiwo pada 1672, satu setengah abad setelah imperium Majapahit runtuh. Evolusi warna-warna menyala ada dalam ukiran kayu yang menghiasi tiga kubah makam raja terpenting Keraton Sumenep.

Di ketiga kubah, jelas terlihat pengaruh budaya Islam, terutama dimunculkan aksara yang digunakan di nisan makam. Di kubah makam Pangeran Pulang Jiwo yang memerintah pada 1672-1678, gebyok di dinding belakang kubah makam itu hadir tanpa warna, dengan motif-motif geometris yang simbolis, menghindari penggambaran fauna yang realis, juga pengaruh Islam yang menghindari penggambaran fauna secara realistis.

Sebaliknya, pada dua kubah makam masa sesudahnya—kubah makam Pangeran Jimat (1721-1744) dan kubah makam Bindara Saod (1750-1762)—tersaji gebyok yang berukir rumit. Tidak hanya memunculkan perwujudan flora dan fauna yang realis, gebyok itu merona dengan warna cemerlang.

”Kedua gebyok di kubah makam yang lebih baru menghadirkan kuatnya pengaruh kebudayaan Tionghoa, mulai dari penggunaan beragam warna hingga hadirnya ragam hias binatang mitologis Tionghoa yang terukir lebih realis,” ujar Dwi merinci.

Jejak adukan kebudayaan Tionghoa dan kebudayaan Islam di Asta Tinggi itu diperkuat keberadaan Masjid Agung Sumenep, buah tangan arsitek peranakan Tionghoa, Lauw Piango. Jejak-jejak itu juga berkesesuaian dengan sejarah keluarga Edhi Setiawan, peranakan Tionghoa bernama lahir Phwa Tiong Sien yang juga pemerhati budaya Madura.

Edhi adalah generasi kesembilan keluarga Phwa yang tinggal di Sumenep, makam leluhur tertuanya di Taposan, Sumenep, berangka tahun 1776. Konon, leluhurnya menginjakkan kaki di Pulau Madura sejak era tahun 1700-an lewat Pelabuhan Dungkek, Sumenep.

”Toponimi daerah-daerah di Sumenep juga menunjukkan pengaruh bahasa Hokkian. Pelabuhan ’Dungkek’, misalnya, berasal dari kata ’dung’ yang berarti ’pertama’, dan ’kek’ yang berarti ’tamu’. Penamaan Taposan juga berasal dari bahasa Hokkian, yang bermakna gunung besar penuh harta. Harta orang-orang Tionghoa yang dimakamkan di sana,” kata Edhi.

Di Pulau Madura, orang-orang Tionghoa yang semuanya kaum pria ini menikah dengan perempuan Madura, dan bekerja dengan membuka gadai, rumah candu, atau berdagang. ”Mereka datang ketika Dinasti Ming jatuh, orang terpelajar yang melarikan diri dari pembantaian dinasti baru,” kata Edhi.

Sumber referensial

Kaya dari sejak pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Madura, peranakan Tionghoa bersaing dalam hal mempertontonkan kekayaan, tak terkecuali dalam penampilan. Mereka mendatangkan pembatik dari Lasem untuk membuat batik halus di Madura. Dari peti penyimpanan kain batik milik leluhurnya, Edhi membeberkan kain batik halus berumur lebih dari 150 tahun.

Pengaruh stilasi atau pemotongan bagian tubuh binatang kentara pada lembaran-lembaran batik yang mulai rapuh. Stilasi yang sangat halus sanggup mengecoh orang. Baru setelah dilihat dengan saksama, motif yang awalnya tampak seperti dedaunan ternyata adalah singa kilin, penyu, dan kupu-kupu.

”Pembatik Lasem diundang ke sini. Disuruh buat batik supaya bisa bersaing dan bergengsi. Mau beli mobil Mercy belum diproduksi, jadi belinya batik,” kata Edhi sembari tertawa.

Meskipun dikerjakan di Madura, motif ataupun pewarnaan batik itu tak berciri khas Madura. Mendiang ibunda Edhi, Han Tjieo Nio, lebih banyak memakai batik buatan pembatik asal Belanda, Eliza van Zuylen yang hidup pada 1863-1947. Kesemuanya menggunakan warna-warna lembut, didominasi warna biru, jauh dari karakter ”serba menyala” dalam kekinian batik madura.

Ketika menjadi keseharian kebanyakan orang Madura, batik madura berevolusi dengan cara berbeda. Di tangan orang madura kebanyakan, batik madura benar- benar merona, lebih berwarna dari batik-batik kaum peranakan Tionghoa, bahkan lebih merona dari gebyok atau ukiran kayu peninggalan raja-raja Sumenep di Asta Tinggi.

Dwi Cahyono menyebut, peninggalan sejarah, seperti Asta Tinggi ataupun Masjid Agung Sumenep, menegaskan masa lalu Madura sebagai cawan adukan beragam kebudayaan yang hidup di Nusantara. Namun, orang Madura tidak sekadar menyalin, tetapi juga menjadikannya sumber referensial dalam batik yang lebih mencerminkan karakter khas Madura.

”Beragam motif dalam ukiran arca ataupun ukiran kayu adalah bahan bagi kita untuk merekonstruksi perkembangan sejarah Madura sebagai cawan adukan beragam budaya, dan menjadi referensi bagi produk kebudayaan masa berikutnya. Referensi itu tidak harus diambil secara keseluruhan, tetapi juga bisa saja unsur-unsurnya ditransformasikan dalam media ekspresi lainnya, yaitu tekstil bermotif batik,” kata Dwi. (ARYO WISANGGENI G/MAWAR KUSUMA)

Artikel Lainnya