KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Lintu Tulistyantoro

Batik Madura

Sosok: Lintu Tulistyantoro – Cinta Mati Batik Madura * Selisik Batik

·sekitar 5 menit baca

Ketua Komunitas Batik Jawa Timur atau Kibas yang juga dosen Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra, Surabaya, Lintu Tulistyantoro, jatuh hati pada batik dari Jawa Timur. Tak sekadar mengoleksi, ia juga aktif melestarikan, memopulerkan, dan mengangkat keunikan dan pamor batik daerah ini. Namanya dikenal baik oleh pembatik. Di kampus, ia dikenal sebagai spesialis Madura.

Ketika Tim Selisik Batik Kompas mengunjungi sentra batik di Madura, nama Lintu dikenal akrab oleh para pembatik. Pembatik di Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, bahkan belajar tentang makna motif dari Lintu. Pada motif gajah sekereng yang menggambarkan gajah dengan lebih dari empat kaki dan belalai lebih dari satu, misalnya, pembatik baru tahu bahwa motif tersebut dibuat pendahulunya sebagai gambaran tiga dimensi gajah yang sedang berlari.

”Daerah yang saya tinggali, yang saya cintai, Jawa Timur itu, ternyata luar biasa sebetulnya. Cuma banyak orang yang tidak kenal, banyak orang yang tidak tahu, bahkan mungkin orang Jawa Timur pun akan mengatakan ’lho ono toh batik’, oh ada batik di sana. Itu yang kami ingin berbagi,” kata Lintu ketika diundang sebagai pembicara dalam Diskusi Panel Kompas, Kamis (11/2), di Kantor Harian Kompas, yang mengawali perjalanan Selisik Batik Kompas yang dimuat setiap hari Minggu dari 29 Mei hingga 25 September mendatang.

Dalam banyak acara formal, Lintu selalu memperkenalkan keunikan batik Jawa Timur dengan memakai batik sebagai sarung, syal, atau kemeja. Kali ini, Lintu mengenakan sarung batik berwarna sogan dari Sumenep di Pulau Madura. Bukan kebetulan, ia sengaja ingin memperkenalkan bahwa batik madura tidak hanya batik tanjungbumi dengan warna-warni mencolok yang sudah dikenal orang.

”Ada sisi-sisi lain yang tak terlalu banyak dikenal orang dan sebetulnya punya karakter berbeda. Saya ingin sekali orang tidak menggeneralisasi misalnya ’oh, Madura itu selalu warnanya obar-aber’. Yang punya warna merah, biru, hijau, itu hanya Tanjungbumi. Yang di pedalaman, warnanya sogan biasa. Jadi, yang saya pakai ini sogan Sumenep. Jadi, nuwun sewu ya, enggak pamer,” tambah Lintu yang selalu berbicara dengan aksen dan imbuhan kalimat berbahasa Jawa.

Pemetaan batik

Seluruh batik yang muncul di Jawa Timur, menurut Lintu, memiliki sejarah panjang. Dibandingkan dengan batik daerah lain, batik Jawa Timur memiliki karakter berbeda. Pembatikan di Jawa Timur tidak terpusat di seputaran keraton, tetapi justru tumbuh dari masyarakat dan dulunya tersebar di seluruh desa.

”Sayangnya, dengan program Pemerintah Jawa Timur bahwa setiap kota atau setiap kabupaten harus punya batik, akhirnya yang klasik-klasik tergeser dan kita enggak bisa lagi bedakan ini batik mana karena semua warnanya sama. Jarang sekali yang mau bereksperimen mencampur warna sehingga warna Trenggalek bisa dibedakan dengan Tulungagung, warna Pacitan bisa dibedakan dengan Ponorogo. Itu yang menjadi problem,” ujar Lintu yang memperoleh gelar master of design dari Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2004.

Dari hasil pengamatannya di lapangan, Lintu memetakan wilayah pembatikan di Jawa Timur menjadi area Mentaraman (Pacitan, Trenggalek, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro), Pesisiran (Tuban, Lamongan, Gresik, Sidoarjo), Peralihan (Kediri, Tulungagung, Mojokerto, Sidoarjo), Malangan, Mendalungan (Situbondo), Banyuwangi, dan Madura.

Mentaraman, misalnya, merupakan area yang dipengaruhi kuat oleh pengaruh Mataram. Batik di wilayah ini cenderung berwarna sogan dengan motif kuat pengaruh Mataram seperti parang janoko di Trenggalek. Mendalungan adalah istilah yang digunakan masyarakat umum terhadap orang Madura yang hidup di Pulau Jawa.

Dari catatan perjalanan selama tujuh tahun menelusuri perbatikan di Jawa Timur, Lintu beberapa kali menulis pengantar pada buku tentang batik. Ia juga menulis buku batik seperti Misteri Batik dan Kawung Jawa Timur.

Setiap tahun, Lintu juga membawa rombongan pencinta batik untuk trip atau perjalanan ke perajin batik kecil, bukan pengusaha besar.

Lewat Kibas yang terdiri dari kolektor, perajin, desainer, dan pencinta batik, Lintu merintis beragam program sosialisasi batik kepada anak sekolah, pelatihan, pameran, diskusi, dan menggelar lomba desain batik.

Berdiri sejak 2008, Kibas berawal dari bentuk pengabdian kepada masyarakat dari Universitas Kristen Petra. Setahun kemudian, komunitas ini mulai berkembang dengan nama Komunitas Batik Jawa Timur.

Jika diajak berbincang tentang keunikan batik, Lintu bisa betah berjam-jam ngobrol sampai lupa waktu. Seperti ketika ditemui di rumahnya di Sidoarjo, Jawa Timur, Maret lalu, Lintu segera menggelar ratusan lembar koleksi batik. Kisah tentang motif, filosofi, hingga budaya terkait batik di seluruh daerah perbatikan di Jawa Timur pun segera mengalir selama sehari penuh.

Spesialis Madura

Saking seringnya mengunjungi Madura dan menulis berbagai karya tulis tentang Madura, Lintu kerap dijuluki sebagai ”spesialis Madura” di kampusnya. Tulisannya banyak mengupas tentang desain dan fungsi ruang arsitektur di Madura. Beberapa di antaranya sudah dipresentasikan ke kancah internasional.

Persentuhan dengan Madura dimulai ketika berkunjung ke rumah neneknya di Wonosobo, Jawa Tengah. Lintu kenal dengan Madura lewat penjual sate langganan neneknya, Ibu Kosim.

”Beliau tidak punya anak sehingga sangat sayang dan senang sama saya. Sampai suatu saat saya diajak ke Madura sama Beliau, tetapi saya tidak mau karena takut meskipun ibunya itu sangat baik dan ramah. Pikiran itu melekat sampai saya membuktikan diri dan jatuh cinta pada Madura,” ujarnya

Pertemuan kedua dengan Madura dimulai ketika kuliah di Jurusan Desain Interior Universitas Kristen Petra, Surabaya, Lintu mulai menginjakkan kaki untuk pertama kali ke Pulau Madura. Awalnya, ia jatuh hati pada artefak Madura, mulai dari hunian, ukiran, desain, hingga arsitektur rumah tradisional Madura. Perjumpaan dengan ukiran-ukiran indah di makam Asta Tinggi Sumenep atau makam Arosbaya di Bangkalan juga membawanya lebih dekat pada kehidupan pembatik di daerah itu.

”Sampai pada suatu saat saya mulai melihat foto-foto yang pernah saya ambil dan ternyata ada perubahan menarik di Asta Tinggi khususnya karena saya menganggap di makam itu ukiran di sana sangat bagus dan unik. Ternyata, warna kayu diubah sesuai iklim politik saat itu. Nah, saya mulai gelisah karena teknik catnya tidak sebagus yang lama. Wah, gawat kalau tidak ada yang mendokumentasi, pasti suatu saat orang tidak menghargai,” tambahnya.

Setelah menjadi dosen, Lintu mulai mengajak mahasiswanya meneliti tentang Madura. Penelitian dimulai dari hunian masyarakat Madura yang disebut taneyan, kemudian Keraton Sumenep, lalu menelusuri benteng keraton, tetapi tidak menemukan secara lengkap, lalu memulai lagi dengan gunungan makam raja-raja Madura. Lebih dari itu, Lintu juga jatuh hati pada keelokan batik Madura yang membawanya lebih jauh untuk terlibat mengangkat pamor batik Jawa Timur.

Artikel Lainnya