KOMPAS/NAWA TUNGGAL

Undang.

Susur Rel 2014

Sosok: Undang – Juru Langsir di Stasiun Tertinggi Cikajang

·sekitar 4 menit baca

Pada era 1950-an hingga sekitar tahun 1972, Undang menjadi juru langsir lokomotif di Stasiun Cikajang, Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Stasiun Cikajang adalah stasiun tertinggi di Indonesia, terletak 1.246 meter di atas permukaan laut. Kegagalan dia mengikuti ujian menjadi pegawai tetap pada perusahaan pengelola kereta api pada 1972 tidak menyurutkan semangat hidupnya.

“Sewaktu saya masih menjadi juru langsir, di Stasiun Cikajang ada empat kali pemberangkatan kereta api. Selama itu tidak pernah terjadi kecelakaan, termasuk tanah longsor,” kata Undang (82), Selasa (8/4), ketika ditemui di rumahnya yang berada di dekat Stasiun Cikajang.

Stasiun Cikajang merupakan stasiun ujung dari lintasan cabang Stasiun Cibatu, yang melewati Stasiun Garut sepanjang sekitar 47 kilometer. Dari informasi tertulis yang ada di Stasiun Cipeundeuy di lintasan Kiaracondong-Banjar, lintasan Garut-Cikajang disebutkan, ”Sementara ditutup mulai bulan November 1982”.

Rupanya tidak hanya lintasan Garut-Cikajang yang disebutkan ”sementara ditutup”, tetapi informasi lainnya menyebutkan ada juga lintasan lain yang ”sementara ditutup”.

Lintasan yang ”sementara ditutup” tersebut, antara lain lintas Kiaracondong-Cibangkolor yang ditutup pada 1976. Lintas Banjar-Pangandaran ditutup pada 1 Februari 1982, lintas Pangandaran-Cijulang juga ditutup pada 1 Februari 1982. Demikian pula dengan lintas Cikudapateuh-Ciwidey ditutup mulai 1 Februari 1982.

Undang tidak bisa memastikan penyebab ditutupnya layanan angkutan transportasi massal kereta api tersebut. Dia hanya menyebutkan, masa-masa akhir operasional kereta api di daerah itu terjadi, antara lain, karena kekurangan bahan bakar batubara untuk lokomotif.

”Bahan bakar residu sering dipakai (untuk mengoperasikan lokomotif) sebagai pengganti bahan bakar batubara,” kata Undang.

Residu merupakan bahan bakar minyak bumi yang hitam pekat. Menurut Undang, jenis bahan bakar residu kurang baik untuk menggantikan batubara.

”Matinya jalur kereta api di sini bukan karena disaingi angkutan mobil atau kendaraan bermotor lainnya, melainkan karena banyak lokomotif yang menjadi rusak dan kurang terawat,” kata dia.

Undang kemudian menjalani hidup sebagai kuli, selepas dinyatakan tidak diterima sebagai pegawai resmi perusahaan pengelola kereta api. Sejak 15 September 1971, nama perusahaan pengelola kereta api itu adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Nama sebelumnya, yaitu Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI).

Nama pengelola kereta api terus mengalami perubahan. Pada 2 Januari 1991, nama PJKA berubah lagi menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka), dan sejak 1 Juni 1999 menjadi PT Kereta Api Indonesia (Persero) sampai sekarang.

Meski tidak lagi bekerja sebagai juru langsir, perhatian Undang pada perkeretaapian tidak menyurut. ”Saya sekarang mencari nafkah dengan menjadi tukang becak,” kata Undang kalem. Meski usianya sudah 82 tahun, tubuhnya masih tegap dan dia merasa sehat.

Undang lalu bercerita tentang keluarganya. Perkawinannya dengan Endjah dikarunia 13 anak. Dua di antara anaknya itu meninggal.

Komoditas

Undang lahir pada 1932. Dia bisa dikatakan menjadi saksi hidup denyut nadi perkeretaapian di Stasiun Cikajang. Stasiun ini beroperasi sejak 30 Agustus 1930. Kereta api selain berfungsi untuk mengangkut penumpang juga digunakan untuk mengangkut berbagai komoditas yang dihasilkan di wilayah Jawa Barat bagian selatan tersebut.

”Kereta api pada waktu itu banyak digunakan untuk mengangkut hasil bumi di sini, seperti karet, teh, kentang, kayu mala, dan kina. Tetapi jumlah penumpang kereta api juga tidak kalah banyaknya,” ujar Undang.

Sebagai juru langsir, Undang bisa memastikan jenis-jenis komoditas yang sekarang pun sudah jarang dijumpai di Cikajang dan sekitarnya. Komoditas hasil bumi dari perkebunan telah berganti dengan sayur-mayur.

Komoditas tersebut juga tidak lagi diangkut dengan kereta api, tetapi menumpang truk atau mobil-mobil pikap ke kota-kota di kawasan Jawa Barat hingga Jakarta.

Komoditas karet, teh, kentang, dan kina pada waktu itu juga banyak dikirim ke Batavia (sekarang Jakarta). Seiring berjalannya waktu, dengan adanya laju pertumbuhan penduduk, areal perkebunan pun semakin jarang. Lahan bekas perkebunan digunakan warga sebagai ladang semusim, berupa sayur mayur dan hortikultura.

Sejarah pilu

Sepenggal sejarah pilu dirasakan Undang pada masa-masa pendudukan Jepang pada 1942-1945 dan pergerakan revolusi kemerdekaan. ”Waktu itu Stasiun Cikajang juga dibom,” ujarnya.

Undang tidak memahami siapa pengebomnya, tetapi yang dia ingat, pada waktu itu masuk tentara Jepang. Mereka lalu memaksa penduduk untuk melakukan banyak hal, sesuai keinginan Jepang.

”Misalnya, penduduk di sini dilarang pergi ke ladang sehingga kami menjadi sulit untuk mencari makan,” kata Undang.

Dampak pengeboman juga membuat beberapa instalasi di Stasiun Cikajang rusak. Namun, anehnya, menurut Undang, pada masa itu orang-orang Belanda yang kemudian datang kembali justru sempat membenahi kerusakan di Stasiun Cikajang.

Undang mengaku buta fakta dan sejarah pada masa-masa itu. Meskipun dia sempat belajar di Sekolah Rakyat sampai kelas II.

”Saya tidak tahu apa yang sedang terjadi pada masa perang waktu itu. Setahu saya, kakak saya, Pak Encoh, pada 1950-an mengajak saya menjadi juru langsir di Stasiun Cikajang,” kata Undang mengenang.

Kakaknya, Encoh, memang terlebih dahulu bekerja di Stasiun Cikajang. Encoh juga menjadi juru langsir. Pekerjaan Encoh dan Undang melangsir lokomotif untuk berbalik, dari yang semula di depan gerbong ke belakang gerbong. Kemudian kereta api dijalankan dari Cikajang menuju Garut.

Undang mengenang, selama menjalankan pekerjaan juru langsir selama lebih dari 20 tahun, dia diberi upah sekitar 120 kilogram beras per bulan. Sayang, saat hendak menjadi pegawai tetap PJKA demi gaji tetap, Undang kandas.

Selama setahun berikutnya, dia masih dipekerjakan untuk melangsir lokomotif di Stasiun Cikajang. Waktu pun berlalu sampai 10 tahun, kemudian pada 1982, Stasiun Cikajang mati. Sekarang ini, kondisi bangunan Stasiun Cikajang mengenaskan.

Sebagai penanda stasiun kereta api yang tertinggi letaknya, Stasiun Cikajang luput dari perhatian pemerintah. Undang menyayangkan hal itu bukan karena predikat tersebut, tetapi karena kereta api tetap dibutuhkan masyarakat sampai kapan pun.

Artikel Lainnya