Susur Rel 2015

Susur Rel: ‎Dari dalam Kereta, Menatap Singkarak * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 4 menit baca

Jalur kereta api nonaktif Teluk Bayur-Sawahlunto‎ di Sumatera Barat sejauh 155 kilometer ‎tidak sekadar menjadi sarana angkutan penumpang dan muatan batubara. Jalur ini juga menyuguhkan keindahan alam di ruas-ruas terjal dan curam yang membelah perbukitan serta danau biru: Singkarak.

Birunya Danau Singkarak bisa dipandang dari dalam kereta api yang melaju dari percabangan di Stasiun Padang Panjang yang berada di Kilometer 75 jalur Teluk Bayur-Sawahlunto. Dari Stasiun Padang Panjang hingga Kubu Kerambil sejauh 9 kilometer, Danau Singkarak belum terlihat. Di antara Kubu Kerambil dan Batu Tabal, birunya Singkarak mulai tampak.

Ketika menyusuri rel kereta yang membujur di sisi Danau Singkarak pada Desember 2015, terbayang asyiknya berkereta melalui ruas ini. Dari dalam kereta, tengokkan kepala ke arah danau yang diam dan tenang. Sensasinya lebih kurang sama dengan kereta di Jawa yang membelah sawah-sawah. Damai. Ruas rel di tepi Singkarak ini membujur sejak Batu Tabal hingga antara Stasiun Singkarak dan Solok sejauh lebih dari 20 kilometer. Lumayan panjang untuk melamun.

”Relnya masih kuat, belum berubah sejak kereta wisata lewat terakhir kali pada 2011. Hanya beberapa bantalan rel ‎lepas,” kata Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana sambil berjalan melintasi jembatan di atas Sungai Ombilin, persis di tepi danau. Dada terasa ”seeerrrrr” saat melintasi jembatan yang di bawahnya mengalir air deras.

Keindahan alam di Sumatera Barat menjadi pertimbangan penting bagi Pemerintah Belanda untuk membangun sarana transportasi kereta api (KA) yang dioperasikan oleh perusahaan kereta api De Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust (SSS). ‎Maka itu, jalur rel KA tidak sembarangan ditempatkan, selain (tentunya) terkait urusan teknis, seperti kebutuhan menggunakan jenis lebar rel 1.067 milimeter. Rel KA membelah bukit sehingga butuh terowongan, juga menanjaki bukit sehingga butuh rel bergerigi.

Jembatan-jembatan tidak hanya menghubungkan kedua sisi sungai, tetapi juga ”nangkring” di jalan raya. Di daerah Lembah Anai, misalnya, semua kesulitan pembangunan itu nyata, mulai terowongan di dalam bukit, rel bergerigi di jalan terjal, hingga jembatan di atas sungai dan jalan. Rel bergerigi sejauh 27 kilometer dibangun dari Kayu Tanam ke Padang Panjang hingga Batu Tabal.

Sejarah pembangunan rel KA di Sumatera Barat termuat dalam buku karangan De Jong M.V.B, Stations en spoorbruggen op Sumatra 1876-1941 (terbitan 2001). Uraian yang sama ada dalam buku karangan Imam Subarkah, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita 1867-1992 (Pustaka, Bandung: 1992).

De Jong menuliskan, jalur KA Teluk Bayur-Sawahlunto mulai dibangun September 1887 setelah undang-undang pembangunan perkeretaapian disahkan pada tahun yang sama. Pembangunan rel KA dipimpin Jan Willem Ijzerman. Pembangunan rel, bagian dari proyek tiga serangkai (triumvirat), dua lainnya ialah penggalian tambang batubara di Ombilin dan pembangunan Pelabuhan Teluk Bayur di Padang.

Ruas-ruas

Ruas pertama yang dioperasikan ialah Padang-Padang Panjang (68 km) dan percabangan pendek Padang-Pulo Air-Muaro (5 km) pada 1 Juli 1891. Jalur Padang Panjang-Singkarak-Solok-Muara Kalaban (76 km) dioperasikan 1 Oktober 1892. Adapun Muara Kalaban-Sawahlunto (4 km) beroperasi 1894. Dengan demikian, KA beroperasi penuh pada 1894 hingga mandek pada 2013. Beberapa jalur pendek telah dihentikan jauh sebelumnya, seperti Padang-Pulo Air dan Padang-Teluk Bayur.

Pada halaman 280 buku De Jong terpampang foto KA yang melintas dari arah Sawahlunto, lalu jalan raya, lalu danau. Rel kereta tidak semuanya lurus persis di samping danau. Sampai di daerah Biteh, perbatasan Tanah Datar dan Solok, rel menyeberang jalan menuju Stasiun Kacang. ”Karena sulit membangun stasiun di pinggir danau persis. Jadi, stasiun-stasiun berada di seberang danau dibatasi jalan,” kata Aditya.

Maka itu, ‎beberapa kali kereta menyeberang jalan aspal dari sisi danau ke arah bukit, seperti juga terlihat antara Stasiun Kacang dan Stasiun Singkarak. Namun, posisi rel kereta di seberang danau itu lebih tinggi dari jalan aspal sehingga keindahan Danau Singkarak tak terhalang.

Bangunan Stasiun Kacang kokoh berdiri meski kotor. Rel-rel besar masih menyembul jelas di sekitar stasiun. Warga sekitar menggeleng saat ditanya kapan terakhir kereta beroperasi lewat stasiun itu. ”Itu tanya kepala stasiun, di rumah dinas,” kata seorang warga yang tinggal beberapa meter dari Stasiun Kacang.

Kepala stasiun yang dimaksud ialah ‎Darisbet Piliang‎ yang pernah memimpin Stasiun Kacang pada 1991 hingga 1997. ”Sedih juga Stasiun Kacang jadi seperti rumah hantu. Saya dipindah-pindah sampai Jabodetabek sehingga tidak tahu lagi kondisi sini. Waktu saya pensiun dan kembali lagi ke Kacang, jalur ini sudah nonaktif. Selain stasiun, bangunan kuno yang masih dipertahankan adalah dua rumah dinas, salah satunya rumah yang saya tempati. Masih asli, kayunya, bentuknya,” kata Darisbet.

Stasiun Singkarak juga mangkrak. Bangunan utuh, tapi terbengkalai. Rumput-rumput liar dibiarkan meninggi di sekelilingnya. Hampir semua penduduk di sekitar stasiun berharap KA dioperasikan lagi, menjadi alternatif transportasi menuju Padang atau Sawahlunto.

Stasiun Solok menjadi pemberhentian berikutnya, 13 kilometer dari Stasiun Singkarak. Tampak dua lokomotif buatan 1993 teronggok di Solok. ”Loko-loko ini hanya beroperasi selama 10 tahun, setelah dihentikannya program kereta wisata,” kata Aditya.

Dua loko yang diimpor dari Swiss itu sebetulnya masih bagus, bisa beroperasi. Sayang, kereta wisata yang pernah dioperasikan sejak 1 Maret 2009 dengan rute Padang Panjang-Singkarak-Solok-Sawahlunto tidak berlanjut. Rute pernah diperpendek menjadi Solok-Sawahlunto-Solok pada 2012, tetapi mandek juga, dan pada 2014 hanya melayani carteran. ”Carteran juga sepi. Tahun 2015 tidak ada lagi carteran,” kata Busmawardi, petugas bagian aset Stasiun Solok.

Adrian Zulfikar, Koordinator Indonesian Railway Preservation Society Sumbar, berharap reaktivasi jalur kereta api nonaktif dan koneksinya dengan provinsi sekitar bisa terwujud. ‎Saat ini, kendala terbesar ialah kurangnya perhatian pemerintah kota/kabupaten di Sumbar.

”Kita bisa mencontoh negara-negara dengan tipe topografi mirip Sumbar. Sebut saja Swiss, Jerman, Austria, dan Hongaria yang jalur keretanya melintasi wilayah pegunungan. Kendala tentu bisa diatasi,” kata Adrian.

Artikel Lainnya