KOMPAS/SUSI IVVATY

Seorang pekerja tengah mengecat pinggiran jalur rel di Stasiun KA Bondowoso, 3 Maret 2016. Stasiun Bondowoso, dibangun pada 1893, merupakan stasiun nonaktif yang paling keren di antara semua stasiun nonaktif di Jawa Timur. Stasiun yang masih difungsikan untuk pembelian tiket KA (dari Jember atau Surabaya) ini menurut rencana akan dijadikan museum.

Susur Rel 2016

Susur Rel: Cerita Trem Uap Rambipuji-Balung-Ambulu * Liputan Khusus Kompas Susur Rel 2016

·sekitar 3 menit baca

Puluhan kereta angin ditata berderet di bekas Stasiun Kereta Api Balung, Jember, Jawa Timur. Tidak ada lagi kereta api yang akan lewat sejak stasiun ditutup pada 1972. Sejak puluhan tahun lalu, tempat itu menjadi markas para pedagang sepeda onthel yang menamakan diri Persatuan Pedagang Sepeda Balung.

Stasiun Balung dan beberapa stasiun kecil lain di Jember dan Lumajang ini istimewa karena dilalui dua jenis kereta. Staatsspoorwegen (SS), perusahaan KA milik pemerintah Hindia Belanda, sengaja membangun dua jenis rel, yakni rel trem uap selebar 600 mm dan rel KA selebar 1.067 mm guna memperluas wilayah jajahan ke kebun-kebun tebu yang tentunya terhubung pula dengan pabrik-pabrik gula.

Warga Balung, Mistamar (71), masih ingat betul pengalamannya menumpang dua kereta besar dan kecil yang melewati rumahnya. ”Kalau ke Ambulu naik kereta kecil. Ke Rambipuji naik kereta besar. Tiap hari naik kereta, nyari padi bawon (sisa/rontokan padi atau beras saat transaksi jual-beli padi/beras) lalu dijual,” katanya saat ditemui di Balung, awal Maret 2016.

Mistamar dengan bersemangat menunjukkan jejak rel trem uap yang tak ada lagi. Ia bercerita ketika dulu naik kereta untuk melamar istrinya pada 1965. Bisa dibayangkan, memang, Balung pernah menjadi kota kecamatan yang riuh. Stasiun-stasiun kecil menghubungkan desa-desa dan pasar-pasar.

Karena gula

Jawa Timur memang surga komoditas gula. Ladang-ladang tebu terhampar. Pabrik-pabrik gula bermunculan. Untuk itulah SS membutuhkan kereta sebagai transportasi komoditas. Jan de Bruin menulis dalam Het Indische Spoor in Oorlogstijd (2003) mengenai rupa-rupa hasil bumi yang digandrungi Belanda. Misalnya gula, garam, padi, dan buah-buahan.

SS pertama kali membuka jalur KA di Jatim, yang juga pertama kali di Hindia Belanda, pada 1878 dari Surabaya hingga Pasuruan. Jalur dilanjutkan ke Malang (1879), Probolinggo, Blitar dan Madiun (1884), hingga Klalah (1895) dan Jember (1897), lalu Panarukan dan Banyuwangi. Dari Klakah, dibangun pula jalur menuju Lumajang hingga Pasirian sepanjang 36 kilometer.

Merujuk buku karangan JJG Oegema, De Stoomtractie op Java en Sumatra (1982), SS pada 1913 membangun jalur trem uap dengan lebar rel 600 mm dari Stasiun Rambipuji (11 kilometer dari Stasiun Jember) menuju Balung-Kasianlor-Puger sejauh 28 kilometer. Dari Balung, dibangun cabang trem uap ke Ambulu sepanjang 12 kilometer. Sayang, trem uap jalur Rambipuji-Balung-Kasianlor-Puger tidak bertahan lama, ditutup pada 1927. Adapun jalur Balung-Ambalu ditutup pada 1972.

Saat menyusuri rel kereta nonaktif dari Stasiun Rambipuji, Kompas yang ditemani Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijojangko dari Komunitas Kereta Anak Bangsa mengikuti dua percabangan. Rambipuji menuju ke Balung-Ambulu dan Rambipuji ke Lumajang. Dengan mengandalkan peta bikinan Belanda, kami blusukan mencari jejak rel kecil 600 mm. Hanya sedikit kami temui, ke mana gerangan? ”Rel-rel kecil di Balung-Ambulu, kan, diangkut ke Jakarta, digunakan untuk jalur kereta di Taman Mini Indonesia Indah,” kata Aditya. Oooh….

Gado-gado stasiun

Sampailah kami di bekas Stasiun KA Lumajang. Bekas stasiun yang ditutup pada 1986 itu kini dimanfaatkan oleh perusahaan ekspedisi. Kotor. Di depan stasiun terdapat Warung Gado-gado Stasiun milik Bu Munjia. Sejenak kami melepas lelah, makan gado-gado. Lumayan.

”Saya jualan sejak 1971. Dulu laris sekali, sekarang lumayan. Tidak saya ganti nama warungnya karena semua orang tahunya Gado-Gado Stasiun,” kata warga asal Lamongan itu.

Dari Lumajang, kami menuju Tosowilangun dan Pasirian. Dua stasiun itu masih tampak bagus dan utuh. Selalu ada warga yang dengan senang hati bercerita mengenai stasiun dan kereta, seperti Rusmi (65). Ia bercerita tentang masa kecilnya, naik kereta dari Pasirian ke Lumajang untuk bersekolah di SD Lumajang. ”Dulu yang nyemprit (tiup peluit) namanya Pak Septi,” kata Rusmi.

Menurut Aditya, pembangunan jalur KA dan trem di lintas-lintas Jawa bagian selatan bertujuan untuk menghidupkan perekonomian Jawa bagian selatan. Namun, sayang jalur-jalur rintisan itu belum saling terkoneksi alias sepotong-sepotong.

Trem uap Balung-Ambulu‎ sebetulnya bisa menjadi transportasi alternatif menuju obyek wisata Pantai ‎Tanjung Papuma dan Watu Ulo. Namun, dengan berkembangnya transportasi jalan raya, trem pun mati.

Artikel Lainnya