Susur Rel 2015

Susur Rel: Kresna Menyusuri Wonogiri * Liputan Khusus Susur Rel 2015

·sekitar 5 menit baca

Ketika kian mendekati Stasiun Wonogiri, warga menghambur menyambut bus rel Batara Kresna, 11 Maret 2015. Warga yang kebanyakan berusia lanjut itu menggandeng anak-anak kecil, seakan ingin menunjukkan kereta api adalah masa lalu bagi yang tua, tetapi masa depan bagi anak cucu mereka.

Dulu, stasiun ini ramai sekali. Sepur kluthuk (berlokomotif mesin uap) mengangkut gamping (batu kapur) dari Baturetno dan bakul-bakul sayur,” ujar Mbah Talem (80) dengan wajah berseri.

Ia turut bergembira menyambut bus rel (variasi dari kereta dengan bahan lebih ringan) yang digunakan sebagai Kereta Api Perintis Batara Kresna. Kereta itu akan mengaktifkan kembali jalur Stasiun Purwosari di Solo, Jawa Tengah, hingga Stasiun Wonogiri, Jateng.

Mbah Talem berdagang makanan ringan dan minuman di sebuah warung yang letaknya persis di muka pintu masuk stasiun. Pada pagi menjelang siang pertengahan Maret lalu itu, Mbah Talem sibuk melayani para pembeli.

Tertanam dalam ingatan Mbah Talem ketika orang Belanda pada masa kolonial mengoperasikan kereta api kluthuk dari Baturetno melintasi Wonogiri menuju Solo (Surakarta). Gerbong-gerbong kereta api kebanyakan mengangkut batu gamping dari wilayah Baturetno untuk keperluan pabrik-pabrik gula di Solo dan sekitarnya.

Menurut catatan Vincent JH Houben dalam buku Spoor Masa Kolonial (Waskito Widi Wardojo, 2013), pada 1863 terdapat pabrik gula di Sragen (22 pabrik), Boyolali (11 pabrik), Klaten (9 pabrik), dan Kartasura (4 pabrik). Produksi gula terbanyak di Klaten. Catatan Vincent menyebutkan, pada 1863 diproduksi 40.239 pikul gula di Klaten.

Sistem tanam paksa pada 1830-1870 menyebabkan komoditas bernilai ekonomis, seperti tebu, banyak diproduksi. Tetapi, tanam paksa tidak diterapkan di wilayah milik Kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran di Solo. Banyak pemodal menyewa tanah di wilayah itu untuk menanam tebu karena tanahnya subur.

Diaktifkan kembali

Menteri Perhubungan Ignasius Jonan yang juga mantan Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia (KAI), pertengahan Maret lalu, meresmikan reaktivasi jalur kereta api Solo-Wonogiri dengan bus rel Batara Kresna. Operasionalisasi Batara Kresna menggunakan subsidi pemerintah hampir Rp 9 miliar mulai dari 11 Maret sampai 31 Desember 2015.

Konon, kata anggota DPRD Kabupaten Wonogiri, Bambang Sudriyanto, nama Batara Kresna diberikan Wali Kota Solo Joko Widodo pada 2011 bersamaan dengan pengoperasioan bus tingkat wisata Werkudoro. Namun, kereta Batara Kresna hanya bertahan sampai 2013 dengan tarif tiket tanpa disubsidi Rp 20.000.

Jonan memecahkan kendi berkalung rangkaian melati berisikan air di kaca lokomotif bus rel Batara Kresna. Itu menandakan peresmiannya. Dia lalu masuk dan mengikuti perjalanan bus rel Batara Kresna mulai dari Stasiun Purwosari sampai stasiun berikutnya, Solokota. Dari dalam bus rel, terlihat sempadan rel kereta api di Kota Solo dipenuhi rumah penduduk.

Jonan menghendaki ada penataan kembali. Serupa daerah sempadan rel kereta api di lain daerah, misalnya, di jalur kereta api Jakarta-Bogor melalui Depok. Banyak bangunan di kiri-kanan rel kereta api dirobohkan. Lahan itu kemudian terbuka meski belum jelas peruntukannya.

Perkeretaapian mengalami banyak perubahan baik ketika Jonan menjabat Direktur Utama PT KAI pada 2009. Penataan kembali perkeretaapian mengutamakan modernisasi dan kesejahteraan pekerjanya.

Operasional Batara Kresna belum sempurna. ”Mengapa jarak tempuh hanya 30 kilometer, tetapi lama sekali sampai satu jam 45 menit?” kritik Jonan. Jonan menyampaikan, idealnya, ada tiga bus rel Batara Kresna. Dua unit untuk dijalankan, satu unit dicadangkan.

Kini kereta di jalur itu diharapkan menjadi alat transportasi bagi penduduk. Direktur Utama PT KAI Edi Sukmoro mengatakan, reaktivasi jalur Solo-Wonogiri akan mengurangi beban jalan, mengurangi risiko kecelakaan di jalan, dan menjadi pilihan angkutan massal.

Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Wonogiri Ismiyanto mengatakan, animo pengguna angkutan jalan dari Wonogiri ke Solo dan sebaliknya sekarang berubah. Penduduk yang semula pengguna bus angkutan umum sekarang menjadi pemakai sepeda motor.

”Dengan sepeda motor, dari Wonogiri sampai Solo bisa ditempuh kurang dari setengah jam,” katanya.

”Vorstenlanden”

Reaktivasi jalur kereta api Solo-Wonogiri itu mengingatkan sejarah perkeretaapian pada masa kolonial Belanda di wilayah vorstenlanden, yaitu tanah di bawah kekuasaan kerajaan Surakarta yang tidak boleh dikenai sistem tanam paksa. Wilayah kerajaan Yogyakarta juga termasuk vorstenlanden.

Tanah di kedua wilayah kerajaan tersebut memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya. Para pemilik modal Belanda akhirnya menyewa lahan-lahan itu untuk perkebunan-perkebunan. Salah satunya perkebunan tebu.

Komoditas tebu paling mencolok tingkat produksinya. Di wilayah Surakarta, pada 1863, ada 46 pabrik gula tersebar di Sragen, Boyolali, Klaten, dan Kartasura. Jalur kereta api menyusul kemudian. Pada 1867, jalur kereta mulai dibangun dari Semarang menuju Tanggung, Purwodadi.

Jalur kereta api itu dilanjutkan hingga Solo dan selesai pada 1870. Pembangunan jalur kereta dilanjutkan hingga Klaten dan selesai tahun 1871. Lalu, berlanjut dari Klaten hingga Yogyakarta yang selesai pada tahun 1887.

Kehadiran moda transportasi kereta memberikan keuntungan besar bagi para pengusaha pabrik gula. Adanya kereta api mempercepat pengiriman gula ke pelabuhan ekspor di Semarang. Pengiriman gula juga menjadi lebih efisien.

Para pemilik modal perkebunan itu pula yang menghendaki diperluasnya jaringan rel kereta api, termasuk pembangunan jalur trem untuk pengangkutan tebu ke pabrik-pabrik.

Begitu pula ketika pabrik-pabrik gula itu membutuhkan batu kapur untuk proses produksinya. Para pemodal menginginkan supaya dibuka jaringan baru rel kereta api yang bisa mengangkut batu kapur dengan lebih efektif.

Pemenuhan batu kapur untuk pabrik-pabrik gula di wilayah vorstenlanden Surakarta didatangkan dari wilayah Wonogiri. Baru pada 1922 dibangun jalur rel kereta api sepanjang 32 kilometer dari Stasiun Solokota hingga Stasiun Wonogiri. Eksploitasi batu kapur di daerah Wonogiri dilanjutkan ke arah selatan. Maka, pada tahun berikutnya, 1923, dibangun jalur rel dari Stasiun Wonogiri sampai Stasiun Baturetno sepanjang 19 kilometer.

Perbedaan nyata

Perencanaan dan pembangunan jalur kereta api di masa kolonial Hindia Belanda berbeda nyata dibandingkan dengan masa sekarang. Peresmian Batara Kresna, misalnya, menampakkan perencanaan yang kurang matang.

Operasional Batara Kresna tanpa ketersediaan kereta cadangan. Infrastruktur lintasan rel juga tidak ditingkatkan untuk menyesuaikan dengan kapasitas bus rel Batara Kresna yang memiliki kecepatan maksimum sampai 100 kilometer per jam. Pada akhirnya, Batara Kresna hanya bisa berjalan pelan 30 kilometer per jam.

Menurut ahli transportasi dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, jalur Solo-Wonogiri memiliki tipe rel 33 (dengan panjang 1 meter memiliki bobot 33 kilogram). Itu tidak ideal untuk kecepatan sedang hingga tinggi.

”Semestinya rel tipe 33 sudah harus diganti menjadi rel tipe 42 atau 54,” kata Djoko.

Kementerian Perhubungan sejak 2009 hingga 2014 menghabiskan anggaran Rp 206,8 miliar untuk pemeliharaan dan peningkatan jalur kereta api lintas Purwosari-Wonogiri. Tetapi, ini tidak berpengaruh terhadap kebutuhan bus rel Batara Kresna.

Semestinya kita bisa melaju lebih cepat dalam membangun perkeretaapian. Dengan pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan perkembangan kota-kota di Indonesia, kereta api merupakan angkutan massal masa depan.

Artikel Lainnya