KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Bekas bangunan dipo trem uap yang dulu dioperasikan perusahaan kereta api swasta Jawa Timur, Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS), masih berdiri kokoh, Sabtu (6/2) pagi, di Wonokromo, Surabaya, Jawa Timur. Pada dinding dipo ini terdapat tulisan berbahasa Latin Anno 1913 yang berarti tahun 1913, masa ketika dipo ini mulai beroperasi.

Susur Rel 2016

Susur Rel: Menanti ”Reinkarnasi” Surotrem * Liputan Khusus Susur Rel 2016

·sekitar 4 menit baca

Pada 1889, saat Surabaya masih lengang dan belum terjangkit hiruk-pikuk kemacetan, perusahaan swasta Oost Java Stoomtram Maatschappij sudah mengoperasikan trem uap di kota itu. Lebih dari satu seperempat abad kemudian, moda transportasi massal ini akan dihidupkan lagi menyusuri jalur lamanya dari Ujung menuju Wonokromo.

Jan de Bruin dalam buku Het Indische Spoor in Oorlogstijd (2003) menyebutkan, operasi jalur trem uap pertama di Surabaya dimulai dari kawasan Dermaga Ujung hingga Benteng Pangeran Hendrik (Benteng), Benteng-Surabaya Kota, Surabaya Kota-Grudo-Wonokromo, lalu dilanjutkan ke Karangpilang di Sepanjang. Total panjang jalur trem uap ini mencapai 20 kilometer.

Jalur trem dibangun mendekati Dermaga Ujung agar penumpang dapat langsung naik kapal ke Pulau Madura. Kala itu, perusahaan kereta api uap swasta Madoera Stoomtram Maatschappij menyediakan jasa kapal penyeberangan dari Dermaga Ujung menuju Kamal, Madura.

Ketua Komunitas Kereta Anak Bangsa Aditya Dwi Laksana, Jumat (19/2), di Jakarta, menjelaskan, selain membangun jalur trem uap dalam kota dari Ujung, Wonokromo, hingga Karangpilang (20 km), Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS) membuka jalur trem luar kota Mojokerto-Mojoagung-Ngoro (33 km) dengan membuat lintas cabang Gemekan menuju Dinoyo (8 km) pada 1889 dan 1890. Selanjutnya, jalur trem dari Karangpilang diperpanjang hingga Krian sejauh 7 km dan dibuka pada 1898. Kedua jalur ini terhubung dengan ruas jalur kereta api milik pemerintah Staats Spoorwegen.

Hal menarik dari pembangunan jalur trem ini adalah OJS tidak hanya membangun jalur-jalur trem di kawasan perkotaan, tetapi juga di luar kota, seperti Mojokerto-Mojoagung-Ngoro. Harapannya, trem uap bisa dimanfaatkan masyarakat untuk mengangkut komoditas pertanian ataupun hasil bumi dari luar kota ke Surabaya.

Kehadiran trem uap di Surabaya menjawab kebutuhan angkutan massal masyarakat sekitar, terutama yang bekerja di pelabuhan, para pelaut, dan tentara angkatan laut. Selepas kerja, mereka dapat pulang ke rumah masing-masing dengan naik trem uap.

Seiring perkembangan zaman, OJS memodernisasi beberapa jalur trem uap menjadi jalur trem listrik setelah mendapat konsesi dari Pemerintah Hindia Belanda pada 1921. Di beberapa ruas, OJS tetap mempertahankan jalur trem uap untuk mendukung transportasi logistik ataupun pengangkutan komoditas ke Kota Surabaya.

Menurut Aditya, dengan mulainya pengoperasian trem listrik, jalur trem uap mengalami penyesuaian. Jalur trem uap dari Wonokromo digeser ke barat menyusuri Jalan Diponegoro-Kupang-Stasiun Surabaya Pasar Turi-Kebonrojo dan kemudian bergabung dengan jalur semula Stasiun Surabaya Kota menuju Ujung. Sebelumnya, jalur trem uap melintas di kawasan Grudo dan Simpang.

”Pada 1920, jalur trem uap juga dibuka dari Stasiun Surabaya Pasar Turi menuju Pelabuhan Tanjung Perak. Setiap musim haji, jalur ini dipadati pengantar dan penjemput jemaah haji yang berangkat dan pulang di Pelabuhan Tanjung Perak,” ucapnya.

Memasuki 1923, trem listrik beroperasi di Surabaya dengan rute Wonokromo-Darmo-Jalan Panglima Sudirman–Simpang–Tunjungan–Tugu Pahlawan-Jembatan Merah–Pelabuhan Tanjung Perak serta Tunjungan-Sawahan. Setahun kemudian, trem listrik beroperasi dari Simpang-Kayoon-Gubeng.

Panjang jalur trem listrik mencapai 19 kilometer. Berbeda dengan trem uap yang dimanfaatkan untuk angkutan manusia dan barang, trem listrik hanya untuk manusia. Setelah 45 tahun beroperasi, trem listrik di Surabaya berhenti beroperasi pada 1968. Adapun armada trem uap mampu bertahan sampai 1978 dengan rute terakhir Wonokromo-Kebonrojo.

Terbengkalai

”Jejak-jejak kejayaan” trem uap dan trem listrik di Surabaya masih bisa disaksikan di beberapa tempat, seperti bangunan Stasiun Wonokromo yang masih tampak di sisi utara Terminal Joyoboyo, bangunan dipo trem uap dan listrik OJS di samping Kebun Binatang Surabaya, juga bekas halte trem listrik yang berjajar di pinggir Kalimas di wilayah sekitar Jembatan Merah.

Seiring perjalanan waktu, kondisi bekas Stasiun Wonokromo kini semakin memprihatinkan. Bangunan besar beratap seng itu berubah menjadi tempat berjualan dan parkir sepeda motor. Adapun bangunan dipo trem uap dan listrik di sisi barat stasiun makin kumuh tak terawat, dengan kawasan hunian padat penduduk di sekelilingnya.

”Sebagian rel trem masih tampak, tetapi kemudian hilang tertutup hunian penduduk,” kata anggota Komunitas Kereta Anak Bangsa, Gurnito Rakhmat W, saat menyusuri stasiun trem Wonokromo.

Menjawab kebutuhan

Menjawab kebutuhan transportasi yang semakin tinggi, pada pertengahan tahun ini, Pemerintah Kota Surabaya, Kementerian Perhubungan, dan PT Kereta Api Indonesia akan menghidupkan kembali jalur trem Surabaya (Surotrem) dari Wonokromo ke Perak sepanjang 23 km. Pembangunannya mengacu pada jalur trem lama.

”Trem bisa menjawab persoalan kemacetan karena mampu mengangkut hingga 2.000 orang per jam,” kata dosen Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Wahyu Herijanto.

Kondisi zaman telah jauh berubah. Dulu OJS mengoperasikan trem saat jumlah penduduk Surabaya masih 100.000 jiwa. Kini moda transportasi itu akan dihidupkan lagi setelah jumlah penduduk Surabaya 2,9 juta jiwa. Dalam situasi seperti ini, ”reinkarnasi” Surotrem makin dinanti-nanti. (DEN)

Artikel Lainnya