Susur Rel 2016

Susur Rel: Terbenamnya Jalur Singaparna dan Pirusa

·sekitar 4 menit baca

Jalur kereta api di Tasikmalaya, Jawa Barat, meninggalkan dua jejak jalur rel mati. Keduanya, jalur Singaparna sebagai warisan Hindia Belanda dan jalur Pirusa, warisan Orde Baru yang beroperasi 1983-1992 sebagai angkutan pasir dari Gunung Galunggung untuk membuat jalan tol di Jakarta.

Sampai sekarang pasirnya masih ditambang dengan truk. Waktu itu, kereta api dihentikan karena kedatangannya tidak lagi lancar. Saya tidak tahu sebabnya,” kata Uong (63), warga yang tinggal tidak jauh dari bekas Stasiun Pirusa di Dusun Pirusa, RT 002 RW 002 Desa Sukaratu, Kecamatan Sukaratu, Tasikmalaya, Kamis (9/6).

Sewaktu kereta api diaktifkan, Uong bekerja sebagai sopir dump truck. Ia mengangkut pasir dari kaki Gunung Galunggung menuju dam pasir di Stasiun Pirusa. Jarak pengambilan pasirnya sekitar 5 kilometer dari stasiun. ”Waktu itu, kami digaji lumayan bagus,” kata Uong.

Gaji pertama diterima Uong pada 1983 sebesar Rp 60.000 per bulan. Gaji terakhirnya pada 1992 diterima Rp 200.000 per bulan. Menurut Uong, gaji sebesar itu lebih dari cukup untuk hidup sehari-hari pada waktu itu. Namun, keberuntungan ini hanya berlangsung 10 tahun.

Kereta api untuk mengangkut pasir dari lereng Gunung Galunggung dihentikan pada 1992. Padahal, pasirnya waktu itu masih banyak. Sampai sekarang pun masih tampak lalu lalang truk pengangkut pasir dari Pirusa. Kereta api pengangkut pasir pun tinggal kenangan.

Gunung Galunggung pernah meletus hebat pada 5 April 1982. Selama beberapa hari terjadi hujan abu. Letusan memuntahkan pasir.

Saat itu pada masa pemerintahan Presiden Suharto yang tengah membangun beberapa ruas jalan tol di Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bangunan, diambil pasir dari Gunung Galunggung. Dibuatlah lintas cabang rel dari Babakan Jawa, beberapa kilometer sebelum Kota Tasikmalaya dari arah Bandung. Lintas cabang rel itu sepanjang 8 kilometer.

Susur Rel Kompas kali ini melibatkan Aditya Dwi Laksana dan Gurnito Rakhmat Wijokangko dari Lembaga Kereta Anak Bangsa. Dapat dijumpai beberapa ruas rel masih tersisa di area bekas Stasiun Pirusa. Sebagian di antaranya menyembul dari tanah yang menguburnya.

Jalur rel lain di sebagian besar jalur Pirusa sudah tidak tampak lagi. ”Setelah tidak beroperasi, rel di sepanjang jalurnya diambil. Saya tidak tahu siapa yang mengambilnya,” ucap Uong.

Jalur Pirusa masih meninggalkan jejak jembatan kokoh dengan terowongan untuk jalan kendaraan di bawahnya. Jembatan tersebut ada di Jalan Sukaratu menuju kawasan Gunung Galunggung.

Jalur pipa

Jalur rel dari Kota Tasikmalaya menuju Singaparna dibangun 1911 sepanjang 17 kilometer. Jalur itu mengalami nasib serupa dengan jalur Pirusa.

Jalur rel itu sekarang dimanfaatkan untuk jalur pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tasikmalaya. Ketika menyusuri lintasan cabang rel keluar dari Stasiun Tasikmalaya menuju Singaparna, Aditya menunjukkan, jalur rel sudah menjadi gang-gang sempit permukiman di tengah Kota Tasikmalaya.

Bekas jalur rel kemudian melintasi pasar. Nama jalannya, Jalan Pasar Rel. Jalur rel dulunya diperkirakan berada di tengah jalan tersebut. Tetapi, tidak jauh dari ujung jalan itu berdiri tembok bangunan sebuah mal.

”Ini mal terbesar di Kota Tasikmalaya. Mal ini berada di atas bekas jalur rel Tasikmalaya ke Singaparna,” ujar Aditya.

Lintasan cabang jalur rel dari Stasiun Tasikmalaya itu berujung ke Stasiun Singaparna. Namun, bekas stasiun tersebut kini sudah menjelma menjadi Kantor Kepolisian Sektor Singaparna.

Di tengah jalur antara Tasikmalaya dan Singaparna terdapat beberapa bekas jembatan rel. Fondasi beberapa jembatan itu masih kokoh dan dimanfaatkan untuk menopang pipa PDAM berukuran besar.

Setelah melintasi jembatan, pipa tersebut masuk ke dalam tanah. Pipa PDAM ini memanfaatkan bekas jalur rel, seakan mengubur harapan kereta api untuk bisa dihidupkan kembali.

”Ketika digunakan untuk pipa PDAM, kereta api tidak akan bisa diaktifkan kembali. Salah satu harus mengalah,” kata Aditya.

Produktif

Jalur kereta api Tasikmalaya menuju Singaparna cukup produktif. Jalur ini digunakan untuk pengangkutan berbagai komoditas perkebunan, seperti kopi, karet, kina, dan teh.

Jalur itu bertahan antara tahun 1911 sampai masa pendudukan Jepang tahun 1943-1944. Rel di jalur itu kemudian dipereteli Jepang. Relnya dipindahkan ke jalur lain untuk menunjang kepentingan pemerintah pendudukan Jepang.

Seperti jalur-jalur rel lainnya yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda, hal yang dinilai produktif akan menjadi pertimbangan paling utama untuk pembangunan jalur kereta api. Itu sebabnya, pada masa Presiden Suharto juga diperhitungkan hal yang cukup produktif, ketika membangun jalur kereta api menuju lereng Galunggung dari Babakan Jawa menuju Pirusa.

”Pertimbangan dari hal yang produktif ini sebenarnya menjadi kunci untuk membangun jalur kereta api di masa mendatang,” kata Aditya.

Perkeretaapian di wilayah Jawa Barat maju pesat ketika Bandung mulai terhubung ke Batavia (Jakarta) dengan kereta api melalui Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, pada 1884. Selanjutnya, pada 1894 Bandung terhubung dengan pelabuhan Cilacap.

Saat itu terdapat kebijakan tanam paksa oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hasil tanam paksa berupa hasil-hasil perkebunan berlimpah.

Sebelumnya, para pengusaha perkebunan menghendaki ekspor hasil-hasil perkebunannya ke Eropa. Namun, keinginan tersebut belum ditunjang sarana transportasi yang cepat dan aman menuju pelabuhan ekspor di Tanjung Priok, Jakarta, atau ke pelabuhan Cilacap.

Kereta api menjadi jawaban atas kebutuhan para pengusaha perkebunan tersebut. Ekspor hasi-hasil perkebunan melalui Pelabuhan Tanjung Priok dan Cilacap mampu meningkatkan perekonomian Belanda. Ketika itu wilayah Hindia Belanda atau wilayah Nusantara mampu memakmurkan Eropa. Bagaimana sekarang? Untuk memakmurkan bangsa sendiri saja mungkin susahnya bukan main.

Artikel Lainnya