Pemberitaan media beberapa pekan lalu menyebutkan, komodo yang berada di Taman Nasional Komodo mengalami stres karena kunjungan wisatawan yang terus meningkat. Jumlah wisatawan yang terus bertambah untuk menyaksikan komodo secara langsung di habitatnya membuat reptil raksasa ini merasa terancam ruang geraknya.
Kondisi ini jelas berpotensi mengancam kenyamanan komodo yang sudah mendapat perlindungan maksimal demi menjaga kelangsungan hidupnya.
Komodo merupakan makhluk endemik yang hidup di Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan beberapa pulau kecil di sekitarnya. Ada yang menyebutkan kadal raksasa ini hidup juga di daratan Pulau Flores. Masyarakat Komodo menyebut makhluk ini dengan nama orah atau sebai. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, komodo merupakan saudara kembar mereka yang harus dijaga dan dilindungi hidupnya.
Reputasi komodo sebagai hewan langka bermula dari temuan sejenis reptil raksasa oleh JKH Van Steyn pada 1911. Perwira Belanda ini kemudian melaporkan temuannya tersebut kepada Pieter Antonie Ouwens, kurator dari Museum Zoologi Bogor.
Setahun kemudian, Ouwens memberi kadal ini nama ilmiah, yakni Varanus komodoensis. Tujuannya adalah untuk memudahkan semua orang di dunia mengidentifikasi secara universal reptil raksasa yang hidup di Pulau Komodo dan sekitarnya.
SK tersebut tidak mampu menahan perburuan komodo yang dilakukan oleh orang-orang Eropa.
Popularitas komodo beranjak naik dan mengundang rasa penasaran para peneliti hewan dari Eropa. Untuk menjaga populasi komodo, Sultan Bima mengeluarkan Surat Keputusan tentang Perlindungan Komodo pada 1915. Pada 1926 hingga 1930, mulai dari Pemerintah Daerah Manggarai, Residen Timor, dan Residen Flores mengeluarkan SK serupa untuk melindungi komodo.
Sayangnya, SK tersebut tidak mampu menahan perburuan komodo yang dilakukan oleh orang-orang Eropa. Pada 1926, W Douglas Burden melakukan ekspedisi ke Pulau Komodo untuk melihat langsung dan menangkap reptil ini untuk dibawa ke negaranya.
Ekspedisi tersebut berhasil membawa 12 spesimen komodo yang diawetkan berikut dua komodo hidup. Ekspedisi ini lalu mendorong perburuan komodo, baik untuk kepentingan penelitian maupun kepentingan yang lain.
Menyadari jumlah komodo yang semakin susut di alam bebas, Pemerintah Kolonial Belanda melarang perburuan komodo dan membatasi jumlah hewan yang diambil untuk kepentingan ilmiah. Tahun 1931, pemerintah kolonial mengeluarkan Undang-Undang Perlindungan Binatang Liar yang mencantumkan komodo dalam daftar satwa yang mutlak dilindungi.
Perlindungan komodo dipertegas lagi dengan Pembentukan Suaka Margasatwa Pulau Padar, Bagian Barat, dan Selatan Pulau Rinca melalui Zelfbestuur van Manggarai, verordening Nomor 32 Tahun 1938. Regulasi ini efektif mengurangi ekspedisi perburuan komodo hingga masa Perang Dunia II.
Ketentuan tentang Suaka Margasatwa ini terus digunakan hingga Indonesia merdeka. Pada 1965 Pemerintah RI menambah Pulau Komodo sebagai Suaka Margasatwa seluas 31.000 hektar. Pola konservasi komodo melalui suaka margasatwa ini bertahan hingga 1980 ketika pemerintah mengumumkan pembentukan Taman Nasional Komodo.
Setelah menetapkan wilayah kerja TNK, tahun 1992 pemerintah memutuskan Perubahan Fungsi Suaka Margasatwa Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar menjadi Taman Nasional dengan nama Taman Nasional Komodo. Setelah seluruh wilayah daratan yang menjadi habitat komodo dijadikan taman nasional, pemerintah juga berkeinginan untuk memperluas wilayah konservasi hingga perairan laut. Tahun 2000, pemerintah menetapkan kawasan pelestarian alam perairan TNK.
Manajemen pengelolaan TNK mulai memasuki fase baru ketika wilayah kerja taman ditambah dengan laut di sekitar area habitat komodo. Untuk mempermudah pengawasan, pemerintah menetapkan sistem zonasi dalam TNK. Pada 2012, pemerintah menyempurnakan sistem zonasi yang mencakup dan meliputi kawasan daratan dan perairan yang terdiri dari sembilan zonasi. Sistem zonasi inilah yang digunakan oleh Balai TNK untuk mengelola dan mengontrol taman hingga saat ini. (SULTANI/LITBANG KOMPAS)