Anneke R Morin tidak ingin anak-anak di Teluk Cenderawasih terus tertinggal dari anak-anak kota. Mereka sebenarnya cerdas, tetapi kerap kurang pengetahuan karena tidak memperoleh fasilitas belajar yang memadai, terutama tentang pentingnya menjaga kelestarian alam. Lewat dongeng, Mama Morin, begitu biasa dia dipanggil, menebar pengetahuan tentang pentingnya menjaga alam dan berbuat baik kepada sesama.
Sore itu, Kamis (10/8), sepuluh anak Kampung Yomakan duduk bersila penuh hikmat menyimak tuturan Mama Morin (56). Dia mendongeng tentang asal mula Kampung Yomakan. ”Nenek Sawas mengajak makan sambil berteriak kepada semua, ’Yo makan, yo makan…’, maka kampung ini diberi nama Yomakan,” kata Mama Morin disambut tepuk tangan anak-anak.
Dia menambahkan, hutan dan laut memberikan cukup makanan. Karena itu, manusia harus berterima kasih kepada Tuhan dengan cara menjaga alam. Kalau alam rusak, manusia susah mencari makan. Setelah itu, dia mengajak anak-anak berdoa sebelum Mama Morin membagi-bagikan hadiah. ”Ini biskuit dibungkus plastik. Boleh tidak membuang plastik ke laut?”
”Tidaaaak..,” jawab anak-anak serentak.
Begitulah kira-kira cara Mama Morin mendongeng dan menyuntikkan kesadaran menjaga lingkungan. Baginya, dongeng menjadi cara yang efektif mentransformasikan pengetahuan dan kesadaran. Sebab, pada dasarnya semua orang, terutama anak-anak, senang dengan dongeng.
Mama Morin mencari tema dongeng yang berdekatan dengan anak-anak, tentang ikan, laut, hutan, gunung, danau, dan segala yang dikenal anak-anak di Teluk Wondama. Kedekatan isi dongeng dengan pengalaman hidup anak menemukan irisan yang besar sehingga mereka bisa menikmati setiap alur cerita. Dongeng itu dia gali sendiri dari masing-masing kampung.
Seperti pada siang itu, Jumat (11/8), Mama Morin penuh perhatian menyimak penuturan Kepala Kampung Sombokoro Ismael Munuari. Sesekali dia mencatat detail cerita Ismael di buku. Dia juga ikut menggali cerita dengan bertanya kepada Ismael.
Ismael berkisah tentang asal mula nama Kampung Sombokoro yang terkait erat dengan kebiasaan leluhur, yakni menyembah ular. Menyembah ular yang dimaksud adalah tradisi ketika ada warga sakit atau terluka, tetua adat menggelar ritual memanggil ular untuk menjilat luka tadi. Maka, desa ini diberi nama Sombokoro, bahasa lokal, yang berarti ’menyembah ular’.
Setiap turun kapal, Morin menyusuri kampung menemui tetua adat atau aparat desa untuk memperoleh cerita lokal. Selama empat hari keliling desa-desa di sebagian Teluk Cenderawasih bersama tim WWF dan Kompas menggunakan Kapal Gurano Bintang, Mama Morin memperoleh bahan yang cukup untuk lima dongeng. ”Sampai rumah langsung saya ketik. Tidak banyak, satu dongeng sekitar dua sampai tiga halaman saja,” ujarnya.
Sebelumnya, dia sudah mengoleksi enam buku dongeng karangannya sendiri. ”Dulu, saya mendongeng dari Al-Kitab atau buku dongeng karangan orang lain. Lalu, saya berpikir, mengapa tidak menulis dongeng sendiri,” kata Mama Morin mengisahkan awal mula dia menulis buku dongeng.
Meniru ibu
Morin kecil selalu mendapat cerita dongeng dari ibunya setiap menjelang tidur. Dongeng-dongeng itu bersumber dari Al-Kitab yang sebagian besar berisi pesan moral tentang kebaikan dan keburukan, tentang dosa dan pahala. Morin merasa nilai-nilai yang diajarkan ibunya lewat dongeng lebih mudah merasuk ke dalam ingatan dan berdampak terhadap sikap dan tindakan. Itulah yang kemudian menginspirasinya untuk mendongeng kepada anak-anak.
Dia mulai mendongeng ketika berusia 17 tahun, lalu berlanjut saat menjadi ibu. Setiap menjelang tidur, Morin mendongeng kepada anaknya, tetapi tidak melulu tentang surga-neraka. Morin mencoba menggali ide-ide dongeng dari beragam bacaan, yang sayangnya masih sangat terbatas sehingga dirinya kerap harus mengulang dongeng lama.
”Tetapi, anak-anak sering protes. Katanya dongeng itu sudah pernah saya ceritakan dan mereka sudah hafal akhir ceritanya sehingga tidak asyik lagi.”
Kondisi itu mendorong Morin untuk lebih banyak membaca dan rajin ke perpustakaan. Lambat laun dia dikenal sebagai pendongeng hingga diundang ke berbagai acara ulang tahun anak-anak atau sekolah Minggu untuk mendongeng. Itu terutama saat bertugas di Jayapura.
Tahun 2009, dia diangkat sebagai Kepala Bidang Perpustakaan dan pindah ke Kabupaten Teluk Wondama, jabatan yang sama sekali tidak dia duga. Tetapi, janji dan sumpah sudah dia ambil yang berarti harus konsisten menjalankan amanat yang tak ringan. Tugas utamanya mengembangkan perpustakaan di sekolah, desa, dan kampung.
Di Kabupaten Teluk Wondama terdapat 76 desa atau kampung yang terbagi ke dalam 13 distrik. Banyak sekali anak usia sekolah dasar dan beberapa sekolah menengah pertama belum bisa membaca karena keterbatasan sarana pendidikan. Para guru yang ditugaskan ke sana jarang yang betah karena susah aksesnya. Desa-desa itu minim, bahkan tidak ada, listrik, mobilitas mengandalkan transportasi air berupa perahu mesin atau perahu tradisional.
Morin berasa agak beruntung karena mendapat bantuan perpustakaan berjalan dari Badan Perpustakaan pusat berupa mobil yang diisi 1.000 buku. Di tengah keterbatasan itu, Morin menegaskan sumpahnya. ”Saya berkomitmen bahwa sebagai pustakawati harus mengenalkan buku ke desa dan kampung-kampung.”
Maka, setidaknya tiga bulan sekali dia keliling desa-desa itu untuk mendongeng dan membagikan 50 eksemplar sampai 100 eksemplar buku. Tiga bulan lagi, dia jenguk desa itu untuk mengecek perkembangan perpustakaannya. Itu dia lakukan dengan biaya sendiri, uang dari insentif yang dia terima dengan besaran antara Rp 1 juta dan Rp 3 juta per tiga bulan.
Ternyata tidak mudah mengumpulkan anak-anak di kampung-kampung. Morin harus meminta bantuan kepala desa atau tetua adat setempat. Dia juga membekali diri dengan beragam mainan dan makanan kecil yang siap dibagikan kepada anak-anak di setiap mendongeng. Ini efektif untuk membuat anak-anak betah duduk lama-lama membaca dan menyimak dongeng.
Sambil keliling desa-desa, Morin mengumpulkan cerita-cerita rakyat setempat. ”Logikanya sederhana saja, setiap tempat punya nama dan selalu ada cerita di balik nama-nama itu. Misalnya asal mula Desa Yomakan,” ujarnya.
Dia juga menggelar lomba dongeng sejak 2012. Semula dia membebaskan peserta lomba, yang merupakan anak-anak sekolah menengah atas, dalam memilih tema. Akan tetapi, belakangan dia resah karena tema-tema dongeng yang muncul kebanyakan dari daerah lain, seperti Jayapura dan Sulawesi, bahkan dari Sumatera. Sejak saat itu, dia mewajibkan peserta lomba menggali cerita lokal. Morin ingin anak didiknya turut mendongeng tentang kearifan lokal dan alam. (Mohammad Hilmi Faiq)