Gelembung-gelembung udara di pinggir Pulau Mioswar di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, tidak lagi istimewa bagi warga setempat. Demikian pula dengan aliran air hangat beraroma sulfur yang mengalir dari dalam hutan dan berakhir di laut. Sejak lahir, Markus Wandau (60), warga setempat, menganggapnya sebagai peristiwa alam biasa. Ia bahkan hanya menanti di perahu cepat Geelvink Baai saat mengantar tim Kompas berendam menikmati air hangat itu.
Beda halnya ketika keberadaan gelembung udara dan air hangat beraroma sulfur ini didengar oleh Benyamin Sapiie, Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung. Fenomea alam demikian, kata Benyamin, yang berulang kali melakukan riset seismik di Teluk Cenderawasih untuk tujuan eksplorasi hidrokarbon, merupakan fenomena alam yang unik.
Keberadaan sumber air panas dengan aroma sulfur erat kaitannya dengan gejala vulkanik. Padahal, di Papua, belum pernah dia jumpai keberadaan gunung api. Di daratan Pulau Papua, gunung berapi hanya dijumpai di wilayah Papua Niugini yang sangat jauh letaknya dari Teluk Wondama.
“Kalau ada sulfur, curiga (ada) gunung api. Tapi, tidak ada gunung api (di Papua) karena secara tektonik tidak akan menghasilkan gunung api. Tapi, kalau dia (gunung api) ada di bawah sana, mungkin kita agak salah, ada terjadi perubahan di luar perhitungan kita,” kata Benyamin.
Sementara itu, terkait gelembung udara di pinggir pantai, analisis Benyamin sama dengan perkiraan peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (P3GL) Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Susilo Hadi. “Gelembung itu kemungkinan hasil dari tungku akibat patahan lempeng yang sangat dalam di bawah laut. Gelembung itu keluar melewati rekahan atau lapisan sedimen yang lemah,” katanya.
Namun, fenomena alam itu baru analisis teori yang membutuhkan kajian dan uji laboratorium. Dan, fenomena-fenomena ini baru sedikit dari berbagai fenomena lain yang menjadikan para geolog penasaran dengan pulau paling ujung timur Indonesia ini.
Secara umum, Papua unik dalam proses pembentukannya. Ada teori yang menyebutkan kalau Pulau Papua pada jutaan tahun lampau menjadi satu dengan Pulau Australia. Pulau Papua, yang terpisah karena pergerakan lempeng dasar bumi ini, hingga kini diyakini masih terus bergerak berlawanan jarum jam menuju kestabilan.
Pergerakan ke arah utara ini menjadikan daerah sekitarnya kerap dilanda gempa. Sisi positif dari pergerakan ini, ditemukan batuan munazit yang mengandung mineral-mineral jarang, seperti kobalt, bahkan unsur aktif.
Selain itu, pergerakan ini pula yang mendasari teori bahwa, dalam 14 juta tahun terakhir, “mulut” Teluk Cenderawasih hampir tertutup dua kali. Sekitar 10-14 juta tahun lalu, komponen Pulau Halmahera (Maluku) berada di depan Teluk Cenderawasih lalu bergerak menjauh atas desakan lempeng bumi.
Bentuk V
Teluk Cenderawasih pun dibatasi oleh struktur-struktur geologi utama yang mempengaruhi sejarah tektonik Kepala Burung. Bentuk V pada Teluk Cenderawasih juga masih mengundang tanda tanya para pakar geologi di berbagai belahan dunia. Benyamin mengisahkan, saat menghadiri seminar internasional, para geolog membahas pembentukan V pada punggung kepala burung Papua. Apalagi, di ujung Semenanjung Wandamen terdeteksi batuan eclogite yang seharusnya di kedalaman 25 kilometer di bawah lapisan bumi.
“Namun, batuan itu muncul pada teluk yang pembentukannya masih sangat muda, 2 juta tahun,” katanya. Untuk mengangkat batuan sedalam itu ke atas permukaan, kata Benyamin, membutuhkan peristiwa geologi ratusan juta tahun pada proses normal.
Di dalam teluk ini juga terdapat perairan sangat dalam yang mencapai 1.000-2.000 meter dengan jarak hanya 20 kilometer dari pinggir pantai. “Jadi, semacam danau di tengah laut. Ini bagaimana pembentukannya,” ujarnya. Dalam naskah ilmiahnya, ia meyakini cekungan ini memiliki kandungan hidrokarbon seperti wilayah di seberangnya atau di Teluk Bintuni yang kini menjadi lokasi penambangan BP Indonesia. Beberapa perusahaan minyak dan gas alam juga telah melakukan riset survei seismik di daerah ini.
Profesor Suharsono, Profesor Riset Biologi Laut Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI), mengatakan, Teluk Cenderawasih yang mengalami masa perendaman dan penggenangan akibat proses geologi itu seolah-olah mengisolasi biota setempat. Biota yang terisolasi ini berproses dan berevolusi menjadi spesies-spesies unik.
Dalam survei potensi kelautan oleh kolaborasi WWF Indonesia, TNC Indonesia, CI Indonesia bersama Balai (kini Balai Besar) Taman Nasional Teluk Cenderawasih di bentang Kepala Burung Papua pada 2006 ditemukan 716 jenis ikan karang termasuk 11-12 spesies jenis baru dan 8 endemis setempat. Sementara untuk hewan karang teridentifikasi 506 jenis hewan karang atau sedikit di bawah Raja Ampat yang mencapai 540 jenis.
Dalam survei itu, ditemukan pula situs yang memiliki keanekaragaman karang paling tinggi (178 jenis) dibandingkan Raja Ampat (131 jenis). Dalam kajian lebih lanjut, TN Teluk Cenderawasih menjadi rumah bagi 950 spesies ikan terumbu. Ini ditambah berbagai jenis fauna besar yang hidup di laut, seperti paus, lumba-lumba, dugong, dan hiu paus (Rhinocodon typus).
Terumbu karang juga hidup di patahan-patahan geologi karenanya tak heran apabila umumnya ekosistem setempat bertipe tembok atau wall. Ediar Usman, Kepala P3GL, bahkan menyebutkan kedalaman Teluk Cenderawasih mencapai 1.000-1.500 meter yang berjarak dekat dari bibir pantai. “Laut yang dalam ini mungkin membuat hiu paus senang bermain di sana,” kata Ediar yang merujuk fenomena kemunculan harian hiu paus di Kwatisore, Nabire.
Dari sisi keunikan wilayah dan ekosistemnya ini, tak salah lagi apabila Teluk Cenderawasih dijadikan sebagai kawasan taman nasional sejak tahun 2002. Taman Nasional terluas di Indonesia, seluas 1,453 juta hektar atau lebih luas dari Provinsi Sulawesi Utara yang mencapai 1,3 juta hektar (BPS 2017) ini tentu saja masih menyisakan misteri pengetahuan yang menarik banyak pakar untuk diungkap. (ICHWAN SUSANTO/ INGKI RINALDI)