Hiu paus (Rhincodon typus) relatif telah menjadi ikon pariwisata kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih yang wilayahnya berada di Papua dan Papua Barat. Keberadaan hiu paus diketahui pula di sejumlah tempat di Indonesia, seperti Gorontalo, Ambon, Bali, Kaimana, dan Jawa Timur. Bahkan, keberadaan mereka juga terdeteksi di sejumlah negara, seperti Meksiko, Taiwan, dan Filipina.
Akan tetapi, relatif masih sedikit yang bisa diketahui manusia ihwal ikan bertulang rawan yang mirip pari dan hiu hantu itu. Sejauh ini, informasi terkait keberadaan hiu paus di Teluk Cenderawasih relatif hanya data awal mengenai pola migrasi.
Informasi dari survei pola pergerakan hiu paus itu dilakukan organisasi nonpemerintah Conservation International (CI) sejak Juli 2015. Metodenya dengan memasang alat penanda (tagging) lokasi pada bagian sirip dorsal hiu paus yang langsung terkoneksi dengan satelit.
Survei awal itu menunjukkan terdapat setidaknya tiga kelompok hiu paus di Teluk Cenderawasih berdasarkan pola migrasinya. Pertama adalah kelompok yang berputar-putar selama setahun di kawasan Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dalam radius 50 kilometer.
Kedua adalah kelompok yang menjangkau ribuan kilometer jarak hingga ke Palung Mariana untuk kembali lagi ke Kwatisore. Ketiga, kelompok yang menjelajah, tetapi belum diketahui apakah kembali ke perairan TNTC ataukah tidak.
Abraham Sianipar, Elasmobranch Conservation Management Specialist Conservation International Indonesia, Rabu (23/8), di Jakarta, mengatakan, sekalipun demikian belum diketahui apakah hiu paus memiliki kemampuan navigasi untuk kembali ke lokasi awal seperti penyu.
Hal itu karena keterbatasan umur pakai alat penanda lokasi yang relatif hanya sekitar dua tahun dan kemampuan bertahan hingga kedalaman sekitar 2.000 meter. Itu membuat kumpulan data untuk keperluan analisis relatif kurang, menyusul sebagian alat penanda lokasi yang telah lebih dahulu rusak.
Menurut Abraham, pola jelajah atau migrasi hiu paus cenderung acak. Tidak seperti lumba-lumba dan paus yang memiliki koridor sendiri.
Hal lain yang juga menarik adalah keberadaan hiu paus di kawasan TNTC cenderung didominasi individu jantan. Abraham mengatakan, jika merujuk data pada 2011, dari 125 individu hiu paus, hanya terdapat 3 hiu paus betina.
Sementara di Kaimana, Papua Barat, dari 24 hiu paus, haya terdapat seekor betina. Komposisi itu cenderung berbeda-beda jika dibandingkan dengan populasi hiu paus di lokasi lain.
“Di Galapagos, misalnya, masih banyak yang betina. Akan tetapi, di Saint Helena (sisi selatan Samudra Atlantik), hewan (hiu paus) besar, tetapi jantan (dan) betina. Meksiko didominasi betina besar yang hamil,” kata Abraham.
Akan tetapi, hingga sejauh ini belum diketahui di mana hiu paus melahirkan. Demikian pula belum diketahui di mana keberadaan hiu paus muda, baik jantan maupun betina.
“Mungkin di pesisir ini untuk pembesaran, tetapi kita tidak tahu kawin di mana dan seterusnya,” ujar Abraham.
Kepala Program Pascasarjana Sumber Daya Akuatik Universitas Papua Paulus Boli, di Manokwari, Papua Barat, Rabu (9/8), mengatakan, hiu paus di kawasan TNTC cenderung berusia remaja. Hiu-hiu paus itu datang karena diberi makan ikan jenis furi atau ikan teri oleh penjaga bagan penangkap ikan.
“Akhirnya (hiu paus) datang terus. Ini problem, karena semakin banyak ikan bagan ditangkap, akan berdampak pada jumlah populasi ikan kecil yang ditangkap dan selanjutnya (ikan kecil) akan semakin sulit ditangkap untuk diberikan kepada hiu paus,” tutur Paulus.
Abraham menambahkan, keberadaan bagan penangkap ikan dalam kawasan TNTC memang cenderung dilematis. Jika ditertibkan menyusul keberadaannya dalam kawasan TNTC, tindakan itu cenderung akan mengancam kegiatan pariwisata.
Akan tetapi, jika aktivitas penangkapan ikan itu relatif dibiarkan berkembang, bukan tidak mungkin bakal mengancam keberadaan hiu paus dan jenis-jenis ikan lain, seperti tongkol, tuna, cakalang, dan tenggiri. Ini menyusul kemungkinan bakal hilangnya ikan-ikan kecil jenis furi atau ikan teri dari rantai makanan.
“Kita tidak tahu seberapa banyak bagan menangkap ikan furi, stoknya bagaimana,” ujar Abraham. Untuk itulah, studi mengenai daya dukung ekosistem terkait keberadaan bagan di TNTC juga mendesak dilakukan.
Abraham menambahkan, semua itu selain fakta bahwa kawasan TNC bagaikan “mangkuk sup” bagi hiu paus. Ini menyusul sokongan sumber makanan yang cenderung tersedia sepanjang tahun dari beberapa kondisi alami, seperti aliran nutrisi dari sejumlah mulut sungai, keberadaan plankton, dan kemungkinan adanya pola arus ke atas (upwelling) di kawasan Teluk Cenderawasih pada waktu tertentu.
“Peran” bagan dalam menyokong aktivitas pariwisata sejauh ini tidak dicatat detail sejak kapan awal mulanya. Sejauh ini hanya ingatan sejumlah penjaga bagan yang bisa dijadikan patokan terkait hal tersebut.
Misalnya seperti dikemukakan Irduan (25), yang menjaga bagan “Cahaya Nurul” di perairan Kwatisore bersama Mangka (31), Rasul (20), dan Akbar (17) pada Rabu (16/8). Sepanjang ingatan Irduan, ada wisatawan asal Amerika Serikat yang mulai datang ke bagan pada 2010 dan membeli sejumlah ikan furi untuk diumpankan pada hiu paus tersebut.
Sejak itulah bagan-bagan lain mulai aktif menerima kunjungan wisatawan. Demikian pula dengan penjaga bagan lainnya yang juga menjajakan ikan furi guna kepentingan atraksi mendatangkan hiu paus.
Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawasih Ben Gurion Saroy, di Manokwari, Rabu (9/8), menandaskan, terkait hal tersebut pihaknya akan membangun pusat pengembangan hiu paus di Kwatisore. Tujuannya agar setidaknya dapat dihasilkan pedoman interaksi dengan hiu paus.
“Juga melakukan kajian konektivitas genetis antara hius paus di sini (TNTC) dan tempat lain, seperti di Kaimana, Filipina, dan Australia,” ujar Ben. (ICHWAN SUSANTO/MOHAMMAD HILMI FAIQ/INGKI RINALDI)