Tim Kompas saling melongok ketika perahu membawa tim menyelam di Kelapa Dua, pinggir pantai Pulau Lembeh di Sulawesi Utara. Di tempat perahu menambatkan tali, terparkir kapal besi yang sudah berkarat. Di situ biasa tempat perahu parkir untuk perbaikan. Dua tanaman kelapa di pinggir pantai menjadi penanda lokasi.
Rabu (13/9) siang, seusai makan siang dan jeda penyelaman di Dermaga Lembeh, Bitung, Sulut, perahu milik Pak Marno, pegawai di Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, membawa tim menuju Kelapa Dua. Hanya butuh waktu 15 menit perjalanan menyusuri tepi Pulau Lembeh.
Arus bergerak menjauhi pulau. Artinya, kami harus bisa menjaga diri agar tak terbawa ke tengah selat yang cukup dalam. Selat ini sedalam puluhan hingga ratusan meter karena biasa dilintasi feri dari Bitung menuju Sangihe.
Saat menyelam di lokasi ini, pasir berwarna kecoklatan dengan perairan sedikit keruh menyambut para penyelam. Sampai akhirnya, tim dibawa ke sebuah gundukan karang masif setinggi 60 sentimeter yang menonjol di kedalaman 16 meter.
Di atas gundukan itu terdapat ikan kodok (frog fish) berwarna putih dan jingga. Di dalam rongga karang masif ini bersembunyi belut moray bermoncong putih dan Echidna nebulosi yang jarang dijumpai. Di mulut belut bermoncong putih itu hinggap udang-udang transparan yang bertugas membersihkan sisa makanan.
Di samping rongga, tampak kurang dari 10 ikan pisau yang dikenal dari cara berenangnya yang vertikal. Masih di seputar batu itu, juga terdapat rombongan ikan pipa belang-belang hitam.
Sedikit lebih dalam, sepasang ikan pipa hantu ornate atau harlequin (Solenostomus paradoxus) berukuran 10 sentimeter berenang vertikal di atas karang lain. Biota predator krustasea kecil ini banyak diincar fotografer bawah laut.
Pada saat penyelam bersiap naik untuk menghindari dekompresi, tim menemui berbagai jenis nudibranch atau siput laut. Biota lunak Flabellina rubrolineata berwarna putih dengan ujung-ujung ”duri landak” berwarna ungu menarik perhatian.
Belum lagi di kedalaman sekitar 4 meter seekor ikan pipa berjenis Corythoichthys haematopterus bermain-main di seonggok jaring yang ditumbuhi ganggang. Di sekitar tempat ini tampak juga kantong plastik hitam, botol air mineral, dan kemasan rokok.
Dalam satu tempat, penyelam bisa mendapatkan obyek foto yang sangat bervariasi. Titik selam Kelapa Dua ini menjadi favorit selama menyelam di Lembeh. Selain karena keragaman biota, kontras antara kondisi di atas permukaan dan kolom airnya ini juga meninggalkan kesan tersendiri.
Selain Kelapa Dua, terdapat sedikitnya 90 titik selam yang berjajar dari ujung utara Pulau Lembeh hingga sisi selatan. Antara satu lokasi dan lokasi lain hanya berjarak 10 menit dengan perahu mesin. ”Setiap titik selam itu unik-unik biota dan karakternya,” kata Efra Wantah, pendamping tim Kompas selama kegiatan di Bitung.
Setiap titik selam itu unik-unik biota dan karakternya.
Ucapannya terbukti. Saat berpindah ke Nudi Falls untuk menyelesaikan penyelaman ketiga pada hari itu, tim dibawa langsung menuju kedalaman 17 meter.
Meyer Musa, rekannya yang juga pemandu selam, menuju kipas laut gorgonian berwarna merah muda. Ia mendekatkan wajahnya untuk menemukan kuda laut pigmi (Hippocampus bargibanti) yang mengikatkan ekornya di batang gorgonian.
Benar saja, seekor kuda laut pigmi berukuran sekitar 1 sentimeter (dengan ekor tergulung) yang juga berwarna merah muda tampak bergoyang-goyang mengikuti arus yang terkadang menerpa.
Karena hanya ada satu individu itu dan area pemotretan terbatas, tim yang masing-masing membawa kamera bergiliran mengambil gambar si pigmi. Sambil menanti giliran, penyelam bisa memanfaatkan kameranya dengan berpuas-puas mengambil gambar nudibranch.
Juga tampak anakan barramundi atau kerapu tikus (Cromileptes altivelis) yang berwarna putih kontras dengan totol-totol hitamnya. Warnanya yang putih terang serta cara berenangnya yang meliuk-liuk sangat kontras dengan warna air laut yang cenderung sangat biru di kedalaman.
Dalam buku Pesona Fitur Geologi Bawah Laut Indonesia yang ditulis Subaktian Lubis (2016), dijelaskan penyebab wilayah ini bisa kaya akan biota-biota unik. Buku ini menuliskan, arus yang mengalir dari Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik bolak-balik membawa nutrisi dari substrat kaya mineral. Nutrisi ini membawa bahan makanan melimpah bagi makhluk-makhluk di dasar laut.
Suharsono, profesor riset P2O LIPI, menyebutkan, perairan Lembeh mudah tercuci. Ini disebabkan Selat Lembeh yang menyempit atau menyerupai corong sehingga kekuatan arus mengangkut kotoran atau limbah aktivitas manusia.
Fenomena ini yang membuat pengotor di Selat Lembeh hingga kini tak banyak berpengaruh pada ekosistem. Namun, seberapa besar daya dukung perairan ini bisa menahan tambahan tekanan aktivitas manusia—termasuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Bitung—yang sudah dimulai pembangunannya? Tentu saja perlu kajian ilmiah komprehensif.
Namun, secara logika, ujar Suharsono, KEK yang diiringi reklamasi selebar 200 meter ke arah laut bisa membawa konsekuensi hilangnya ujung selatan Pulau Lembeh. Hal ini terjadi karena arus dari Samudra Pasifik terpantulkan oleh lahan reklamasi dan menghantam ujung selatan Lembeh.
”Bentang alam yang berubah berdampak ke pola arus. Perubahan arus itu akan mengganggu biota di bawah laut, berikut limbahnya kalau tak dikelola dengan baik,” tutur Ucu Yanu Arbi, Kepala Stasiun P2O LIPI Bitung.
Di sisi lain, pemerintah daerah berpandangan, dampak lingkungan merupakan konsekuensi pembangunan. Kebijakan pembangunan KEK Bitung diklaim telah melalui serangkaian analisis mengenai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.
”Studi kelayakan juga sudah dibuat,” kata Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Bitung Melda Sidangoli. Dalam paparan Prospek dan Pengembangan KEK Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kota Bitung, reklamasi akan dilakukan seluas 200 hektar untuk pengembangan pelabuhan dan industri logistik. ”Tentu saja akan dikaji kondisi arus dan pasang surut gelombang di sekitar Lembeh,” ucap Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup Kota Bitung Sadat Minabari.
Sama halnya dengan Pemerintah Kota Bitung, Pemerintah Provinsi Sulut pun tak menganggap KEK akan mengancam kehidupan perairan dan Pulau Lembeh. Pemerintah berpandangan, ancaman itu bisa diantisipasi melalui dokumen lingkungan. ”Pengawasan pelaksanaan dokumen amdal (izin lingkungan) harus berjalan,” kata Kepala Biro Ekonomi dan Sumber Daya Alam Sulut Franky Manumpil.
Bahkan, ada pandangan, sejak lama Bitung memiliki aktivitas pelabuhan dan industri perikanan, tetapi tak membuat biota-biota di perairan Lembeh terganggu. Bahkan, merujuk data Dinas Pariwisata Kota Bitung, kunjungan wisatawan meningkat tajam sejak tahun 2013 ke 2016.
Pada 2013, jumlah turis lokal 5.650 orang dan wisatawan asing 2.530 orang. Tahun 2016, jumlah turis lokal naik menjadi 37.271 orang dan wisatawan asing 28.250 orang.
Kunjungan ini meningkat seiring dengan semakin terkenalnya perairan Lembeh sebagai surga fotografi makro dunia. Sebuah cabang fotografi bawah laut yang lebih spesifik memburu imaji penghuni-penghuni berukuran renik di perairan ini. ”Kalau pemandangan Bunaken kita bisa lihat di tempat lain. Kalau pemandangan di Lembeh, ya, hanya ada di sini,” ujar Wali Kota Bitung Maximilian Jonas Lomban.
Jika benar potensi Lembeh cuma satu-satunya di Indonesia, bahkan bisa jadi satu-satunya di dunia, apakah seimbang pertaruhan keunikan alami ini dengan risiko dampak pembangunan KEK? (ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI/HARRY SUSILO/JEAN RIZAL LAYUCK)