Sensasi arus serta penghuni bawah laut menjadi daya tarik perairan Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pesonanya diburu wisatawan. Namun, di balik keindahan itu, masyarakat sekitar merasa terpinggirkan.
Dalam rangkaian mengeksplorasi Desa Komodo dan Desa Rinca, Jumat (1/9) siang, kapal tim Kompas tiba di Desa Papagarang. Perbukitan padang gersang kecoklatan mengitari permukiman yang disebut-sebut sebagai daerah paling tandus dalam kawasan Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat itu.
Panas dan silau sinar matahari yang memancar tanpa terhalang awan membuat mata berat menatap. Kaki pun berat untuk menuruni kapal menuju dermaga. Satu yang menyejukkan, cahaya mentari itu memantulkan warna biru pantai desa. Perahu-perahu kecil ditambatkan di sisi dermaga dan pinggir rumah-rumah panggung warga.
Memasuki desa ini, sekelompok pemuda berbincang di bawah rumah panggung kayu. Setumpuk kartu domino yang sudah lusuh tergeletak di atas piring logam.
Di seberangnya, tumpukan alas dari anyaman bambu tempat mereka biasa menjemur ikan asin tampak kosong. Tahun ini belum sekali pun mereka panen ikan lajang (Decapterussp). ”Biasanya bulan lima (Mei) sudah mulai ikan lajang,” kata W, salah satu pemuda tersebut.
Tahun ini belum sekali pun mereka panen ikan lajang.
W dan teman-temannya meminta nama mereka tak disebutkan karena trauma berurusan dengan petugas Balai Taman Nasional (TN) Komodo. Sekretaris Desa Papagarang Hamsah mendampingi pertemuan Kompas dengan mereka.
Selama belum datang musim ikan lajang yang menjadi andalan desa setempat, kapal-kapal bagan itu ditambatkan di tepi pantai. Sehari-hari, para pemuda itu hanya mengandalkan bekerja sebagai buruh di alat tangkap pukat gandong. Alat tangkap ini dioperasikan oleh 20-30 orang.
Pukat dipasang hingga kedalaman 2,5 meter, lalu ditarik oleh tangan-tangan buruh nelayan yang berjaga-jaga di setiap pelampung. Jaring yang mereka gunakan berukuran cukup besar, sekitar 2,5 inci (sekitar 6 cm). Dengan jaring ukuran ini, hanya ikan-ikan berukuran lebih dari 2,5 inci atau diharapkan ikan dewasa yang terjaring.
Meski demikian, petugas taman nasional pernah menyita pukat mereka karena dianggap merusak lingkungan. ”Pukat gandong bukan pukat dasar. Kami jaga supaya jaring tidak kena karang karena bisa robek dan kami yang rugi,” kata W.
Dibatasi zonasi
Wilayah tangkap nelayan kini semakin terbatas karena berbagi dengan zona bahari yang dimanfaatkan untuk wisata. Tangkapan dari pukat yang kerap minim dan hasilnya dibagi 30 buruh serta pemilik kapal menjadikan mereka terkadang kucing-kucingan dengan aparat.
”Karena kebutuhan hidup, kami akui kadang mengambil di zona yang dilarang untuk memancing demi 2-3 kilogram ikan untuk kami hidup,” katanya.
Sejak pengelolaan zonasi TN Komodo diberlakukan pada 2012, ruang gerak nelayan berkurang. Dari total area perairan di TN Komodo seluas 132.572 hektar (ha), area tangkap ikan dibatasi 79.876 ha. Itu pun di sebagian besar luasan, yaitu 62.568,68 ha, nelayan hanya boleh menangkap ikan pelagis, seperti cakalang dan lajang.
Area lain, termasuk zona inti dan perlindungan bahari, hanya bisa diakses untuk tujuan penelitian dan pemantauan.
Di laut susah bergerak, di darat pun mereka sulit mendapatkan air bersih. Tandus dan kesulitan air sudah menjadi menu wajib di kala kemarau. Sumur berair payau menjadi andalan bagi 1.729 warga setempat. Untuk pemenuhan kebutuhan air tawar bersih, mereka mengandalkan air hujan. Lebih sering mereka membeli air tawar dari pedagang.
Di laut susah bergerak, di darat pun mereka sulit mendapatkan air bersih.
Hamsyah menyebutkan, setiap pekan membutuhkan dua drum air tawar bersih seharga Rp 35.000 per drum. Saat musim panen ikan lajang dan cumi-cumi, pengeluaran sebesar ini tak terlalu dirasa.
Ia sebagai pemilik kapal serta pengepul ikan dan cumi-cumi bisa mendapatkan hasil Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan atau bisa mencapai Rp 10 juta per bulan saat panen. Masa panen ini biasanya berlangsung 3-4 bulan.
Untuk listrik, warga menggantungkan listrik dari genset milik warga setempat. Warga pernah didatangi kontraktor untuk pendirian pembangkit listrik tenaga surya. ”Tapi sudah bertahun-tahun tidak ada kabarnya,” kata Suharto, perangkat Desa Papagarang.
Kondisi sarana kesehatan dan pendidikan juga tak kalah memilukan. Di Desa Papagarang, Desa Komodo, dan Desa Rinca, misalnya, belum ada SMA. Anak-anak harus merantau ke Labuan Bajo jika ingin melanjutkan pendidikan. Konsekuensinya kembali berkutat pada biaya yang semakin membebani hidup mereka.
Ditemui saat berkegiatan di Jakarta, Senin (4/9), Kepala Balai TN Komodo Sudiyono mengatakan, zonasi di TN Komodo terus disosialisasikan kepada masyarakat. Ia memahami keinginan warga untuk memperluas area tangkap.
”Zonasi menjaga agar tidak terjadi eksploitasi ikan berlebihan yang akan merugikan nelayan sendiri nantinya,” katanya.
Di sisi lain, TN Komodo berniat mengurangi tekanan eksploitasi perikanan dengan mengarahkan warga untuk terjun ke sektor pariwisata. Sudiyono mencontohkan, sebagian masyarakat Pulau Komodo telah terjun menjadi pendamping wisata ataupun menyediakan penginapan.
Ini sebagai langkah menyongsong gemerlap pariwisata di Komodo yang kian moncer. Pada 2016 terdapat 83.712 wisatawan di Labuan Bajo atau naik tiga kali lipat sebelum pergelaran Sail Komodo 2013. Bahkan, oleh pemerintah pusat, angka ini terus didongkrak menjadi 500.000 wisatawan pada 2019.
Desa Papagarang yang secara administratif menguasai lokasi penyelaman favorit, seperti Batu Bolong dan Tatawa, sudah saatnya tak sekadar melihat puluhan hingga ratusan penyelam menikmati alam setempat. Masyarakat di wilayah Komodo yang memiliki cerita turun-temurun sebagai saudara Komodo juga layak untuk hidup sejahtera. (ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI/ANTONIUS PONCO ANGGORO)