Kemasan air mineral berbahan plastik menumpuk di salah satu sisi bukit Pulau Gili Lawa Darat, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin (28/8) petang. Menyusuri bagian pantai yang temaram, botol dan gelas plastik berserakan di sepanjang tepiannya.
Sejumlah kapal wisata berlabuh tak jauh dari pantai. Semburat sorot lampu-lampu kapal jatuh pada sebagian kemasan plastik bekas yang menumpuk dan tercecer.
Selasa (29/8) sore, sisi lain Gili Lawa Darat kembali disambangi. Tumpukan sampah plastik yang dikumpulkan dan sebagian dibakar kembali terlihat tak jauh dari bibir pantai.
Sejumlah wisatawan yang datang untuk menikmati momentum matahari terbenam tampak acuh. Keadaan yang jelas mengganggu itu untuk sementara tertutupi dengan pemandangan hilangnya matahari secara perlahan-lahan di horizon barat.
Akan tetapi, saat kembali ke kapal wisata, sebagian besar wisatawan itu pada umumnya mengeluhkan sampah-sampah yang dilihatnya. Nakhoda KLM (Kapal Layar Mesin) Adishree, Nasrul Nasir (35), yang melayari perairan Komodo dengan kapal tersebut sejak Mei 2016 mengatakan, keluhan selalu datang dari tamu.
“Semua tamu kalau urusan sampah pasti complain, termasuk tamu dari Indonesia,” kata Nasrul.
Kompensasi sampah
Operator-operator wisata bukannya tidak bertindak. Nasrul, yang selama ini sudah menjadi kapten delapan kapal berbeda, mengatakan, sampah-sampah di lokasi wisata itu terkadang juga dipunguti dan diangkut ke atas kapal untuk dibuang di daratan Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.
Manajer Operasional Komodo Escape yang menaungi program KLM Adishree, Ita Evalin, menyebutkan, pihaknya punya program khusus untuk menanggulangi sampah. Itu dilakukan dengan memberikan kompensasi sebesar Rp 100.000 untuk setiap satuan karung sampah yang dikumpulkan tamu dari lokasi wisata.
Namun, tidak semua tamu punya kesadaran yang sama. Sebagian di antaranya justru tidak menyukai jika dalam pelayaran ada sampah-sampah yang mesti diangkut.
Hal itu diutarakan Ardus Egitadeus (29) yang akrab disapa Egi, pemandu selam (dive master) yang memandu penyelaman tim Kompas ke sejumlah titik di perairan Komodo. “Inilah masalah kami, kadang tamu juga tidak ingin kalau sampah dibawa naik ke atas kapal,” ujarnya.
Jumlah sampah di perairan Komodo, yang sebagian di antaranya masuk ke dalam kawasan wisata, tidak bisa dianggap main-main. Kepala Balai Taman Nasional Komodo Sudiyono menyebutkan, produksi sampah dalam kawasan tersebut mencapai 12 meter kubik per hari.
“Asal sampah bisa dari kapal-kapal yang lewat, penduduk (di sejumlah pulau), atau dari Labuan Bajo. Ini perlu studi,” kata Sudiyono.
Ia mengatakan, saat ini sudah disusun pula rencana induk pengelolaan sampah antara Taman Nasional Komodo (TNK), World Wildlife Fund (WWF), dan Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Saat ini sudah pada tahapan konsultasi publik dan koordinasi telah dilakukan di tingkat bawah.
“Ini, kan, pariwisata, tidak bisa lepas dari isu sampah. Jika ada sampah, wisatawan akan pergi,” ujar Sudiyono.
Akan tetapi, kata Sudiyono, upaya yang kerap dilakukan di hilir dengan pembersihan sampah di seumlah lokasi wisata kerap belum ditindaklanjuti pada tahapan selanjutnya. Ini, misalnya, relatif belum adanya proses atau tahapan lanjutan saat sampah-sampah tersebut dikirim ke Labuan Bajo.
Hal ini pernah dialami Egi, yang dalam sekali waktu pernah mengangkuti sampah dari pulau-pulau tujuan wisata untuk dibuang di Labuan Bajo. Dua pekan kemudian, ia mendapati sampah-sampah tersebut masih berada tepat di tempat Egi membuangnya.
Pengolahan mandiri
Di tengah relatif belum siapnya pengelolaan sampah dari lokasi wisata di pulau-pulau kawasan Taman Nasional Komodo ke daratan Labuan Bajo, terdapat sebagian pihak yang melakukan pengolahan dan pengelolaan secara mandiri. Salah satu di antaranya adalah Frans Jani (48), yang mengelola Koperasi Serba Usaha (KSU) Sampah Komodo bersama sejumlah warga di Labuan Bajo sejak 2014.
Frans menempati lahan pinjaman Pemkab Manggarai Barat di kawasan Waekelambu, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT. Luas lahannya 15 meter x 30 meter dan operasinya dilakukan dengan pendampingan dari WWF Indonesia.
Setiap hari, seperti ketika ditemui pada Sabtu (2/9), Frans menyortir sampah plastik berupa botol minum air mineral, aneka kardus, dan botol-botol minuman dengan kandungan alkohol. Sampah-sampah itu selanjutnya dikirim kepada pengepul di Surabaya dan Sumbawa.
Volumenya cukup besar, yang mencerminkan pula nilai keekonomiannya. April hingga Juni 2017, misalnya, tak kurang dari 4 ton kardus dan kertas bekas berhasil dikumpulkan sebelum dikirim. Selain dikumpulkan, Frans dan kawan-kawan juga menerima pengumpulan sampah dari warga, seperti anak-anak sekolah dan kios-kios kecil.
Pengumpulan sampah dibayar dengan model edukatif berupa tabungan. Jadi, misalnya, jika terdapat kumpulan sampah seharga Rp 50.000, pembayaran dilakukan secara tunai sebesar Rp 25.000 dan sisanya berupa tabungan.
Selain itu terdapat pula sampah-sampah yang dikumpulkan dari sejumlah hotel. Bedanya, sampah-sampah dari sejumlah hotel itu berupa donasi dan pihak hotel tidak menerima pembayaran apa pun atas sampah-sampah tersebut.
Frans menyadari upaya yang dilakukannya bersama sejumlah orang itu menghadapi kenyataan relatif berat. Produksi sampah harian cenderung meningkat seiring pertambahan penduduk dan lonjakan kunjungan wisata.
Karena itulah, selain upaya di hilir seperti dikerjakan Frans dan kawan-kawan, lelaku dari hulu sangatlah ditunggu. Bentuknya bisa berupa peraturan, kebijakan, dan tentu saja penegakan hukum. (ICHWAN SUSANTO/ANTONIUS PONCO ANGGORO/INGKI RINALDI)