Suasana desa di pesisir barat Pulau Selayar, Sulawesi Selatan, itu seperti layaknya desa-desa lain di tepi pantai. Rumah panggung dan beton berselingan di bawah naungan nyiur yang daunnya sesekali meliuk bersama angin. Tenang dan tenteram. Laut menjadi penopang utama kehidupan dan ketenangan itu. Maka, barang siapa merusak laut berarti harus berani bertaruh nyawa melawan warga Parak. Itu ikrar mereka. Ikrar warga Desa Parak.

Agus (50) menghentikan sepeda motornya di halaman rumahnya yang hanya berjarak sekitar sepuluh depa dari bibir pantai. Senyumnya mengembang menyambut kami. Sore itu, dia baru saja menjemput anak bungsunya yang duduk di bangku SMK. Hari ini dia libur melaut dan lebih banyak berkumpul dengan keluarga karena hasil melaut kemarin sudah lumayan.

Duduk di bawah pohon kelapa menghadap laut, dia bercerita betapa hasil laut di Parak mampu menopang kebutuhan hidup keluarganya. Dalam sekali melaut, ia mengaku dapat membawa pulang penghasilan bersih Rp 500.000. Beberapa kali dia bahkan mengantongi uang hingga Rp 1 juta, setelah melaut dari pukul 16.30 sampai pukul 07.00 keesokan harinya. ”Hanya melaut 1 mil saja dari pantai, tetapi bisa dapat banyak ikan,” katanya.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Nelayan di Desa Parak, Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, Kamis (26/10). Warga Parak meyakini bahwa dengan menjaga laut, maka laut akan memberikan berkah.

Berkah dari laut yang terjaga, kata Agus, dapat menghidupi istri dan kedua anaknya. Anaknya yang paling tua bahkan sudah lulus dari perguruan tinggi di Makassar, ibu kota Sulsel, dan saat ini bekerja sebagai pegawai di puskesmas di Benteng, ibu kota Selayar.

”Anak kedua masih sekolah kelas II SMK. Menurut rencana mau dikuliahkan juga nanti,” kata Agus. Perahu motor bermesin 5,5 PK dan tanah seluas 240 meter persegi miliknya juga menjadi bukti lain dari keberlimpahan laut Parak.

Selain melimpah, ikan dari perairan Parak punya reputasi baik sehingga bernilai tinggi. Pembeli ikan sangat paham bahwa ikan dari Parak bebas dari dampak bom dan bius. ”Biar mahal, ikan dari Parak dicari orang karena gemuk-gemuk,” kata Raniala (46), warga Parak, yang juga berdagang ikan di sejumlah pasar di Selayar.

Para penjaga laut

Diburunya ikan dari Parak merupakan wujud dari perjuangan warga dalam menjaga laut. Warga Parak, desa di Kecamatan Bontomanai, Kabupaten Kepulauan Selayar, sejak lama telah menolak segala bentuk penangkapan ikan secara destruktif di perairan mereka.

Pengeboman dan pembiusan ikan sempat merebak di Selayar sejak akhir tahun 1980-an. Namun, perilaku itu kini sudah jauh berkurang meski masih ada saja pelaku yang terus mencoba. ”Kalau ada yang merusak laut, akan berhadapan dengan warga. Semua warga kompak menjaga lautnya,” kata Andi Nawir (63), salah satu tokoh warga Parak saat ditemui, Selasa (24/10).

Warga Parak juga sangat selektif dalam memberi izin pada penggunaan alat tangkap ikan. Bagan, pancing rawai dasar, dan pukat dilarang digunakan di perairan Parak karena dianggap dapat mengganggu kesinambungan kehidupan ikan. Pengambilan ikan secara berlebihan dinilai sama dengan mengganggu keseimbangan. Ini yang mereka hindari.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Aktivitas di bila atau sero di Desa Bongaiya, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Rabu (25/10). Sero merupakan alat tangkap/penjebak ikan yang banyak digunakan masyarakat Selayar.

Warga pun senantiasa memasang mata dan telinganya ke arah laut. Apabila terlihat ada pelanggaran, mereka langsung bergerak. ”Biasanya kami saling berkomunikasi. Jika dicurigai ada pelanggaran, akan dihampiri,” kata Nawir.

Wilayah laut (zona tangkap) Parak ditetapkan 3 kilometer sepanjang garis pantai dan sejauh 4 mil laut (7,4 kilometer) ke lepas pantai. Wilayah laut itu hanya diperbolehkan bagi nelayan tradisional dengan alat tangkap, seperti joran, jala, dan jaring. Nelayan dari luar Parak boleh beroperasi meski tetap dengan alat tangkap tradisional.

Wilayah laut ditetapkan demi menjaga keberlanjutan sumber daya ikan di perairan tersebut. ”Warga sama sekali tidak tertarik untuk mendapatkan hasil yang banyak dan cepat, tetapi tidak berkelanjutan,” kata Kepala Desa Parak Zainal Yasni.

Penangkapan destruktif dulu sempat menggiurkan karena menjanjikan hasil yang cepat dan banyak. Begitu pula dengan penggunaan alat tangkap yang masif. Namun, aktivitas itu merusak terumbu karang dan menguras ikan hingga ukuran terkecil. Populasi ikan pun anjlok sehingga nelayan kehilangan sumber nafkah atau harus melaut lebih jauh untuk mencari ikan. Belum lagi, terdapat risiko hukum dan ancaman keselamatan jiwa jika menggunakan alat-alat tangkap yang destruktif.

Perlindungan laut

Dikatakan Zainal, selain zona tangkap yang dilindungi, sejak tahun 2005, di Desa Parak telah ditetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL) sebagai tempat berkembangbiaknya ikan. DPL Desa Parak mencapai luas 10,6 hektar termasuk zona inti seluas 2,2 hektar yang tak boleh diganggu sama sekali.

Walau begitu, ada saja pencuri. Para pencuri biasanya beroperasi ketika warga sedang shalat Jumat atau shalat Idul Fitri. Sering juga terjadi pencurian ikan saat air surut. ”Kalau sudah begitu, sulit juga mengejarnya karena perahu kami kandas,” kata Nawir, yang menjadi salah satu pentolan penjaga laut. Dia mendapat gelar Datuk alias Dai Terumbu Karang.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Andi Nawir

Untuk mendukung upaya perlindungan perairan, Zainal menjelaskan, sejak tahun 2005, pemerintah desa membantu biaya operasional pengawasan. Pada 2014, pengawasan diperkuat pembelian satu unit perahu bermesin 5,5 PK untuk patroli. ”Tahun ini, ada bantuan mesin perahu 25 PK dari pemerintah sehingga kemampuan pengawasan bertambah,” ujarnya.

Nawir menambahkan, sejak ada bantuan mesin perahu dari pemerintah, pencuri ikan sulit lolos dari patroli warga. ”Sekarang, pelaku pasti berpikir panjang sebelum mencoba merusak laut,” ujarnya sambil tersenyum.

Diungkapkan Nawir, secara turun-temurun, warga Parak telah diajarkan untuk menjaga laut dan tidak merusaknya. Laut di halaman desa itu sangat kaya dengan berbagai jenis ikan, seperti baronang, sunu, kerapu, kakap, cumi, dan lobster. ”Bom dan potasium sianida (bius) disadari warga akan merusak terumbu karang,” kata Nawir.

Suatu hari, kata Zainal, ada nelayan dari desa tetangga tertangkap karena terbukti mencari ikan dengan bius. Perahu mereka ditarik ke darat dan nelayan-nelayan itu hampir saja dihakimi massa. ”Mereka biasanya orang Selayar juga, tetapi di luar Parak. Warga di sini, kalau sudah memukul, susah diatur,” kata Zainal.

Warga terlalu menyadari bahwa laut tak ubahnya makhluk hidup yang perlu diperlakukan dengan baik. Merusak laut jelas sama dengan merusak masa depan sendiri. Karena itu, mereka akan terus menatap ke laut dan siap mengejar siapa saja yang merusak laut. Agus dan warga lainnya kiranya tetap tersenyum karena laut senantiasa terjaga. (MOHAMMAD HILMI FAIQ/MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI)