Binongko, pulau paling ujung selatan Kepulauan Wakatobi, memiliki beberapa kisah tentang dirinya sendiri dan kaitannya dengan pulau-pulau di sekitarnya. Dari berbagai kisah itu, Binongko, misalnya, dipandang oleh orang Ambon sebagai asal kaum migran Buton dari Sulawesi Tenggara walaupun tidak banyak orang Ambon yang tahu pasti letak Binongko. Akibatnya, ada orang asal Sulawesi Tenggara yang menyebut dirinya dari Binongko.
Dalam jurnal Wacana (Volume 17 Nomor 1 Tahun 2016), yang dikelola Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Abdurrahman Hamid menjelaskan, sebelum kedatangan orang Eropa, pulau itu dipanggil orang-orang di Buton sebagai Liwuto Pasi atau Pulau Batu. Pada era Kesultanan Buton, keempat pulau di Wakatobi disebut Liwuto Patanguna atau empat pulau.
Setelah itu, pemerintah kolonial Belanda mengubah namanya menjadi Toekang Besi Eilanden atau Pulau Tukang Besi. Kapan itu terjadi? Pencatat kisah dan peradaban orang Binongko, La Rabu Mbaru, yang juga menulis buku Peradaban Binongko Wakatobi Buton, menjelaskan, sekitar abad ke-17, Steven van der Hagen yang merupakan laksamana VOC tiba di Popalia. ”Dia (Steven) melihat ada orang bikin parang, tukang besi, dan sebagainya,” kata La Rabu.
Binongko kemudian dipergunakan sebagai nama sejumlah jenis parang yang diketahui berkualitas tinggi dan dijual para pedagang antarpulau dari Buton.
Tubuh manusia
Abdurrahman Hamid dalam jurnal Wacana juga menuliskan hal menarik yang mengaitkan pulau-pulau di Wakatobi dengan tubuh manusia. Binongko diidentifikasi sebagai bagian kepala, Tomia itu dada, Kaledupa sebagai perut, dan Wangi-wangi adalah lutut atau kaki. Dalam kaitan fisik, kepala mengandung tulang keras dan sedikit daging. Dengan demikian, jangan heran apabila Binongko adalah pulau paling tandus.
Tomia dan Kaledupa diumpamakan sebagai daerah dada dan perut sehingga dinilai lebih ”lunak”. Jangan heran jika tanah di Tomia dan Kaledupa lebih subur dibandingkan Binongko dan Wangi-wangi. Tomia dan Kaledupa jelas lebih subur dibandingkan Binongko karena memiliki ”daging” lebih banyak dibandingkan Binongko yang adalah kepala.
Adapun La Rabu berpendapat, Binongko adalah tempat ahli pikir karena diasosiasikan dengan kepala. Sementara Tomia adalah penyejuk dan Kaledupa cenderung menggambarkan hawa nafsu. Kepulauan tersebut membentuk nama Bitokawa alih-alih Wakatobi.
Masih dalam artikel Hamid di jurnal Wacana, legitimasi budaya lewat mitos tentang asal muasal orang Binongko juga dikisahkan dalam cerita lain. Tersebutlah seorang lelaki dari China bernama La Patua yang dalam perjalanannya keliling dunia menabrak batu karang dari sebuah pulau karena terpukau sinar terang dari puncak sebuah pulau pada malam hari.
Sinar itu datang dari Putri Bidadari yang tengah menari dengan mahkota dan giwangnya di puncak pulau. Mereka lalu saling bicara dengan kode rahasia (haebu) masing-masing yang dikembangkan menjadi bahasa dengan dua cabang, yakni bahasa Ciacia (kaum La Patua) dan bahasa Kaumbedha (kaum Sang Putri). Pulau itu dinamai Binongko, berasal dari kata ”bi” sebagai asosiasi kepala sang putri dan ”nongko” sebagai gambaran kapal La Patua.
La Patua lalu melanjutkan pelayaran ke utara ke sebuah pulau. Di waktu petang, ia melihat seorang laki-laki (omia mia dalam bahasa Ciacia) dan mendengar suara misterius berbunyi ”temia”. Dalam bahasa Kaumbedha artinya adalah laki-laki.
Di pulau itu, La Patua melihat asap putih berbau dupa harum yang keluar dari lubang pusar sang putri tatkala mengambang di laut. Melihat keajaiban itu, La Patua bersujud kepada Tuhan dan dari kejadian itu timbul kata ”kahe” yang berarti daratan dan ”dhupa”. Belakangan, pulau itu menjadi Kaledupa yang berarti pulau yang wangi.
Di dekat Pulau Kaledupa, La Patua melihat sinar sang putri. Dan, sebuah pulau di dekatnya berubah menjadi penuh rahasia, pulau itu pun dinamai Pulau Hoga atau Pulau Kehidupan.
Setelah mengamati Kaledupa dan Hoga, La Patua melanjutkan perjalanan ke utara menuju perairan Wanianse. Pulaunya masih belum kelihatan dan hanya ada figur tinggi besar atau Wa Langka Tu’u atau laki-laki dengan lutut yang panjang. Ketika La Patua melangkah maju, aroma harum menyeruak seiring kehadiran pulau-pulau lain, seperti Kapota, Toue, Kompono One, Pohara, Somanga, Simpora, Watu Nua-nua, dan Watu Napabale. Dari perjalanan tersebut, muncul nama Pulau Wangi-wangi yang sebelumnya disebut sebagai Pulau Wanianse. Penduduknya disebut sebagai Wanci atau Wanse.
La Rabu Mbaru mengungkap kisah lain. Keberadaan orang Binongko, menurut dia, terhubungkan dengan kisah Nabi Nuh AS lengkap dengan bahtera dan anak-anaknya yang turut serta. ”Orang Binongko adalah keturunan Yafits (salah seorang anak Nabi Nuh),” ujar La Rabu.
Kisah yang berkelindan dengan legenda gaib itu, kata La Rabu, berlanjut dengan anak cucu Yafits yang lantas membuat kapal untuk tiba di Binongko. Tokoh yang kemudian diketahui bernama (Patua Sakti) Sumahil Tahim Alam ini kemudian menjadi raja pertama di Wali, Binongko. ”Ia merasa bhi atau kagum dengan dongko atau buah kelapa berbentuk cahaya yang terkelupas dan kemudian bicara,” ujar La Rabu. Kata ”bhi” dan ”dongko” inilah yang belakangan menjadi Binongko.
La Rabu melanjutkan, tokoh ini lalu berlayar terus untuk menemukan pulau-pulau lain. Pulau-pulau itu kini dikenal sebagai Tomia, Kaledupa, dan Wangi-wangi; sebelum akhirnya kini terangkai menjadi Bitokawa atau Wakatobi. (ICHWAN SUSANTO/MOHAMAD FINAL DAENG/INGKI RINALDI)