Sinar matahari meredup dan mendung menggelayut saat Tim Jelajah Terumbu Karang Kompas hendak menyelam di titik Magic Mountain, Misool, Raja Ampat. Awan semakin gelap, sementara gelombang laut tak bersahabat. ”Kita harus cepat turun,” ujar Ali Oherenan, pemandu selam lokal, Rabu (11/10) siang.
Rencana penyelaman hari perdana itu terlambat karena perahu cepat Jou milik The Nature Conservancy harus mengisi bahan bakar di kampung sebelah. Setelah itu, harus ”permisi” ke pengelola Misool Eco Resort untuk menyelam di titik selam yang diklaim sebagai area kelolanya, seperti Magic Mountain, Farondi Cave, dan Boo Window.
Titik Selam di Raja Ampat
”MER tidak mau ada penyelam lain, selain tamu mereka. Jadi, kita yang disuruh menyesuaikan jadwal,” kata Ali yang juga anggota staf di Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Raja Ampat.
Namun, urusan-urusan di darat yang membuat bete karena harus menunggu lama itu terhapus saat Kompas dibuat terenyak akan pesona bawah airnya. Kondisi yang berkebalikan dengan di permukaan ketika kapal sedikit terombang-ambing karena gelombang laut cukup kencang.
Magic Mountain adalah titik selam favorit yang memukau dari segi keragaman biota. Sesuai namanya, keajaiban panorama mewujud dalam bentuk hamparan terumbu karang yang masih terjaga baik, disertai lalu lalang ikan karang, hiu, dan penyu. Dalam kondisi minim cahaya, ikan ekor kuning dan barakuda terlihat melintas.
Ikan napoleon pun berenang bersisian dengan para penyelam tanpa rasa takut. Tak berapa lama mengayuhkan kaki katak, satu penyelam anggota tim melihat ikan serupa karpet yang warnanya menyerupai karang. Tak diragukan lagi, itu adalah wobbegong! Jika dilihat sepintas, wobbegong tidak tampak jelas karena berkamuflase dengan dasar laut.
Wobbegong adalah salah satu biota endemik Raja Ampat. Rambut-rambut di sekitar mulutnya membuatnya menyerupai ujung karpet.
Bisa melihat wobbegong di alam bebas adalah sebuah keberuntungan, mengingat biota yang hidup di dasar laut bisa berpindah ke mana pun. Namun, pada 2013, Kompas pernah menjumpai wobbegong saat melakukan check dive di Dermaga Saonek, dekat Pulau Waigeo, kepulauan di Raja Ampat bagian utara.
Belum puas mengamati dan memotret wobbegong, Ali membunyikan tabung dengan tongkat besinya. Dia coba memberi tahu keberadaan biota laut lain yang tak kalah menarik. Tak lama, sebuah pari manta yang cukup besar, mungkin berdiameter lebih dari 2 meter, tampak di kejauhan. Setelah rombongan berdiri tenang di dasar Magic Mountain, manta itu melintas dan mengibaskan sayapnya dengan anggun di atas para penyelam.
Selain dengan Ali, tim Kompas juga didampingi Awaludinnoer, Koordinator Sains dan Monitoring TNC Program Raja Ampat. Keduanya cukup berpengalaman dan familiar dengan kondisi perairan Misool.
”Kita kurang beruntung karena sinar matahari tidak keluar,” kata Awaludinnoer, yang biasa disapa Wawan Mangile. Sepekan sebelumnya, ia juga turun di Magic Mountain dalam kegiatan Pemantauan Kesehatan Terumbu Karang Kepala Burung Papua untuk wilayah Raja Ampat.
”Berkali-kali saya turun di Magic Mountain, baru hari itu (saat pemantauan) benar-benar tampak magis. Ada banyak pari manta, hiu, penyu keluar semua,” kata Ali yang juga dilibatkan dalam pemantauan itu sebagai perwakilan BLUD Raja Ampat.
Selam malam
Pada malam harinya, Wawan dan Ali menyelam malam (night diving) demi menyaksikan kalabia dari dekat. Kalabia atau hiu berjalan (Hemiscyllium freycineti) merupakan biota endemik lain di Raja Ampat selain wobbegong. Sejak awal tiba di Misool, rasa penasaran menghinggapi untuk mengetahui wobbegong dan kalabia.
Tak disangka, hewan malam itu juga bisa ditemui di perairan pantai depan penginapan tim Kompas, di Kampung Harapan Jaya, Misool Selatan. Penyelaman yang dimulai pukul 19.00 itu dilakukan dengan cara nge-drift atau mengikuti arus.
Dengan pencahayaan yang hanya mengandalkan lampu senter selam, seekor kalabia terlihat berada di atas substrat lumpur. Ukuran hiu ini sekitar 70 sentimeter dengan sirip yang digunakan untuk merambat di dasar karang dan pasir/lumpur.
Pertemuan dengan kalabia itu seakan menjadi klimaks penyelaman di Misool. Apalagi, begitu keluar dari permukaan laut, langit malam Misool yang penuh bintang menyambut tim Kompas. Semesta telah memberikan jawaban atas rasa penasaran yang membuncah.
Goa
Pada penyelaman hari kedua, tim sepakat menuju ke Forondi atau Farondi Cave sebagai titik penyelaman pertama. Seperti namanya, titik penyelaman ini memiliki lorong yang menyerupai goa.
Diameter goa ini cukup besar untuk dimasuki seluruh enam personel tim. Di dalam goa itu, kegelapan menyergap disertai keindahan lain yang memukau.
Meskipun perairan itu gelap, cahaya dari senter selam menangkap banyaknya ikan karang yang berseliweran. Kipas laut atau gorgonian yang berwarna merah merona juga beberapa nudibranch memantulkan warna cerah yang kontras dengan kondisi sekelilingnya yang berwarna biru gelap.
Setelah usai dari Forondi Cave, titik penyelaman kedua yang lebih terasa wingit menanti, yakni Wagmap Wall. Lokasi ini sebenarnya tak ada dalam perencanaan selam. Wagmap Wall adalah pilihan alternatif setelah kondisi titik selam Three Sisters berarus kuat.
Titik selam itu terdapat di bawah pulau batu kecil yang dikelilingi pusaran arus. Setiba di Wagmap Wall, Wawan dan Ali saling berpandangan sehingga membuat tim Kompas curiga dengan bahasa tubuh mereka.
”Kita turun (menyelam) bersama-sama, ya. Kalau ada yang duluan naik, jangan lupa untuk memberi kode. Jangan lupa untuk saling mengawasi,” ujar Ali.
Apa yang disampaikan Ali sebenarnya menjadi prosedur operasi standar dalam penyelaman. Namun, dia menegaskan hal itu beberapa kali sebelum tim selam beringsut dari kapal dan menghilang di bawah perairan.
Begitu fins dikayuhkan menyusuri kedalaman Wagmap Wall, sinar matahari semakin meredup. Ali meminta tim untuk merapat ke dinding yang penuh karang di bawah pulau. Penyelam mengikuti kontur karang dengan merambati dinding sembari mengamati biota yang berkeliaran di sekitar karang. Semakin dalam semakin gelap.
Seusai merambati karang, tampak cerukan di salah satu bagian dinding di kedalaman 16 meter. Terdapat semacam celah yang menjorok ke dalam. Ada kipas laut serta sejumlah karang lunak yang menempel pada dinding dan atap cerukan tersebut. Sesekali ikan karang pun lalu lalang.
Salah satu penyelam Kompas bahkan mendapati lubang di atap cerukan tersebut yang terhubung ke sebuah bilik goa. Kepalanya bisa masuk, tetapi tidak cukup untuk seluruh badan. Belum diketahui apakah bilik itu memiliki cukup udara dan aman dimasuki manusia.
Setelah keluar dari Wagmap Wall, Ali bercerita bahwa lokasi penyelaman ini menyimpan misteri. Arus permukaan yang cukup kencang cukup membahayakan penyelam. Beberapa tahun silam, seorang penyelam hilang di Wagmap Wall. Hingga kini, jasadnya belum ditemukan. ”Kami cerita ini setelah menyelam supaya tidak ada perasaan takut,” kata Ali tersenyum.
Apa yang terpampang selama menyelam di Misool mempertegas keanekaragaman hayati laut Raja Ampat yang begitu kaya. Hasil pemantauan terkini yang dipimpin Universitas Negeri Papua menunjukkan tutupan karang keras rata-rata 34,1 dan kurang lebih 2,4 persen atau masuk kategori sedang. Kabar baik lagi, tak ditemukan tanda-tanda pemutihan karang akibat peningkatan suhu air serta tak ditemukan karang mati akibat bom.
Keindahan bawah laut Raja Ampat memang tak ada habisnya untuk dieksplorasi. Kabupaten yang terdiri atas empat pulau besar dan lebih dari 1.800 pulau kecil ini memiliki 553 jenis karang, 1.470 jenis ikan karang, serta sejumlah mamalia laut. Jika ada yang menyebut wilayah di ujung Kepala Burung Pulau Papua ini serpihan surga yang jatuh ke bumi, bisa jadi itu ada benarnya. (ICHWAN SUSANTO/INGKI RINALDI/HARRY SUSILO)