Kesabaran tanpa batas dan keyakinan untuk dapat mengubah keadaan. Dua hal itu menjadi dasar bagi Johanes Maturbongs saat memberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi lingkungan hidup kepada masyarakat di Raja Ampat, Papua Barat.

Ia mengubah puluhan pemuda dari kampung-kampung di Distrik Misool dan Kofiau, yang sebelumnya bagai predator lingkungan, menjadi kolaborator konservasi. Pemburu hiu, pengebom ikan, dan pengeksploitasi keragaman hayati dengan metode penyelaman kompresor angin berisiko tinggi kini berubah menjadi sosok-sosok kunci pelestari ekosistem.

Sebagian bertransformasi menjadi pengusaha penginapan dan jasa wisata. Tentu saja, unsur kelestarian lingkungan hidup sebagai buah konservasi menjadi syarat pokoknya.

Para pemuda itu dikirim dari kampung-kampung sebagai perwakilan saat Johanes, yang akrab disapa Om John, bertugas sebagai pemimpin proyek lembaga nirlaba The Nature Conservancy (TNC) wilayah Misool dan Kofiau. ”Dulu itu, hampir semua pemuda suka mabuk. Jadi, kita ini seperti meluruskan yang bengkok-bengkok,” kata John yang bergabung dengan TNC sejak 2010.

Selama sekitar empat tahun, John perlahan membentuk pemuda-pemuda tersebut. Ia mengorbankan nyaris semuanya untuk mereka, termasuk waktu bersama keluarga.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Johanes Maturbongs

John memiliki alasan kuat. Baginya, proses tersebut tidak bisa ditinggal di tengah jalan. Waktunya pun tidak bisa terlalu lama. Pasalnya, kesadaran yang baru bertunas hampir pasti bakal layu kembali jika tidak dipupuk dan didampingi terus-menerus.

Para pemuda itu direkrut sejak 2008 oleh tim penjangkauan masyarakat sebelum John bergabung dengan TNC. Mereka mendapatkan sejumlah pelatihan, seperti keterampilan menyelam, mengumpulkan data, menggunakan komputer, dan menulis laporan.

Beberapa tahun setelahnya, terjadi penambahan utusan pemuda dari kampung-kampung. Hal itu cukup untuk mengatasi persoalan beban pekerjaan yang cenderung bertambah. Dalam skema program, para pemuda itu selanjutnya dialihkan ke Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Raja Ampat. ”Jalannya seperti itu karena TNC tidak akan berada (di Raja Ampat) untuk selamanya,” kata John.

Kini para pemuda itu sudah dialihkan aktivitasnya ke dalam BLUD UPTD KKPD Raja Ampat. Namun, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memperluas kewenangan pemerintah provinsi dan berdampak pada sektor perikanan dan kelautan memberikan tantangan baru bagi skema pemberdayaan masyarakat yang dilakukan John dan kawan-kawan.

Pemerintah kabupaten dan kota yang sebelumnya punya wewenang terhadap wilayah laut dalam batas 0-4 mil laut kini tidak lagi punya kewenangan. Hal ini terjadi karena kewenangan pemerintah provinsi atas wilayah laut yang sebelumnya pada batas 4-12 mil laut menjadi 0-12 mil laut.

Kakak dan ayah

Selama proses pembentukan kemampuan bagi para pemuda itu, John senantiasa memosisikan diri sebagai sosok ayah dan kakak. Bukan hanya bagi para pemuda itu, melainkan juga bagi seluruh anggota keluarga mereka.

Alasan John sederhana saja, yakni setiap orang pasti dipengaruhi dan memengaruhi keluarganya. Tak jarang, John mesti turut pula menyelesaikan masalah keluarga sebagian pemuda tersebut. Jika tidak diselesaikan, dampaknya bakal memengaruhi kinerja mereka. Di sisi lain, pemuda tersebut sudah cukup lama direkrut sehingga mencari pengganti dengan kapasitas serupa bukan perkara mudah.

Sering kali ia juga mesti berperan sebagaimana konselor psikologis yang menerima aneka keluhan, melakukan analisis, dan memberikan rekomendasi serta jalan keluar. Karena itulah, John gembira tatkala para pemuda itu akhirnya diterima bergabung dalam BLUD UPTD KKPD Raja Ampat. ”Sebelum mereka bergabung ke BLUD UPTD, stres saya tinggi,” ujar John.

Kompas/Ingki Rinaldi

Johanes Maturbongs bersama nelayan yang tengah mengangkat ikan bobara hasil tangkapan di Kampung Harapan Jaya, Misool Selatan, Raja Ampat, Papua Barat, Jumat (13/10).

Salah satu teknik yang kerap diterapkan dalam mengurai beragam permasalahan itu dilakukan dengan pola komunikasi di meja makan. Meja makan hanya digunakan sebagai simbol menaruh makanan, sementara aktivitas makan bersama dilakukan di lantai. ”Di saat makan itulah, semua unek-unek diungkapkan,” kata John.

Selain itu, John mesti memberikan teladan, misalnya, dengan tidak ikut-ikutan minum minuman keras demi mengubah kegemaran mabuk. Ia juga memberikan tanggung jawab dan wewenang kepada para pemuda itu agar kepercayaan diri mereka terbangun.

Suka tantangan

John memulai aktivitas pemberdayaan masyarakat sejak duduk di bangku kuliah. Saat itu, ia bergabung dengan Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa di Irian Jaya (YPMD Irja) yang kini bernama YPMD Papua.

Pada 1990, ia bergabung dengan lembaga nirlaba WWF hingga 12 tahun berikutnya dengan wilayah kerja nyaris seluruh Papua. Pada 1995, ia menyelesaikan konflik dengan sejumlah lembaga lokal di Kupang dan pada 2000 menuntaskan konflik dengan warga di Tambrauw, Papua Barat.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Johanes Maturbongs

Dalam menyelesaikan konflik, John menerapkan ”diplomasi meja makan” dengan konteks lebih luas lagi. Tak jarang, ia bertamu ke sejumlah tokoh penentang konservasi dan langsung menuju dapur empunya rumah. ”Kuncinya itu di dapur,” ucap anak pertama dari sepuluh bersaudara itu.

Menurut dia, memahamkan dan memberdayakan masyarakat terkait isu konservasi bersandar pada dimensi komunikasi. Manfaat penting konservasi perlu dijelaskan dalam berbagai cara dengan melihat latar belakang budaya setiap kelompok masyarakat.

John mengatakan, semakin besar tantangan dalam menyelesaikan sebuah persoalan, ia semakin suka. Kebiasaannya berburu di masa kecil dan keluar masuk hutan tatkala diajak ayahnya mengunjungi sang kakek yang menjadi guru di perbatasan Papua dan Papua Niugini membiasakannya terhadap tantangan.

”Konservasi itu tentang manusia dan beriringan dengan perut. Harus dijelaskan apa manfaat konservasi bagi masyarakat, baru semuanya bisa diatur. Baik dan buruk semua dari manusia. Manfaat itu harus jelas dan, kalau masyarakat merasakan manfaat konservasi, mereka tidak akan merusak lingkungan,” tuturnya.

Sempat bergabung dengan Freeport dalam bidang pembangunan dan pemberdayaan masyarakat di 31 kampung pada 2006-2010, John kembali ke dunia LSM tempat hatinya tertambat. John kini bertugas di TNC untuk melakukan pendekatan komunikasi bagi para pemimpin. Tujuannya untuk mendorong kemajuan secara kolaboratif. Ia masih terus berkarya mencetak pahlawan-pahlawan lingkungan.

”Kalau kita berbuat baik kepada orang lain, pasti orang juga akan baik kepada kita. Kita jadi punya saudara di mana-mana,” kata John. (HARRY SUSILO/ICHWAN SUSANTO)

Johanes Maturbongs

  • Lahir: Merauke, 23 November 1962
  • Istri: Yanni (40)
  • Anak: Nadya Maturbongs, Ayu Maturbongs, Hanni Maturbongs, Godlif Maturbongs
  • Pendidikan:
    • SD Agustinus, Merauke (lulus 1975)
    • SMP Mikael, Merauke (1978)
    • SMA Johanes 23, Merauke (1981)
    • Universitas Cenderawasih, Jayapura, Jurusan Ilmu Ekonomi (1987)