Mama-mama di kampung ini sepakat menutup dan membuka laut sesuai kebutuhan. Mereka hanya mengambil hasil laut pada rentang waktu tertentu untuk digunakan bersama. Seperti laut yang menjadi ibu bagi semuanya, demikian para mama Papua di Misool ini menjadi pahlawan bagi sesama dan alamnya. Praktik baik yang hingga kini bertahan dari godaan untuk mengeksploitasi lautnya.
Siang selepas hujan di akhir musim angin selatan di Kampung Kapatcol, Misool Barat, Raja Ampat, dermaga tempat perahu bodi merapat tampak basah. Pertengahan Oktober itu, cuaca tak menentu hampir di semua wilayah Raja Ampat di Papua Barat. Hujan deras dan angin kencang sesekali berembus dan kadang berubah jadi panas terik menyengat kulit.
Kondisi itu tidak membuat warga Misool mengeluh. Di dermaga kayu dengan perairan amat jernih di kampung itu, dua anak perempuan kecil memasang umpan dari kerang kecil.
Di jalan kampung yang asri dan berbatas laut, sejumlah pria menyusun batu gunung untuk dijadikan fondasi rumah. Mereka tak lagi memakai batu karang seperti dilakukan di masa lalu. Para ibu atau mama merajut rumbia jadi atap di beberapa rumah, sementara ibu-ibu lain mengasuh anak atau bersiap ke kebun.
Almina Kacili (52) tak ke mana-mana siang itu. Kondisi kesehatannya belum baik. Di atas lantai kayu, ibu 12 anak ini merapikan kemeja batik berwarna biru cerah kombinasi hijau yang ada di depannya. Batik itu bermotif tifa, alat musik Papua.
Kemeja yang spesial bukan hanya bagi dirinya, melainkan juga bagi semua ibu di kampung. ”Ini baru beberapa kali dipakai bersama-sama saat kegiatan gereja atau pemerintah,” kata Almina yang juga Ketua Kelompok Sasi Perempuan Kampung Kapatcol ini.
Baju seragam itu dibuat pada 2014, bersama 37 ibu lain di kampung ini. Itu merupakan hasil keringat pengambilan hasil laut di area sasi.
Sasi merupakan kesepakatan adat ataupun gereja untuk menutup dan membuka wilayah tertentu dalam jangka waktu tertentu. Praktik lokal yang mirip dengan kearifan lokal orang Maluku ini awalnya dipraktikkan dalam mengelola sumber daya alam di darat yang lalu direplikasi di laut menjadi sasi laut.
Almina bercerita, sasi pada 2014 menghasilkan pendapatan Rp 6 juta dari penjualan teripang, lobster, dan lola (kerang dengan cangkang berbentuk kerucut). Buka sasi yang terakhir berlangsung pada April lalu. Total hasilnya mencapai Rp 4 juta.
Hasil sasi tak dibuatkan seragam lagi. Semua ibu sepakat menyumbangkan hasil penjualan kepada seorang pemuda kampung yang ingin melanjutkan sekolah. ”Tahun lalu, kami sepakat kasih itu hasil untuk anak kampung yang mau daftar polisi. Karena pasti biayanya banyak. Dia tak lolos, tetapi kalau berhasil kami semua bangga,” ucap Almina.
Untuk kampung
Pemuda kampung yang mendaftar polisi itu adalah anak Betsina Hay. Ia adalah penggagas Kelompok Sasi Ibu-ibu sejak 2011 dan meninggal pada 2015. ”Kami sepakat kasih bantuan bagi anak Bu Betsi karena, tanpa dia, sasi ini tak ada,” ujar Almina.
Ide sasi ibu-ibu muncul saat melihat sasi masyarakat atau sasi umum yang dikerjakan para bapak. Di masa awal itu, hasil sasi tidak menggembirakan karena salah pilih lokasi.
Baru pada 2014, lewat pendampingan The Nature Conservancy, hasil yang didapat para ibu jauh lebih banyak. Lokasi sasi dipilih sesuai hasil pemantauan tempat hewan-hewan laut berkembang biak.
Sasi laut yang dilakukan tak ada bedanya dengan sasi umum. Di kampung ini, sasi umum dihidupkan kembali sejak 2008. Untuk sasi masyarakat, biasanya laut ditutup selama hampir satu tahun. Sementara sasi ibu-ibu dibuka sesuai kebutuhan, berjarak dua atau tiga tahun.
Lokasi dua sasi ini berdekatan, di sebelah selatan Kampung Kapatcol. Untuk mencapainya, butuh waktu sekitar 10 menit dari permukiman, memakai kapal bermesin kecil.
Sebuah papan kayu penanda sasi umum akan dijumpai terlebih dulu. Lokasi sasi memanjang 500 meter sepanjang pantai dan melebar ke arah laut berbatas tubir dasar laut. Wilayah sasi para ibu lebih panjang sekitar 300 meter dibandingkan sasi masyarakat atau 1 kilometer jika menyusuri pantai.
Saat waktu buka sasi tiba, serempak kaum lelaki dan perempuan turun ke laut mencari teripang, lobster, dan lola. Seperti mama Barbalina Drimlol (61) yang rutin ikut nyemplung saat buka sasi. Ibu dari delapan anak ini menyelam hingga kedalaman 5 meter mencari teripang. ”Saya tiga hari molo (menyelam). Hari pertama panen betul, teripang bisa dapat puluhan ekor,” tuturnya.
Para ibu yang tak menyelam bertugas mengukur, menimbang, dan membersihkan hasil tangkapan. Mereka menerapkan ukuran minimal teripang 16 sentimeter (cm), lola 7 cm, dan lobster terkecil berukuran 6 ons. Hal itu untuk menjaga biota laut bernilai tinggi tersebut tetap lestari.
Kepala Kampung Kapatcol Louis Hay menjelaskan, warga secara sadar melakukan sasi karena bermanfaat. Dengan alam yang terjaga, tak lagi menggunakan alat tangkap berbahaya, laut akan kian baik.
”Dulu sampai akhir 90-an, banyak yang pakai bom. Sekarang tidak ada. Kami sadar kalau karang rusak, ikan tak punya rumah. Seperti kita saja kalau tidak punya rumah mau tinggal di mana?” katanya.
Dengan sasi yang dilakukan secara adat maupun agama, masyarakat tak berani melanggar aturan. Apalagi, banyak kecelakaan menimpa warga yang mengambil teripang saat sasi belum dibuka.
Di Misool, sasi juga dilakukan di Kampung Folley dan Limalas. Tradisi yang sama pernah dilakukan di Kampung Fafanlap meski kini tak begitu aktif. Di Kampung Yellu, sasi dilakukan sesuai musim angin.
Dalam artikel Benefits of Sasi for Conservation of Marine Resources in Raja Ampat, Papua pada jurnal Manajemen Hutan Tropik (IPB, 2014), Paulus Boli dan kawan-kawan menyebut sasi berdampak baik bagi pengelolaan perairan. Ini menjaga keberlanjutan perikanan, mengembalikan stok ikan, menekan eksploitasi, dan menambah pendapatan perikanan. Kampung Kapatcol menjadi contoh bijak pengelolaan laut yang mendatangkan hasil berkelanjutan bagi warga dan alamnya. (JAL/ILO/INK/ICH)