Awalnya, Purwanto muda tidak ada niat mempelajari laut dan isinya. Dia hanya ”terjebak” memilih jurusan selepas lulus SMA. Kini, setelah belasan tahun terlewati, setelah sekian kali menyelam, sehabis mengunjungi hampir semua lokasi menyelam di Indonesia, dia tersadar bahwa laut adalah rumah untuk semua yang harus terus dilindungi.

Mas Pur, demikian ia biasa disapa, telah menanti tim Kompas di Kapal Kurabesi pada hari terakhir pemantauan kondisi terumbu karang di Raja Ampat, pertengahan Oktober 2017. Kapalnya sandar tak jauh dari Pulau Soop, beberapa mil dari Sorong di Papua Barat. Ia mengajak tim selam Kompas mengikuti penyelaman titik terakhir di dekat Pulau Soop.

Pagi itu cuaca cerah dan burung bangau asyik berjemur di atas batu besar yang menyembul di atas permukaan laut. Laut yang jernih menunjukkan dasar lautan yang berkedalaman lebih dari 5 meter beserta ikannya. Terumbu karang terlihat rusak, hancur akibat aktivitas manusia yang gemar merusak alam.

Di atas perahu, Purwanto (47) mengarahkan tiga penyelam. Dia mengoordinasikan penyelaman untuk memantau terumbu karang. Setelah memastikan semua aman dan anggota tim turun menyelam, dia pun ikut terjun. Byur!

Kompas/Ichwan Susanto

Karang keras dari jenis Akropora ini memiliki tingkat pertumbuhan cepat dibandingkan karang keras lain. Foto diambil di Perairan Pulau Soop, Sorong, Papua Barat, 9 Oktober 2017.

Purwanto bercerita soal pengalaman buruknya saat menyelam dua tahun lalu. ”Saat itu pas monitoring juga, di kedalaman 10 meter lebih, ada yang ngebom ikan. Jaraknya mungkin 3-4 kilometer, tetapi rasa-rasanya kayak di atas kepala. Dhuaarr! begitu,” ungkapnya.

Ayah dua anak ini kaget bukan kepalang. Dia panik dan refleks membuang kamera dan papan pencatat. Sekejap dia berusaha naik ke permukaan. Padahal, panik dan bertindak gegabah bisa berdampak fatal bagi penyelam. Kejadian itu paling membuatnya syok dibandingkan pengalamannya yang bejibun sejak berkecimpung di dunia konservasi dan pendampingan sejak 17 tahun lalu.

Ini adalah pengalaman buruk yang kesekian kali dengan pelaku bom ikan. Dia geram dengan pelaku pengebom dan perusak lingkungan lainnya. Apalagi, ketika tertangkap, rantai birokrasi-administratif untuk memproses pelaku pengebom begitu panjang. Belum lagi minimnya pengetahuan beberapa penegak hukum terkait ekosistem laut.

”Ada yang baru tahu bahwa terumbu karang itu hidup dan berkaitan setelah kami ajak sosialisasi dan penyuluhan. Tetapi sekarang sudah baik dan pelaku sudah relatif dihukum berat,” kata Purwanto.

Di luar itu semua, lautan rusak dan ekosistem tidak seimbang. Hal ini berdampak luas pada banyak hal, termasuk pola hidup dan peluang pariwisata. Butuh waktu puluhan tahun dan tidak gampang untuk mengembalikan itu semua.

Kesalahan yang menguntungkan

Aktivitas Purwanto sebagai pelaku konservasi dimulai sejak tahun 2000 hingga sekarang. Akan tetapi, semuanya itu tidak terlepas dari ”kesalahan” memilih jurusan sejak awal kuliah.

”Ketika saya masuk jurusan kelautan, pikiran awal kayak teknik hidro rancang bangun kapal dan sebagainya. Ternyata lebih banyak kaitan dengan ekologi. Namun, dari situ saya mulai tertarik saat belajar nyelam. Ada klub selam kampus dan dari situ tertarik,” tutur Purwanto.

Dari situ, dia menikmati kehidupan bawah laut, terumbu karang, dan segala jenis ikan. Lulus kuliah pada 1998, dia bekerja di bidang lain. Namun, dua tahun kemudian, naluri kelautannya membawa dia bergabung dengan The Nature Conservancy. Dia bertugas memonitor bawah laut Taman Nasional Pulau Komodo.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Purwanto, konservasionis terumbu karang dan ahli ikan karang.

Dengan jabatan fish and coral monitoring officer, dia bertugas memantau koral dan ikan. Di situ, dia belajar mengidentifikasi pari, manta, hiu, ikan karang, dan biota laut lainnya.

Tugas pemantauan di laut tersebut baru sekeping tugasnya. Paling berat adalah menyiapkan sumber daya manusia wilayah setempat, sekaligus upaya mengubah perilaku masyarakat yang buruk bagi lingkungan.

Dari awal, dia menyiapkan tenaga lokal, memperkenalkan mereka kepada dunia pemantauan dan konservasi berbasis teknologi. Hal itu penting agar pelaku konservasi lokal bisa mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada lembaga swadaya yang menginisiasi program. Kegiatan seperti ini dia lakukan di Komodo selama tiga tahun dan di Wakatobi selama tujuh tahun.

Upaya menyatukan kelembagaan sosial masyarakat, lembaga adat, dan pemerintah menjadi tantangan ketika dia bertugas di Raja Ampat sejak 2010. Sebab, hal ini membutuhkan pendekatan dan proses yang cukup kompleks. Terlebih, di Papua ada sistem adat dan ulayat. Mau tidak mau, peran serta masyarakat harus semakin besar.

”Alhamdulillah upaya kita menuai hasil. Mereka mulai merasakan manfaat konservasi dari perikanan ataupun wisata,” kata Purwanto.

Di Misool dan Kofiau di Raja Ampat, dari 24 lokasi pemantauan, ditemukan hiu di 18 titik penyelaman di antaranya. Jumlahnya juga banyak. Hal ini berbeda dengan beberapa tahun sebelumnya yang dalam 100 kali penyelaman, pemantau hanya 10 kali bertemu dengan hiu.

Spesialisasi ikan karang

Hiu adalah salah satu yang menjadi fokus Purwanto. Dalam beberapa kali pertemuan internasional, dia membahas bagaimana konservasi hiu di Raja Ampat.

Namun, ayah dua anak ini adalah ahli dalam ikan karang. Tesisnya yang sebentar lagi diujikan mengangkat tentang keanekaragaman kerapu di wilayah Raja Ampat. Dia mengidentifikasi dampak kerapu yang dilindungi dari satu wilayah ke wilayah yang lain.

”Secara genetik, kerapu di utara sama dengan di Misool wilayah selatan, tetapi berbeda dengan di Kofiau. Dugaan saya, di situ ada batas laut, pola arus, dan sebagainya. Konektivitas antarkawasan ketika dilakukan konservasi dan perlindungan,” papar Purwanto. Hipotesis tersebut, menurut rencana, dia lanjutkan untuk penelitian strata doktoralnya nanti.

Dia sangat senang jika konservasi berbasis masyarakat berhasil diterapkan. Hal ini karena sebagian besar upaya konservasi bukan di lautan, melainkan di daratan yang berhubungan dengan tingkah laku manusia.

Kompas/Heru Sri Kumoro

Kondisi bawah air di titik selam Pulau Jaam di kawasan Misool, Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (11/10). Jejak kerusakan karang akibat bom penangkap ikan masih tampak. Saat ini, terumbu karang mulai tumbuh kembali.

Satu yang paling membuatnya bahagia apabila masyarakat dan kelompok nelayan berdaya. ”Apalagi kalau ada yang bilang ikan yang dulu tidak ada sekarang ada lagi. Senang sekali sebab laut adalah rumah kita semua,” ujarnya. (JAL/ILO/INK/ICH)

Purwanto

  • Lahir: Klaten, 1 Januari 1970
  • Istri: Iriana Sri Rahayu (44)
  • Anak: Kevin Mahendra Irawan (20) dan Kyoka Mahatma Irawan (13)
  • Pendidikan: Sarjana Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang
  • Aktivitas: Konservasionis maritim
  • Pengalaman pembicara:
    • International Coral Reef Symposium di Hawaii, 2016
    • International Congress for Conservation Biology di Perancis, 2015
    • International Coral Reef Symposium, Australia, 2012