Laporan lengkap tentang Toba disajikan di harian Kompas selama empat hari berturut-turut, dimulai pada Rabu (12/11/2011) dan ditutup dengan edisi khusus pada Sabtu (15/11/2011).
Tanah putih nan rapuh tersusun berlapis. Beberapa lembar daun tercetak di dalamnya. Berserak di pinggir jalan Pangururan-Simbolon, lapisan itu sesungguhnya endapan ganggang dan fosil daun berusia puluhan ribu tahun. Fosil yang jadi bukti penting denyut magma di bawah Danau Toba.
Bagi warga sekitar, fosil daun dan ganggang yang berada 38 meter dari permukaan air danau itu hanyalah gundukan, yang sering dikira batuan kapur biasa. ”Saya tidak tahu bahwa itu fosil ganggang,” kata Astri Sinurat (25), warga Pangururan.
Namun, bagi ahli geologi, lapisan tanah itu adalah subyek amatan penting untuk memahami dinamika gunung api raksasa (supervolcano) yang bersemayam di bawah Danau Toba (baca: Kaldera Toba). Bukan hanya di Simbolon- Pangururan, fosil ganggang ditemukan hampir di seluruh Pulau Samosir.
”Fosil ganggang menguatkan bukti pengangkatan Samosir dari dasar danau,” kata Indyo Pratomo, geolog dari Museum Geologi.
Keberadaan fosil ini ibarat jejak yang dipahatkan alam pada masa silam bahwa Pulau Samosir pernah terendam air lantaran ganggang hanya bisa hidup di dalam air. Selama puluhan ribu tahun, dasar danau yang berkedalaman hingga 500 meter itu perlahan naik hingga membentuk Pulau Samosir di atas Pulau Sumatera.
Pengangkatan itu, menurut Indyo, terjadi pasca-letusan terakhir Gunung Toba (Youngest Toba Tuff/YTT) sekitar 74.000 tahun lalu. Sebelum itu Toba juga pernah meletus sekitar 501.000 tahun lalu (Middle Toba Tuff) dan sekitar 840.000 tahun lalu (Oldest Toba Tuff).
Setelah meletus hebat pada periode YTT, Kaldera Toba tertutup batuan. Air lalu mengisi kaldera hingga membentuk danau. Ganggang mulai hidup di dalamnya. Di tepiannya, pepohonan tumbuh menghijau.
Perlahan sebagian dasar kaldera terangkat naik mengikuti gaya dorong magma.
Sebagaimana kehidupan baru yang mulai tumbuh, dapur magma yang sebelumnya terkuras kembali terisi. Magma itu kemudian mendesak bebatuan penyumbatnya ke atas.
Perlahan sebagian dasar kaldera terangkat naik mengikuti gaya dorong magma. Dasar danau di bagian tengah yang semula terendam mulai muncul ke permukaan. Ganggang dan dedaunan yang terendapkan turut terangkat naik. ”Butuh penelitian lanjutan untuk mengetahui apakah pengangkatan itu masih terjadi. Sejauh ini belum ada yang meneliti,” kata Indyo.
Sedemikian kuatkah dorongan magma Toba sehingga mampu mengangkat dasar danau sedalam ratusan meter hingga membentuk pulau?
CA Chesner, geolog dari Eastern Illinois University, menyebutkan, saat meletus 74.000 tahun lalu, Toba mengeluarkan 2.800 km3 magma. Inilah letusan berskala 8 dalam Volcano Explosivity Index, terkuat dalam 2 juta tahun terakhir.
Luncuran awan panas letusan YTT menutup area seluas 20.000 km2, mencapai Samudra Hindia di sisi barat hingga Selat Malaka di timur dengan ketebalan rata-rata 100 meter dan di beberapa area mencapai 400 meter.
Jejak letusan
Indyo menghadirkan narasi tentang letusan raksasa Toba itu melalui jejak bebatuan di sekitar Danau Toba. Salah satunya melalui bebatuan di pinggir jalan Kabanjahe-Doloksanggul, sekitar 30 km dari tepi Danau Toba.
Bersama Indyo pada pertengahan Juli 2011 itu, kami menyusuri jejak perjalanan geolog Belanda, Van Bemmelen (1939), yang untuk pertama kali menemukan limpahan material vulkanik yang menutupi seluruh kawasan sekitar Danau Toba. Bemmelen adalah orang pertama yang menyimpulkan, danau ini terbentuk dari letusan gunung api.
”Tinggi tebing yang tersusun dari batu apung di kawasan ini mencapai lebih dari 50 meter. Tak adanya pelapisan menunjukkan material ini dilontarkan seketika. Padahal, ini belum dasarnya,” ujar Indyo menggambarkan kedahsyatan letusan itu.
Kombinasi kegiatan volkano-tektonik di kawasan Toba, menurut Indyo, juga memicu terjadi runtuhan dan pengangkatan lapisan bumi, yang mengakibatkan tersingkapnya batuan dasar dari periode permo-karbon, yaitu sekitar 300 juta tahun lalu.
Di balik elok pemandangan, Toba memang menyimpan riwayat—dan ancaman—yang mematikan.
”Batu ini asalnya dari Gondwana, benua raksasa pada masa lalu yang berada di belahan bumi selatan,” kata Indyo. Benua raksasa ini terpecah dan mengapung saat mencairnya zaman es dan terbawa hingga ke Sumatera.
Batuan itu berwarna hitam, berbentuk pipih, dan berlapis-lapis, dengan noda berwarna kuning. Batu sejenis bisa ditemukan di Pegunungan Himalaya.
Letusan Toba, menurut Indyo, sangat kuat dan unik. Jejak bebatuan dasar yang tersingkap ini menjadi bukti lain kedahsyatan letusan Toba Supervolcano, yang letusannya pada masa lalu telah berdampak global, bahkan dipercaya nyaris memusnahkan Homo sapiens, nenek moyang manusia modern.
Di balik elok pemandangan, Toba memang menyimpan riwayat—dan ancaman—yang mematikan. Kisah tentang petaka itu tercetak jelas dari bebatuan Toba.
(Ahmad Arif/Amir Sodikin/Indira Permanasari/Mohammad Hilmi Faiq)