Terjatuh dari pohon setinggi 20 meter dan sempat koma mengakhiri jalan hidup La Bae (47) sebagai pemburu burung-burung endemik yang sudah ia lakoni sejak usia kanak-kanak.
”Kalau tidak ditolong dua teman saya saat itu, mungkin saya sudah mati,” kenang Bae saat ditemui Tim Ekspedisi Wallacea Harian Kompas pada April lalu di rumahnya di Desa Gandasuli, Kecamatan Bacan Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara.
Bae terjatuh saat berusaha mengambil beberapa ekor nuri yang terperangkap lem getah sukun yang ia pasang di dahan kayu. Pria yang dikenal paling lihai berburu burung di Bacan itu terpeleset. Beruntung, dua temannya lagi sesama pemburu mengevakuasinya.
Bae hanyalah satu dari sekian banyak pemburu burung yang kini tak lagi masuk hutan. Sebelumnya, banyak keluarga di Gandasuli memiliki senapan angin untuk berburu burung. Juga terdapat burung hasil buruan yang dipelihara sebelum dilepas kepada pembeli yang datang.
”Mereka (pembeli) menelepon terlebih dahulu untuk memesan jenis burung dan seberapa banyak yang dibutuhkan,” kata Bae. Ia menambahkan, burung-burung cantik itu dijual dari harga puluhan ribu rupiah per ekor sampai seratusan ribu rupiah per ekornya.
Hasil kebun dianggap belum cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Apalagi, saat harga komoditas kebun, seperti kopi, cengkeh, dan kopra, jatuh. Berburu, menangkap, dan memperjualbelikan burung-burung endemik adalah salah satu pilihan.
”Saya bisa menyekolahkan anak sampai ke universitas juga dari hasil menjual burung-burung itu,” kata Bae yang kini memutuskan sepenuhnya untuk berkebun dan beternak.
Surganya burung
Kepulauan Maluku dikenal sebagai surganya burung paruh bengkok nan indah memesona. Dari 1.777 spesies burung yang ada di Indonesia, 700 spesies ada di zona Wallacea yang mencakup Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Kepulauan Maluku. Tak heran, wilayah ini menjadi sumber perburuan dan pusat peredaran perdagangan ilegal burung endemik, seperti jenis kakatua, nuri, perkici, dan kasturi.
Dalam catatan Burung Indonesia, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi, dari 1.117 ekor burung paruh bengkok yang disita aparat sepanjang 2018, lebih dari 700 ekor berasal dari Maluku Utara. Selain itu, pada 2017, ada 3.225 ekor burung paruh bengkok yang ditangkap hanya dari wilayah Halmahera Selatan saja. Sampai periode April 2019, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Maluku berhasil menyita 311 satwa dilindungi yang hendak diperjualbelikan.
”Dari Maluku, burung diperdagangkan lewat jalur Bitung (Sulawesi Utara), Surabaya, sampai ke Batam lewat Jambi. Dari Batam, burung diperdagangkan ke pasar internasional,” kata Kepala Seksi Konservasi Pengamanan In Situ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Krismanko Padang, di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa waktu lalu.
Vincentia menengarai, maraknya perburuan dan perdagangan burung endemik di kawasan Wallacea disebabkan faktor desakan ekonomi. Pemburu menangkap burung dan menjualnya untuk mendapat uang secara mudah. Apalagi, di masa lalu, populasi burung boleh dibilang melimpah di alam liar.
”Selain itu, lemahnya perlindungan hukum terhadap spesies burung endemik dan ketidaktahuan masyarakat betapa pentingnya kestabilan populasi burung bagi keseimbangan ekosistem berkontribusi terhadap tingginya angka perburuan burung,” ujar Vincentia.
Kepala Seksi Konservasi Wilayah I BKSDA Maluku Abas Hurasan mengatakan, pengawasan satwa dilindungi di lapangan kurang optimal lantaran terbatasnya jumlah petugas. Di Cagar Alam Gunung Sibela di Pulau Bacan, misalnya, hanya dijaga dua petugas saja. Padahal, luas kawasan itu mencapai 23.000 hektar.
”Kami juga gencar mengampanyekan ke masyarakat tentang dampak apabila burung-burung itu punah di alam liar. Selain itu, sosialisasi pelarangan perburuan dan perdagangan burung juga terus dilakukan dengan menggandeng organisasi nonpemerintah,” kata Abas.
Dipulihkan
Perlindungan terhadap burung endemik boleh dibilang agak terlambat. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi baru diundangkan pada 11 Juli 2018 dan telah direvisi sebanyak dua kali. Selain sejumlah satwa dan tumbuhan, peraturan itu memasukkan seluruh jenis burung paruh bengkok sebagai satwa yang dilindungi.
Kabar baiknya, kesadaran masyarakat untuk berhenti berburu dan memelihara burung endemik mulai tumbuh. Burung-burung hasil sitaan ataupun yang diserahkan secara sukarela direhabilitasi di Pusat Rehabilitasi Satwa Masihulan di Pulau Seram, Maluku. Di tempat itu, ratusan ekor burung direhabilitasi agar kembali ke perilaku aslinya setelah lama menjadi peliharaan manusia.
”Saya sadar, apabila burung musnah di alam, apa yang bisa diharapkan? Lebih baik dibiarkan saja berkembang agar kita bisa terus menyaksikannya,” tutur Butje Makatita (47), mantan pemburu burung di Pulau Seram, Maluku, yang kini berprofesi sebagai pemandu wisata pengamatan burung.
Di masa lalu, Butje berpengalaman memburu burung hingga lintas pulau. Tak terhitung berapa ribu ekor burung yang pernah ia tangkap dan dijual. Sampai suatu saat ia bertemu dengan turis asing yang mengajaknya berhenti berburu dan sebaliknya diajak melestarikan dan melindungi burung-burung tersebut.
”Kata turis itu, apabila terus diburu, burung akan habis di alamnya. Takkan ada lagi yang bisa kami dapatkan. Kini, saya bisa menjadi pemandu wisata pengamatan burung dengan membiarkan mereka hidup bebas di alam,” ujar Butje.
Keberadaan burung di alam tak bisa dianggap remeh. Di balik warna bulunya yang menakjubkan dan kicauannya yang merdu, burung berperan sebagai pengendali hama tanaman, membantu penyerbukan, dan menyebarkan biji-bijian di alam. Keberadaan burung juga menjadi inspirasi bagi ilmu pengetahuan.
Tak sepatutnya kita memburu dan memenjarakannya di kandang. (FRANS PATI HERIN/LUKI AULIA/ARIS PRASETYO)