Nama Georgius Everhardus Rumphius tak banyak dikenal di Nusantara. Peletak dasar ilmu taksonomi ini menyusun buku Herbarium Amboinense dengan kedua mata dalam keadaan buta. Buku yang diselesaikan pada 1695 di Ambon itu dirahasiakan selama 40 tahun.
Rumphius lahir di Jerman pada 1627. Pada 1653, ia tiba di Ambon, Maluku, sebagai serdadu Perserikatan Dagang Hindia Timur (VOC). Pada era 1650-an kerap meletus pemberontakan orang-orang lokal terhadap kolonial Belanda.
Rupanya, Rumphius muda tak tertarik terjun ke medan perang. Ia telah jatuh cinta pada keindahan alam tropis Maluku dengan mengamati dan mencatat aneka jenis flora dan fauna laut. Petinggi VOC mencium bakat Rumphius tersebut dan membebaskannya dari dinas kemiliteran.
Cintanya pada dunia flora dan fauna Maluku kian menjadi-jadi. Rumphius terus mengamati dan mencatat. Ia banyak dibantu istrinya yang bernama Susanna dan anak-anak mereka. Kelak, Rumphius menamai salah satu anggrek di Maluku dengan nama belakang Susanna sebagai wujud sayangnya kepada sang istri tercinta.
Semangat kerjanya yang tak kenal lelah berdampak buruk bagi kesehatannya. Pada 1670, Rumphius mengalami kebutaan total akibat glaukoma. Di saat buta itulah, Susanna dan anak-anak mereka banyak membantu mengumpulkan sampel dan menyelidikinya.
Rumphius mendikte anaknya untuk menuliskan apa yang ada di pikirannya. Ia mengenali tumbuhan lewat rabaan, aroma, usapan, dan sentuhan-sentuhan di jarinya. Ia dibantu juru gambar, termasuk putranya yang bernama Paulus Augustus, untuk melengkapi deskripsi jenis tanaman dalam bukunya.
Musibah
Rumphius ditakdirkan sebagai sosok yang banyak dirundung malang, sekaligus sosok yang berkepribadian tangguh, tekun, gigih, dan luar biasa tabah. Empat tahun sejak mengalami kebutaan, gempa dahsyat meluluhlantakkan Ambon dan menyebabkan Susanna dan salah satu putri mereka meninggal tertimbun reruntuhan bangunan.
Gempa itu terjadi pada 17 Februari 1674, tepat menjelang malam pergantian tahun baru China. Dalam laporan Rumphius berjudul ”Waeragtig Verhael van de Schrickelijke Aerdbevinge” yang diterbitkan pada 1675, ia menuliskan bahwa saat pesta perayaan tahun baru dimulai, bumi tiba-tiba berguncang hebat. Guncangan terasa sangat kuat, sampai-sampai orang mengira hari kiamat telah tiba.
Bukit runtuh dan tanah terbelah. Orang-orang berjatuhan dan lonceng-lonceng di Benteng Victoria berdentang tanpa ada yang memukulnya. Gempa itu menewaskan lebih dari 2.000 jiwa. Catatan Rumphius tentang gempa Ambon disebut sebagai catatan tertua tentang gempa besar di Nusantara.
Kematian Susanna dan putri mereka benar-benar menghunjam perasaan Rumphius. Namun, ia menolak terpuruk dan terus menyelesaikan karya-karya yang luar biasa. Lagi-lagi, musibah datang mendera. Pada 11 Januari 1687, kebakaran hebat membuat ratusan lembar kertas berisi catatan dan gambar-gambar tumbuhan ataupun hewan yang ia kerjakan selama bertahun-tahun musnah dilalap api.
Buku Herbarium Amboinense baru terbit pada 1741 atau hampir 40 tahun setelah Rumphius wafat. Belanda sengaja menyimpan rapat-rapat manuskrip yang dikirim dari Ambon tersebut lantaran khawatir banyak informasi berharga di dalamnya terungkap. Mereka tak ingin informasi penting itu jatuh ke tangan pihak lain sehingga mengganggu bisnis rempah VOC di Hindia Timur.
Inspirasi
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Profesor Sangkot Marzuki, yang kini sedang meneliti sosok dan karya Rumphius, menyebut kisah Rumphius punya kemiripan dengan kisah Alfred Russel Wallace. Keduanya adalah orang Eropa yang punya ketertarikan mempelajari alam Nusantara. Mereka menghasilkan karya-karya besar di tengah-tengah keterbatasan.
”Mereka tidak mengenal kata menyerah. Keduanya punya ketekunan dan kegigihan yang sangat luar biasa dan kecintaan yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan,” kata Sangkot saat dijumpai di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Sangkot menengarai, karya Rumphius berjudul Herbarium Amboinense menjadi inspirasi bagi banyak ilmuwan besar, termasuk Christiaan Eijkman, ilmuwan Belanda peraih Nobel Kedokteran yang melakukan penelitian mengenai penyakit beri-beri pada 1890.
”Dalam buku Rumphius mengupas detail soal kacang hijau, mulai dari deskripsi, cara pembudidayaannya, termasuk manfaatnya. Dari mana Eijkman mendapat rujukannya? Di masa itu, rujukan yang lengkap hanya ada di buku karya Rumphius,” tutur Sangkot.
Dalam buku The Ambonese Herbal, yang merupakan terjemahan Herbarium Amboinense, pada Bab 30 Rumphius memberi nama kacang hijau dalam bahasa Latin sebagai Phaseolus minimus atau dalam bahasa Belanda sebagai groene katjang. Selain menuliskan deskripsi di mana tumbuhan ini bisa tumbuh, ia juga memberi keterangan cara penanaman dan manfaatnya. Dengan benderang, ia menyebut manfaat kacang hijau sebagai obat penyakit beri-beri.
Samar
Tim Ekspedisi Wallacea harian Kompas pada akhir April sampai awal Mei 2019 berkunjung ke Ambon untuk mencari jejak-jejak Rumphius. Sayangnya, tak banyak yang bisa diperoleh selain monumen peringatan Rumphius di sebuah SMA di Kota Ambon dan kebun yang pernah menjadi rumah tinggal Rumphius di dekat benteng Amsterdam di Kecamatan Hila, Kota Ambon. Rumphius yang wafat di Ambon pada 1702 juga tak dikenali di mana makamnya hingga kini.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Pattimura Ambon Dominggus Malle mengakui, hampir tidak ada peneliti di kampus yang melakukan riset lanjutan terkait temuan Rumphius. Bahkan, banyak yang tidak mengetahui sepak terjang naturalis Jerman itu.
”Kan, bisa diteliti, seperti apa kondisi tanaman yang ditemukan ratusan tahun silam dibandingkan dengan hari ini. Apakah sudah berkurang atau punah. Terus, apa penyebabnya? Misteri itu menarik untuk diungkap,” kata Dominggus.
Tenggelamnya nama Rumphius di Ambon dan Maluku pada umumnya juga tidak lepas dari minimnya publikasi. Pemerintah daerah hampir nyaris sama sekali tidak mengangkat nama Rumphius. Kenangan Rumphius hanya dapat ditemukan di sebuah prasasti usang di sudut halaman SMA Xaverius di Jalan Pattimura, Kota Ambon.
Selain itu, ada perpustakaan Rumphius yang didirikan oleh mantan Uskup Amboina, mendiang Mgr Andreas Sol MSC, di kompleks Katedral Ambon. Prasasti ataupun perpustakaan merupakan inisiatif dari pihak Gereja Katolik setempat.
”Ilmuwan ini terkenal di dunia, tapi tenggelam di kota di mana ia melahirkan mahakaryanya,” kata Pastor Paroki Katedral Ambon RD Patrisius Angwarmas. (FRN/LUK)