Pada masa kepemimpinan Mao Zedong di China pada 1958, ia memimpin gerakan yang disebut sebagai ”kampanye empat hama”. Keempat hama itu adalah lalat, nyamuk, tikus, dan burung gereja. Burung gereja termasuk salah satu binatang yang disalahkan Mao lantaran kegemarannya memakan biji gandum milik petani.
Jutaan petani di desa-desa diwajibkan memukul apa saja yang menimbulkan bunyi gaduh, termasuk berteriak sekencang-kencangnya. Lantaran kaget dengan suara-suara itu, burung takut mendarat. Mereka kelelahan, jatuh ke tanah, dan dibantai.
Kelangkaan burung gereja di China membuat populasi belalang melonjak berkali-kali lipat karena predator alami mereka nyaris tak ada. Belalang-belalang bebas memakan semua tanaman petani. Tahun berikutnya, China mengalami gagal panen. Wabah kelaparan mengakibatkan jutaan orang tewas.
Lebih jauh, artikel menarik ditulis di laman BirdLife International pada 4 Januari 2019. ”Why we need birds (far more than they need us)”, begitu judul artikelnya. Burung adalah pemain kunci dalam ekosistem dunia dengan cara yang langsung berdampak pada kesehatan manusia, ekonomi, dan produksi makanan. Lalu, seperti apa peranan burung di alam bebas?
Pertama, burung berperan sebagai pengontrol hama. Apa yang terjadi di masa kepemimpinan Mao Zedong adalah bukti nyata betapa vitalnya peranan burung di alam. Kedua, burung membantu penyerbukan. Tak cuma lebah atau kupu-kupu yang berperan penting pada penyerbukan, burung pun demikian. Semakin langka burung di alam, tak menutup kemungkinan akan disusul kepunahan spesies tanaman lantaran penyerbukan yang tak pernah terjadi.
Ketiga, burung membantu penyebaran biji-bijian. Ketika burung memakan buah, terkadang biji buah ikut tertelan dan dibuang bersama kotoran. Burung telah membantu membentuk kehidupan tanaman hampir di seluruh dunia. Di hutan Selandia Baru, sekitar 70 persen tanaman tumbuh dari biji-bijian yang disebarkan burung tui (Prosthemadera novaeseelandiae).
Keempat, burung menjadi sumber inspirasi bagi ilmu pengetahuan. Teori seleksi alam hasil pemikiran Alfred Russel Wallace (1823-1913), naturalis asal Inggris, timbul saat ia menyeberang dari Bali ke Lombok pada periode Juni-Juli 1856. Kepada Samuel Stevens, rekannya di Inggris, ia menulis surat bahwa meski tanah Bali dan Lombok sama, ketinggian dan iklim serupa, jenis burungnya sangat berbeda. Keunikan itu menginspirasi Wallace tentang seleksi alam.
Kendati demikian, tak semua orang menyadari betapa pentingnya burung di alam bagi kehidupan bumi. Perburuan dan penangkapan ilegal burung di alam, termasuk jenis yang dilindungi, masih terus terjadi. Kepulauan Maluku adalah salah satu wilayah di kawasan Wallacea yang kaya akan beragam jenis burung. Di kawasan itu pula salah satu pusat perdagangan burung langka dan dilindungi.
”Desakan ekonomi adalah salah satu sebab kenapa burung di alam terus diburu. Dibutuhkan kerja sama banyak pihak untuk menyadarkan masyarakat agar menghentikan perburuan burung. Memang itu belum cukup, perlu dipikirkan pula solusi agar mereka berhenti berburu dan memperdagangkan burung,” tutur Koordinator Kemitraan Kepulauan Maluku pada Burung Indonesia Vincentia Widyasari saat dijumpai Tim Ekspedisi Wallacea harian Kompas di Ternate, Maluku Utara, pada April lalu.
Selain itu, harga burung endemik yang tinggi di pasar internasional menarik minat oknum tertentu untuk menangkap burung di alam dan diperdagangkan. Menurut Kepala Seksi Konservasi Pengamanan In Situ Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Krismanko Padang, dalam konferensi internasional bertema ”Wildlife Trade and Utilization in Wallacea Region”, di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (22/8/2019), harga kakatua raja di pasar internasional bisa 10.000-15.000 dollar AS per ekor. Itu sudah setara dengan Rp 150 juta sampai Rp 200 juta per ekor.
”Itu yang menyebabkan praktik perburuan dan perdagangan burung langka masih tinggi,” ucap Krismanko.
Data dari Burung Indonesia, status burung di Indonesia pada 2019 tercatat ada 1.777 spesies burung. Dari jumlah tersebut, sebanyak 557 spesies adalah jenis dilindungi dan 515 spesies berstatus endemik. Lebih jauh, dari sisi status konservasi, sebanyak 30 spesies berstatus kritis, 44 spesies genting, 94 spesies berstatus rentan, dan 244 spesies mendekati terancam.
Status kritis artinya spesies tersebut berisiko sangat tinggi mengalami kepunahan dan dikhawatirkan punah dalam waktu dekat. Status genting berarti spesies tersebut berisiko sangat tinggi mengalami kepunahan dan dikhawatirkan punah di masa yang akan datang. Status kritis setingkat lebih mengkhawatirkan dibanding genting. Berikutnya adalah rentan yang berarti spesies itu rentang mengalami kepunahan. Tingkatan rentan berada di bawah genting.