KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Bentang alam karst di kawasan Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan, Selasa (18/6/2019). Bentangan alam karst menjadi salah satu kekayaan Kabupaten Maros yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Selain kaya keanekaragaman hayati, kawasan karst di sini juga menyimpan jejak-jejak kehidupan prasejarah.

Sulawesi Selatan

Menelusuri Jejak Rumah Wallace di Maros

·sekitar 5 menit baca

Saat menetap di Maros, Sulawesi Selatan, selama Juli hingga Oktober 1857, naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace, memilih tinggal di sebuah rumah tenang yang dikelilingi bukit karst, hutan, dan persawahan. Alam yang indah, sumber makanan, dan air yang melimpah diyakini menjadi alasan dia bisa berkonsentrasi mengumpulkan dan mendata aneka spesies flora dan fauna selama berada di Maros.

Hari menjelang sore, pertengahan Februari lalu, saat tim Kompas yang ditemani arkeolog Budianto Hakim tiba di sebuah lokasi tak jauh dari kawasan tambang semen. Tempat ini adalah hamparan luas yang dikelilingi bukit karst dan berjarak beberapa ratus meter dari jalan raya. Ada bekas anak sungai yang kering, ada yang menyebut ditutup. Ada beberapa pohon kapuk, aren, asam, cempedak, dan tanaman lain. Selebihnya berupa alang-alang dan rumput liar.

Dari tempat ini, pemandangan begitu indah. Batu karst tampak seperti jejeran menara kokoh menjulang berwarna kelabu dan hitam dengan latar belakang langit biru dengan awan berbagai bentuk. Di sekitarnya ada hutan dan sawah. Perkampungan penduduk cukup jauh sehingga tempat ini terasa nyaman dan tenang.

”Berdasarkan penelusuran kami bersama peneliti, arkeolog, dan pihak Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, inilah lokasi yang kami yakini sebagai tempat Wallace tinggal selama berada di Maros. Memang tak ada lagi bekas rumah. Namun, pepohonan dan gambaran situasi sekitar sangat mendekati apa yang ditulis dalam catatan Wallace,” tutur Budianto.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Gugusan pegunungan karst di sekitar Kampung Berua, Rammang-Rammang, Maros, Sulawesi Selatan, Rabu (19/6/2019). Bentangan alam karst menjadi salah satu kekayaan Kabupaten Maros yang masuk dalam kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Selain kaya keanekaragaman hayati, kawasan karst di sini juga menyimpan jejak-jejak kehidupan prasejarah.

Tak mudah menemukan lokasi yang dahulu terkenal dengan sebutan Amasanga ini. Bermula pada 2016 saat staf Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), Kama Jaya Shagir, penasaran mencari tahu bekas tempat tinggal Wallace. Kama Jaya mencoba menelusuri peta Belanda zaman dahulu. Berdasarkan petunjuk di peta dan berbagai informasi, dia mendatangi beberapa tempat. Memang ada beberapa lokasi yang memiliki kesamaan berdasarkan catatan dan hal ini membingungkan. Lalu, dia bertemu seorang warga bernama La Saing (63) yang membawanya makin dekat dengan tempat dimaksud.

Dari La Saing diperoleh informasi tentang lokasi di mana dahulu terdapat rumah orang Belanda. Di Sulsel, sebagian besar orang asing yang ada pada zaman penjajahan akan disebut dengan sebutan orang Belanda. La Saing mengatakan selalu mendapat cerita dari kakeknya tentang seorang Belanda (Wallace) yang dahulu tinggal di sebuah pondok di daerah Ammasangeng. Hal ini juga sempat membuat bingung karena dalam catatan Wallace ataupun Belanda, tempat ini ditulis dalam kata Amasanga.

”Namun, melihat kemiripan tempat dan dugaan Belanda menulis Ammasangeng sebagai Amasanga, kami menyimpulkan bahwa bekas lokasi yang ditunjuk La Saing itu yang paling mendekati benar,” kata Kama Jaya.

Belakangan, untuk memperkuat temuan ini, Kama Jaya mendiskusikannya dengan peneliti dan arkeolog seperti Adam Brumm dari Griffith University, yang sejak beberapa tahun terakhir melakukan sejumlah ekskavasi di Maros. Ada pula arkeolog Balai Arkeologi Sulsel, Budianto Hakim. Hasilnya sama, menunjuk pada tempat sama yang saat ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bantimurung.

Mereka sepakat menyimpulkan Ammasangeng walau ada beberapa perbedaan kecil, seperti jalan yang dilalui Wallace menuju Bantimurung. Adam dan arkeolog lain yakin melalui jalur yang melewati goa prasejarah Leang-Leang, tetapi Kama Jaya menyebut jalan lain yang tak melalui Leang-Leang. Semua jalan ini tembus ke Bantimurung. Memang, lokasi Ammasangeng ini tak seberapa jauh dari goa prasejarah Leang-Leang, lokasi goa dengan lukisan tangan dan babi rusa. Ada goa-goa lain di sekitar tempat ini yang umumnya merupakan goa prasejarah.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Lukisan tangan pada dinding Leang Jarie di Desa Samanggi, Kecamatan Simbang, Maros, Sulawesi Selatan, Senin (24/9/2019). Menurut arkeolog dan peneliti dari Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, lukisan tangan itu berusia sekitar 39.000 tahun.

Tanah pinjaman

Wallace mengenal Makassar dan kemudian Maros melalui Willem Landeert Mesman yang setahun sebelum Wallace datang sudah berkunjung ke Makassar (September-November 1856). Willem pula yang menemaninya berkunjung ke Gowa dan memberikan rumah di Mamajang (dahulu Mamajam).

Sebelum tinggal di Mamajang, Wallace tinggal selama beberapa hari di Gedung Societeit de Harmoni. Dahulu, gedung ini semacam gedung pertunjukan pada zaman Belanda dan kini menjadi Gedung Kesenian Sulsel. Ada beberapa ruang seperti kamar di gedung ini. Saat menjejakkan kaki di Maros, Wallace datang kepada Jacob David Mathjis Mesman, kakak Willem Landeert Mesman. Di Maros, Jacob tinggal di sebuah rumah besar di antara bukit karst. Dia juga menguasai banyak lahan, di antaranya lahan perburuan dan perkebunan serta peternakan.

Jacob pula yang kemudian meminjamkan lahan kepada Wallace untuk digunakan sebagai tempat tinggal selama di Maros. Tempat di Ammasangeng ini berjarak sekitar 1 mil dari rumah Jacob. Wallace yang memilih tempat ini setelah menolak rumah yang pertama ditunjuk.

Dalam The Malay Archipelago, Wallace menulis alasannya pindah. ”Rumah ini terlalu terbuka, angin dan debu akan mengganggu bila saya bekerja dengan serangga atau kertas-kertas. Siang hari sangat panas. Beberapa hari kemudian saya terserang demam tinggi dan akhirnya membuat saya membulatkan tekad pindah”.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Kupu-kupu jenis Vindula erota mencari makan di kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Maros, Sulawesi Selatan, Kamis (20/6/2019). Di taman nasional yang dijuluki ”The Kingdom of Butterfly” ini tak kurang dari 247 spesies kupu-kupu berhasil diidentifikasi. Naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace, melakukan eksplorasi di kawasan ini dari Agustus hingga November 1857.

Sesungguhnya, selama berada di Maros (Juli-November 1857), Wallacea hanya empat hari di Bantimurung. Di tempat ini dia hanya menemukan enam spesies kupu-kupu. Adapun 232 spesies lain ditemukan dalam area penjelajahan di sekitar Ammasangeng dan pondok tempat dia tinggal.

Secara keseluruhan, selama berada di Maros, Wallace berhasil mengumpulkan 232 jenis kupu-kupu (Lepidoptera) yang terdiri dari 139 jenis Papilionoidea, 70 jenis kupu-kupu malam (moths), dan 23 jenis Hesperiidae (skippers). Data hasil eksplorasinya tercatat dalam Alfred Russel Wallace’s Species Notebook 1855-1859.

Memang, rumah yang dihuni Wallace dahulu dekat dengan sungai berpasir dan tebing dengan beragam tanaman. Di Maros, kupu-kupu umumnya mendapat sumber makanan dari tumbuhan di sekitar tebing dan juga sungai-sungai berpasir. Hal ini kemudian menimbulkan tanda tanya, dari mana istilah ”The Kingdom of Butterfly” yang menjadi ikon Bantimurung berasal. Kerajaan kupu-kupu selalu dikaitkan dengan Wallace, padahal dia tak pernah menulis kalimat itu.

Di luar soal julukan ”Kerajaan Kupu-kupu” yang tak jelas asalnya, fakta tentang bekas lokasi pondok Wallace yang tak lama lagi hilang sudah di depan mata. ”Area sekitar lokasi sudah masuk wilayah izin pertambangan. Jika tak dijaga atau diambil alih pemerintah, kelak tak akan ada lagi bukti sejarah secara fisik yang jadi penanda bahwa Wallace pernah berdiam di sini selain catatannya tentang kupu-kupu dan beragam hewan atau tumbuhan lain,” ujar Budi. (RENY SRI AYU ARMAN/LUKI AULIA)

Artikel Lainnya