Masyarakat Mbojo atau Dau Mbojo yang artinya ”Orang Bima” di Bima, Nusa Tenggara Barat, memiliki kultur dan akar budaya yang kuat. Dari budaya itu muncul nilai-nilai kelokalan yang masih terjaga sampai saat ini. Nilai-nilai itu tersirat dan tersurat dalam setiap karya dan laku warga Bima.
Ramlah (45) meloloskan sejumlah benang dari tenunan kainnya. Dengan cekatan ia menarik kayu pelintang di mesin tenunnya. Dua kali tarikan benang pun tersusun rapi di jalinan tenun. Warna emasnya menghiasi motif bambu muda tenunannya. Menenun sudah menjadi pekerjaan sehari-hari Ramlah. Ia meneruskan tradisi keluarganya sebagai perempuan penenun sejak masih duduk di bangku SMP. Dari tenunannya itu ia tak hanya bisa membantu ekonomi warga, tetapi juga mewarisi pesan nenek moyang.
”Dulu kami diajari menenun dengan sungguh-sungguh. Setiap jalinan benang di dalamnya punya makna. Nggusu waru atau segi delapan yang saya buat, misalnya, memiliki makna sabar. Jadi, saya harus sabar untuk bisa menghasilkan satu kain tenun karena butuh waktu sebulan,” kata Ramlah ketika ditemui di rumahnya, Juli lalu.
Ramlah mendapatkan ilmu menenunnya dari ibu dan neneknya. Kini ia pun mengajarkan menenun kepada anak gadisnya yang masih berusia 15 tahun. Tak lupa ia ajarkan pula berbagai motif dan artinya agar anak gadisnya mengerti betul apa yang ia kerjakan. Tidak hanya Ramlah yang mengenalkan tenun dan motif-motifnya kepada anak gadisnya. Junari Atna pun demikian. Sejak kecil ia malah sudah mengenalkan berbagai motif tenun agar anak mengerti nilai-nilai Bima dalam tenunan kainnya.
”Banyak yang bertanya, mengapa tenun kami tak ada motif binatang. Di kultur kami, yang menganut ajaran Islam, makhluk hidup tak diperkenankan untuk digambar. Kami biasanya hanya menggambar bunga atau motif kotak-kotak. Dalam setiap motifnya ada makna,” tutur Atna.
Motif garis, misalnya, merupakan simbol kelurusan hati dan kejujuran. Adapun motif segi empat atau dikenal sebagai nggusu upa memiliki makna kekeluargaan. Ada pula motif nggusu tolu atau segitiga yang menggambarkan bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Tuhan serta nggusu waru yang menggambarkan delapan syarat kepemimpinan.
Lambang-lambang ini tak hanya muncul pada tenun, tetapi juga di berbagai arsitektur kota. Pintu gerbang Asi Mbojo atau Istana Bima, misalnya, mengadopsi lambang nggusu waru. Atap susun tersebut bersegi delapan. Gerbang nggusu waru itu seolah memberi pesan, setiap pemimpin harus menjaga delapan hal. Kedelapan hal itu adalah iman kuat, ilmu dan wawasan yang luas, berani menegakkan kebenaran dan membasmi kebatilan, punya sifat sabar dan toleran, setia pada janji, kaya lahir batin, dari turunan yang baik, serta gagah lahir batin.
Hasan Abubakar, Ketua Lembaga Adat Desa Maria di Wawo, mengatakan, nggusu waru masih menjadi pedoman hingga kini. Saat pemilihan ketua adat, nggusu waru menjadi patokan calon pemimpin. Pemimpin haruslah memenuhi delapan syarat nggusu waru. Begitu juga saat pemilihan anggota legislatif atau bupati dan wali kota. Hasan yang pernah duduk sebagai anggota DPRD Kabupaten Bima tahu betul bahwa sampai saat ini warga masih memegang kriteria nggusu waru dalam setiap pemilihan pemimpin baru.
Rasa toleransi dan saling menghormati juga terlihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakatnya.
Dalam percakapan sehari-hari Dau Mbojo selalu mengucapkan lembo ade, yang berarti lapang dada atau harap bersabar ketika ada kesalahan ataupun ketidaknyamanan dalam setiap pertemuan.
”Lembo ade semacam permintaan maaf. Jadi kalau saya datang terlambat, saya akan mengucapkan lembo ade. Begitu pula saat ada kejadian yang tak mengenakkan. Saat kata itu terucap, orang Bima biasanya akan luluh,” ujar Alif (25) yang sehari-hari bekerja sebagai penyedia layanan transportasi. Benar saja, selama berada di Bima, tak terhitung kalimat lembo ade yang diucapkan Alif kepada banyak orang dan orang-orang itu pun membalasnya dengan senyum.
Dau Mbojo juga mengenal tradisi mbolo rasa atau musyawarah. Hasan Abubakar dalam catatannya tentang kearifan Mbojo menuliskan tentang mbolo rasa yang diterapkan ketika menghadapi satu persoalan, warga biasanya akan bermusyawarah terlebih dahulu. Musyawarah biasanya diawali dengan anjangsana atau kunjungan dari salah satu pihak dan kemudian disambut pihak lain.
Kerajaan Bima
Nilai-nilai kelokalan Dau Mbojo sudah ada sejak kerajaan Bima berdiri. Naskah Jawharat al-Ma’arif, naskah kuno kerajaan Bima, misalnya, menuliskan tentang sifat-sifat yang harus dimiliki seorang sultan Bima, yang mengerucut pada nggusu waru.
Lebih jelas lagi, nilai-nilai Dau Mbojo ini juga ditulis secara khusus dalam naskah Filsafat Pemerintah Kerajaan Bima. Dalam buku Katalog Naskah Bima; Koleksi Museum Kebudayaan Samparaja, yang ditulis Siti Maryam R Salahuddin dan Mukhlis, isi falsafah, antara lain musyawarah, hukum syariat, ijmak, hingga hukum akaliah, semuanya bersumber dari Al Quran. Sebagai kerajaan Islam, Bima menerapkan ajaran Islam dalam setiap sendi kehidupan warganya.
Terjemahan dari falsafah itulah yang kemudian turun ke kain tenun, arsitektur bangunan, bahkan lambang-lambang kota dan kabupaten. Jangan heran jika saat berkunjung ke Bima, akan ditemukan banyak pesan berbahasa Mbojo. Maja Labo Dahu yang berarti malu berbuat salah, misalnya, terpampang lebar di pintu masuk Kota Bima. Ada pula tulisan Nggahi Rawi Pahu di kompleks uma lengge yang artinya berbuatlah sesuai dengan perkataan. Tulisan-tulisan itu dipasang di tempat-tempat yang bisa dilihat umum seolah ingin mengingatkan agar Dau Mbojo selalu hidup dalam falsafah moyangnya yang luhur. (SIWI YUNITA C/LUKI AULIA/ARIS PRASETYO)