Udara dinginnya pagi masih membekap tubuh, namun Yurika Mutia Ningsih (19) sudah bersiap untuk menembus kebun teh yang ada di kawasan Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu, Sabtu (20/7/2019). Dia tidak sendiri, saat itu ada sekitar 20 pemetik di kelompoknya yang juga melakukan hal serupa. Mereka bersiap memetik rezeki di hamparan hijaunya kebun teh Kabawetan.
Rhama Purna Jati
Kebun teh kabawetan terletak sekitar 65 kilometer dari Kota Bengkulu. Di kawasan tersebut ada sekitar 930 hektar kebun teh yang dikelola oleh dua perusahaan yakni PT Sarana Mandiri Mukti (PT. Kabepe Chakra Grup) dan PT Trisula Ulung Mega Surya.
Sebelum berlaga di lahan kebun teh, Yurika menyantap makanan yang mereka bawa dari rumah terlebih dahulu untuk mengisi tenaga. Yurika menyantap sarapan bersama para pemetik lain yang sebagian besar adalah ibu-ibu. Pagi itu terasa hangat dengan guyonan yang mengundang tawa.
Seusai makan beberapa suap nasi, tempe, dan sayur ubi, Yurika mempersiapkan alat untuk memetik teh seprti waring, karung kemplu (kain yang digunakan untuk mengangkut hasil daun teh). Untuk mencapai tempat pemetikan, Yurika dan pemetik harus berjalan kaki hingga satu kilometer.
Pagi itu, agenda pemetikan adalah memetik daun teh hijau karena di hari sebelumnya, sudah dilakukan pemetikan orange peko (OP). Tanpa dikomando, semua pemetik langsung berada di posisinya dan segera memetik daun teh di hadapannya.
Yurika merupakan pemetik termuda diantara semuanya. Dia tampak ahli memetik daun, tangannya dengan cekatan memetik dan memilah daun teh yang kemudian diletakan ke karung kemplu yang diikatkan di punggunnya. Kain ini baru digunakan dua tahun sebagai pengganti keranjang teh. Demikian juga pemetik lainnya. Sembari memetik, sesekali mereka bersanda gurau, beberapa pemetik lain tampak asik mendengarkan musik.
Sudah dua tahun, Yurika menjalani pekerjaan sebagai pemetik teh atau beberapa bulan setelah dia menamatkan pendidikannya di SMA Negeri 4 Kabawetan. “Daripada tidak bekerja, lebih baik saya memetik teh,” katanya.
Sebenarnya, Yurika pernah bekerja di sebuah toko, namun pekerjaan tersebut tidak dinikmatinya, sehingga dia memilih untuk menjadi pemetik teh. “Ya, ini juga untuk membantuk perekonomian keluarga,” katanya.
Yurika menuturkan tidak ada paksaan dari orangtuannya mengenai pilihannya untuk menjadi pemetik daun teh. “Saya datang sendiri dan meminta untuk bekerja sebagai pekerja daun teh,” tuturnya. Tidak butuh waktu lama untuk belajar, dia hanya butuh satu minggu untuk membedakan jenis daun yang akan dipetiknya.
Yurika tidak sendiri, di ladang yang sama, ibu Yurika, Susi (40) juga menjalani pekerjaan yang sama. Bahkan, ibu dua anak itu, sudah 20 tahun bekerja sebagai pemetik daun teh. Nenek Yurika, Suwarti (60) pun juga demikian, walau tidak secekatan Yurika.
Dalam dua tahun ini, lanjut Yurika hasil yang diperolehnya sekitar Rp 3 juta-Rp 4 juta, tergantung dari musim. Jika cuaca bagus, maka hasil yang diperoleh bisa lebih banyak, sebaliknya jika cuaca tidak mendukung, pendapatan pun akan turun.
Yurika mengaku tidak malu menjalani pekerjaan sebagai pemetik teh. Beberapa teman seangkatannya juga menjalani pekerjaan serupa. Namun, pekerjaan ini bukanlah akhir. “Jika ada pekerjaan yang lebih baik, tentu akan saya jalani,” kata Yurika.
Dalam satu hari, Yurika bisa memperoleh daun teh dari 50 kg-80 kg per hari. Hasil tersebut datang dari dua kali penimbangan di pagi dan sore hari. Berbeda dengan Sarwati, yang rata-rata hanya memperoleh 40 kg per hari. “Semakin tua, daun yang saya petik tidak bisa banyak,” ujarnya.
Dari jauh, Nur Andriliani mengawasi para pemetik dari jauh. Memang tugasnya, sebagai pengawas dari perusahaan PT. Kabepe Chakra Grup. “Itu masih ada yang belum dipetik, “ teriaknya pada salah satu pemetik. “Ambil yang bagus ya,” katanya.
Tugasnya Nur adalah memastikan, daun yang dipetik para pemetik dapat sesuai standar. “Kalau daun yang dipetik bagus, yang dapat untung ya pemetik sendiri,” katanya. Pembayaran para pemetik didasari atas kualitas daun yang dipetiknya. Upah yang diperoleh berkisar Rp 1.250-Rp 1.775 per kg yang paling mahal tentu petik daun OP.
Nur memiliki tanggung jawab untuk mengawasi 41 pemetik, dengan luas wilayah garapan kebun teh mencapai 31 hektar. Dialah yang mengatur pasukannya untuk melakukan pemetikan sesuai dengan kondisi tumbuh daun. “Kami akan berkeliling sesuai dengan kondisi daun. Biasanya, pemetik akan kembali ke area yang sama setiap 10-15 hari sekali,” katanya.
Selain mengawasi proses pemetikan, Nur juga bertugas untuk mencatat hasil petikan yang diperoleh. Tak heran buku catatan selalu ia bawa untuk memantau hasil petikan dari setiap pemetik yang berada di dalam pengawasannya.
Selain itu, Nur juga menjadi penghubung antara perusahaan dengan pemetik. “Pemetikan harus didasari juga atas permintaan dari perusahaan,” katanya. Pekerjaan sebagai pengawas sudah dia geluti sejak 30 tahun lalu. Rasa kekeluargaan antara dirinya dengan pemetik juga terjalin. “Mereka (pemetik) sudah seperti saudara,” katanya.
Nur sendiri merupakan anak dari seorang pemetik teh, Taginem (86). Dia menjadi pemetik teh di Kebun Teh Kabawetan pada tahun 1950. Dia meneruskan pekerjaan orangtuanya yang didatangkan dari Solo, Jawa tengah untuk memetik teh di Kabawetan pada tahun 1930. Mereka datang bersama pekerja lain dari Jawa Barat dan Jawa Timur. “Kami tinggal di bedeng yang disediakan oleh Belanda untuk para pekerja,” katanya.
Perkebunan teh sempat terlantar saat Jepang memasuki Indonesia pada tahun 1942-1945. Saat itu, kebun teh tidak menjadi prioritas, karena pemerintahan Jepang memilih untuk menanam komoditas lain seperti singkong, kacang, jagung, dan tanaman hortikulutra lain.
Seusai, Jepang terusir dari Indonesia, pemerintah Belanda berusaha ingin masuk kembali ke Kepahiang.Saat itu, kata Tuginem, pada tahun akhir 1948 tepatnya saat Agresi Militer II Belanda di Indonesia , ada pembumihangusan sejumlah bangunan vital termasuk bedeng dan juga pabrik milik Belanda di Kabawetan.
Tujuannya agar Belanda tidak lagi masuk ke Kepahiang. “Kondisi saat itu sangat menakutkan, kami tidak jarang harus keluar masuk hutan,” ujar Tuginem. Ketika Tuginem mulai memetik pada tahun 1950, kondisi pohon teh sangat tidak terawat. “Tinggi pohon mencapai dua meter. Saat itulah dilakukan pembersihan sehingga, pohon teh kembali baik,” katanya.
Camat Kabawetan Suurdi menerangkan, keberadaan kebun teh ini sudah membuka lapangan kerja bagi warga sekitar. Dari 13.000 penduduk yang tinggal di Kecamatan Kabawetan, sekitar 1.600 orang bekerja sebagai pemetik. Jumlah itu belum termasuk pemelihara dan juga mandor. Sisanya, merupakan petani dari sayur mayur, kopi dan komoditas lainnya.
Suurdi menerangkan, kebanyakan pemetik memang berasal dari pulau Jawa, mereka merupakan keturanan dari pemetik dari pegawai kontrak yang dibawa oleh Pemerintah Belanda ketika kebun ini dibuka pada tahun 1923. Suurdi mengatakan, untuk mengembangkan perekonomian masyarakat, kebun ini digunakan juga untuk kepentingan pariwisata. “Dengan begitu perekonomian masyarakat sekitar juga akan lebih baik,” katanya.
Hamparan kebun teh Kabawetan, tidak hanya menjadi tempat bercocok tanam, namun juga menjadi sejarah perjalanan hidup masyarakatnya dari generasi ke generasi. Banyak hal yang dapat dipetik dari kisah para pemetik teh ini.