Kebun teh banyak menyimpan cerita tentang manusia. Begitu juga dengan perkebunan teh di kaki Gunung Dempo, Pagar Alam, Sumatera Selatan. Di lereng Gunung Dempo bersemai nilai-nilai toleransi dan belas kasih. Persaudaraan tumbuh tanpa pagar di Pagar Alam.
Mohammad Hilmi Faiq
Pada suatu sore di akhir tahun 2005, Jhon Sri (48) berdandan rapi sepulang dari perkebunan teh. Baju dengan garis licin setrika membalut badannya, sementara peci hitam menutupi kepalanya, menambah rasa percaya diri. Begitu duduk di atas jok dan tangannya memegang setang, suara mesin sepeda motor GL 100 segera menderu. Jhon Sri meninggalkan rumah di Kampung I di lereng Gunung Dempo untuk menghadiri undangan resepsi pernikahan anak rekannya di Kampung Talang Bedug, di sisi bawah perkebunan.
Para pekerja kebun teh ini mencapai 1.000 orang dan tinggal di enam perkampungan atau emplasemen berbeda, yakni Kampung I (talang Darat), Kampung II (Air Perikan), Kampung IV (Muara Abadi), Kampung Planting, Kampung Talang Bedug, dan Dusun Janang. Mereka hidup berdampingan antarsuku di tiap-tiap kampung itu. Mayoritas atau sekitar 85 persennya adalah orang Jawa. Para pegawai perkebunan biasa menggelar hajatan pada jam-jam setelah pulang kerja.
Seperti biasa, Jhon Sri, yang waktu itu masih sebagai staf administrasi keuangan Afdeling 3 PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII, mengendarai sepeda motornya dengan santai. Namun, ketika melewati salah satu tikungan sekitar 3 kilometer dari rumahnya, setang sepeda motornya disenggol truk saat Jhon Sri menghindari pengendara sepeda motor lain. Keseimbangan Jhon Sri goyah, dia jatuh terpelanting. Setelah itu, gelap. ”Tahu-tahu saya sudah ada di rumah sakit,” cerita Jhon Sri pada pertengahan tahun lalu.
Jhon Sri dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Besemah, Pagar Alam, selama sepekan. Kaki kirinya patah dan harus dikekang gips selama tiga bulan. Sepeda motornya? Sudah tidak karuan. Ringsek, dan roda depannya membentuk angka delapan. Setelah dirawat di Pagar Alam, dia dirujuk ke RSUD Lahat hingga sembuh.
Ketika Jhon Sri tak berdaya di rumah sakit itu, keluarganya berdialog dengan pihak penabrak. Ia tak lain ialah anak buah seorang saudagar, Sukirman, orang Jawa.
Sukirman paham betul nilai-nilai yang harus dikedepankan ketika terjebak dalam musibah yang menimpa Jhon Sri. Dia bersedia menanggung seluruh biaya pengobatan, termasuk kerusakan sepeda motor Jhon Sri. Bahkan, biaya perawatan Jhon Sri oleh ahli patah tulang juga dia tanggung.
Beberapa bulan kemudian setelah Jhon Sri benar-benar sehat, Sukirman mengundang keluarga Jhon Sri untuk makan bersama di rumahnya. Bukan sekadar makan-makan, di dalamnya terdapat prosesi pengukuhan kekerabatan.
Sukirman mengangkat Jhon Sri menjadi anak dan dengan demikian dia menjadi ayah angkat Jhon Sri. Sejak itu seluruh emosi atau dendam yang barang kali sempat menyusupi hati hilang, berganti rasa persaudaraan. Prosesi ini disebut tepung tawar.
Jhon Sri, yang kini menjabat sebagai mandor di Afdeling 3 PTPN VII, tidak pernah marah atau dendam karena bagi dia jodoh, rezeki, dan mati itu rahasia Ilahi. Bagi Jhon, ini murni kecelakaan biasa. Kalau dia dendam, malah tak akan pernah selesai masalah ini. Ia bisa lebih tersiksa hati. ”Kalau marah-marah, tidak habis-habis. Akhirnya dendam terus. Marah cuma sebentar. Sudah bermaafan, ya sudah,” kata Jhon Sri.
Bagian dari kearifan
Sikap memaafkan tersebut Jhon Sri pelajari dari mendiang ayahnya yang selalu berpesan agar tidak mudah marah. Menjadi orang juga harus mudah memaafkan. Jhon Sri berjanji kepada ayahnya, juga kepada diri sendiri, untuk memenuhi pesan ayahnya. Sebagai orang suku Besemah (ada yang menyebut Basemah), dia meneladani pepatah janji nunggu, kate betaruh (janji ditepati, kata dipertaruhkan). Maknanya, pantang bagi Jhon Sri untuk bersikap yang bertolak belakang dengan janjinya tadi.
Jhon Sri memahami bahwa hidup di tengah banyak orang, banyak suku, harus mengedepankan persaudaraan. Di kebun teh, dia bertemu dengan orang Jawa dan Sunda yang sama-sama bekerja sebagai pegawai atau buruh petik. Dia kagum dengan orang- orang Jawa dan Sunda yang demikian ulet, telaten, dan hampir tak pernah mengeluh meski keadaan susah.
Dia mengenal banyak pegawai Jawa yang bertahun-tahun bertahan sebagai buruh borong, lalu kontrak, dan baru delapan atau sembilan tahun kemudian menjadi pegawai. Dari mereka, Jhon Sri belajar tentang sabar dan syukur. ”Mereka pun ringan tangan membantu. Sama dengan orang kita, Besemah,” ujar Jhon Sri.
Falsafah yang diungkapkan Jhon Sri dalam masyarakat Besemah terangkum dalam ungkapan sembawi pengarang rakit timbul tenggelam same-same, seperti rotan untuk mengikat rakit timbul tenggelam sama-sama. Maknanya, dalam hidup harus rela susah dan senang bersama.
Keterbukaan dan sikap egaliter orang-orang Besemah seperti yang diterapkan Jhon Sri tadi itu juga dijalani orang- orang Besemah lain di perkebunan teh. Wita (35), warga di Kampung I, misalnya, menilai tidak ada sekat kultural ataupun primordial dalam hubungan antarsuku di Pagar Alam. Warga biasa saling menolong dan rukun.
Wita lahir dari rahim ibu berdarah Jawa, sementara ayahnya asli dari Besemah. Adapun Wita sendiri menikah dengan orang Sunda. Dengan kata lain, Wita gambaran utuh simpul-simpul harmoni hubungan sosial antarsuku di Pagar Alam, terutama di perkebunan teh lereng Gunung Dempo.
Warisan leluhur
Budayawan Sumatera Selatan, Yudhy Syarofie, mengungkapkan, sifat terbuka orang-orang Besemah itu warisan leluhur karena mereka terbiasa hidup dalam budaya egaliter. Dulu, pada masa Kesultanan Palembang, suku Besemah masuk wilayah Sindang, yakni kelompok yang dianggap sebagai saudara sultan. Mereka hidup di daerah- daerah perbatasan yang tidak wajib membayar upeti. Namun, saat musuh datang, mereka maju terdepan.
Selain Besemah di Pagar Alam, suku lain di Rawas, Komering Ulu, Empat Lawang, dan Lintang adalah suku yang hidup dalam wilayah Sindang tersebut. ”Sebagai orang yang hidup di perbatasan, mereka sangat keras. Namun, kesetiakawanannya tinggi,” kata Yudhy.
Kesetiakawanan yang dimaksud Yudhy, ketika orang Besemah sudah ”klik” dengan orang lain, mereka rela mengorbankan apa saja. Ibaratnya, isi perutnya pun akan diberikan. Dalam konteks hubungan antarsuku di Pagar Alam, tampaknya mereka sudah ”klik” dengan orang Jawa dan Sunda yang mayoritas menjadi pegawai kebun teh di sana.
Sudarni (44), buruh petik teh berdarah Jawa, mengatakan, orang Besemah tidak ada bedanya dengan orang Sunda atau Jawa pada umumnya. Ketika ada pegawai kebun yang sakit atau kesusahan, semua membantu. Dia pernah disumbang beras 5 kilogram oleh orang Besemah ketika tidak bisa kerja karena sakit selama sepekan. Ini sesuai dengan ungkapan Yudhy tadi, bahwa isi perut pun bakal diberikan kalau sudah ”klik”.
Sementara itu, arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, menduga bahwa orang-orang Besemah terbiasa bekerja sama sejak zaman megalitikum. Membuat patung-patung megalitikum itu tak mungkin dikerjakan seorang diri, pasti bersama-sama. ”Tanpa kerja sama yang baik, tidak mungkin mereka meninggalkan situs megalitikum yang demikian agung,” ujarnya.
Orang Jawa dan Sunda ini sudah didatangkan ke lereng Gunung Dempo sejak akhir abad ke-19 ketika Belanda menanam kopi robusta. Jumlah orang Jawa dan Sunda semakin melimpah ketika pada 1929 Belanda mendirikan perkebunan berikut pabrik teh di sana. Dengan kata lain, hubungan antara orang Besemah dan suku pendatang sudah teruji hampir satu abad. Kearifan-kearifan nilai orang Besemah mengkristal ketika bersentuhan dengan suku lain.
Artinya, dengan mendatangkan orang Jawa dan Sunda, perkebunan teh memiliki andil dalam menguji kearifan tersebut. Kebun teh turut menyemai dan menyuburkan nilai-nilai toleransi. Persaudaraan tumbuh tanpa pagar di Pagar Alam.