Sunarno (30) tampak sibuk memasak air aren di rumahnya di Desa Air Meles Atas, Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Air sebanyak 30 liter itu diambil dari sembilan pohon aren yang tumbuh tidak jauh dari rumahnya. Air itu nantinya menghasilkan gula aren.
Tiap hari sebagian besar masyarakat di desa ini selalu memproduksi gula aren. Tiap hari pula para tengkulak langsung membelinya dengan harga lumayan tinggi sehingga kami bersemangat memproduksinya,” kata Sunarno.
Para tengkulak membeli gula aren di tingkat produsen saat ini seharga Rp 8.500 per kilogram. Harga ini jauh lebih murah dari awal Januari 2010 yang mencapai Rp 12.500 per kilogram.
Dari harga Rp 8.500 per kilogram itu, tengkulak memasarkan ke pengepul sekitar Rp 9.200 per kilogram. Pengepul kemudian mengangkut ke pasar-pasar di kota besar serta memasarkan kepada pedagang setempat seharga Rp 10.000-Rp 10.500 per kilogram tergantung jarak tempuh.
Gula aren dari daerah tidak tidak hanya dipasarkan di Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Bahkan, permintaan secara rutin selalu datang dari Kota Bengkulu, Palembang, Jambi, Jakarta, dan kota lain di Jawa.
Dikendalikan tengkulak
Sejauh ini harga gula aren di Rejang Lebong selalu dikendalikan tengkulak serta pengepul, sedangkan produsen, yakni petani, cenderung pasrah. “Saat datang membeli, tengkulak selalu bilang sekarang harga gula aren sedang turun. Jadi harga di tingkat produsen hanya Rp 8.000 per kilogram, misalnya. Karena tak punya informasi lain, kami pun mengikuti saja dan pasrah dengan harga yang ditentukan tengkulak,” ujar Sunarno.
Ini terjadi karena produsen tidak pernah bersatu dalam menghadapi permainan tengkulak dan pengepul. “Mungkin kami tidak punya organisasi dan para produsen gula aren di Curup pun umumnya berpendidikan rendah sehingga kurang kompak. Kalau kami punya organisasi atau koperasi, harga gula aren di tingkat petani bisa lebih tinggi lagi. Bahkan, kami juga bisa belajar membuat gula semut yang harganya lebih mahal,” ujar Sunarno. Harga gula semut di tingkat produsen rata-rata Rp 15.000 per kilogram.
Akan tetapi, Sumarno (54), tengkulak gula aren di Rejang Lebong, menilai mata rantai pemasaran yang panjang memicu harga gula aren di tingkat produsen fluktuatif. “Kalau pedagang di tingkat akhir menyatakan harga gula aren hari ini turun, otomatis penurunan harga akan berlaku ke bawah hingga tengkulak dan produsen. Jika mata rantai pemasaran pendek, harga di tingkat produsen takkan terlalu rendah,” jelas Sumarno yang juga memproduksi gula aren.
Dia menyarankan pemerintah setempat memikirkan produk ikutan dari gula aren. Produk itu harus diolah di Curup agar mata rantai pemasaran dari produsen gula aren tidak terlalu panjang sehingga harga beli pun lebih tinggi.
Meski bukan menjadi sumber nafkah utama, bagi sebagian petani di Rejang Lebong membuat gula aren menjadi kegiatan rutin harian. Komoditas andalan mereka adalah kopi, tapi kopi baru dipanen enam bulan sekali.
“Jika kami bisa memproduksi gula aren 20 kilogram per hari, berarti kami sudah mendapat penghasilan Rp 170.000 per hari. Ini lumayan untuk membeli makanan dan kebutuhan pokok lainnya,” jelas Sunarno (30), petani kopi yang memiliki 200 pohon aren.
Perlu peremajaan
Selama ini volume produksi gula aren di Rejang Lebong rata-rata 13 ton per hari. Komoditas itu paling banyak diproduksi Air Meles, Sindang Jati dan Pala Curup. Di wilayah Air Meles, misalnya, volume produksi 4,5 ton-5ton per hari dihasilkan oleh sekitar 600 usaha kecil.
Dibandingkan dengan jumlah areal tanaman pohon aren di Air Meles seluas 285 hektar, volume produksi itu tergolong rendah. Kurangnya produktivitas dipicu usia tanaman pohon aren saat ini yang umumnya 20- 25 tahun.
“Usia produksi pohon aren maksimal 25 tahun. Setelah itu, pohon perlahan-lahan mati. Jadi, kalau kita menginginkan produksi gula aren dari Rejang Belong tetap stabil dan berkesinambungan, tak ada pilihan lain kecuali mulai sekarang harus dilakukan peremajaan,” kata Suwadi (52), petugas penyuluh lapangan Badan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Setiap pohon aren pada usia sembilan tahun akan tumbuh mayang (bunga awal). Melalui mayang diproduksi air yang nantinya diambil petani guna dimasak menjadi gula.
Pertumbuhan mayang pada batang pohon aren selalu menurun. Semakin dekat ke tanah, pertanda masa produksi hampir habis. “Sekarang banyak pohon aren yang pertumbuhan mayang sudah mendekati tanah. Berarti, tidak lama lagi pohon aren yang ada sulit berproduksi,” tegas Suwadi.
Itu sebabnya, peremajaan jadi harga mati. Kegiatan itu harus dilakukan sejak sekarang jika menginginkan tidak terjadi krisis bahan baku dalam produksi gula aren di waktu mendatang.
Namun, persoalan yang bakal timbul adalah dari mana petani mendapatkan bibit pohon aren dalam jumlah banyak untuk peremajaan? Itu sebabnya, menjadi kewajiban pemerintah untuk memikirkan masalah ini sebab kesuksesan petani dalam meremajakan pohon aren otomatis memberikan nilai tambah bagi daerah.