Keindahan panorama Kawah Kaba memang tidak diragukan sehingga setiap bulannya ratusan orang datang mendaki gunung Bukit Kaba untuk menyaksikan panorama Kawah Sumur dan Kawah Belerang yang sama-sama aktif itu. Selain pemandangan kawahnya, panorama alam di sekeliling puncak Kaba pun sangat mempesona.

Liputan Kompas Sumbagsel

Jelajah Musi 2010: Diperdaya Keindahan Bukit Kaba

·sekitar 3 menit baca

Kulit tergores dahan pohon, celana dikotori lumpur, dan napas hampir putus ketika kami tiba di puncak Taman Wisata Alam Bukit Kaba, di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Kami diperdaya keindahan bukit itu, namun sebaiknya memang tak berjibaku menuju ke lokasi di ketinggian 1.936 meter di atas permukaan laut itu.

Kami berangkat menuju puncak Bukit Kaba, berbekal informasi positif. “Menuju puncak Bukit Kaba dapat naik mobil. Perjalanannya mudah, tempatnya bagus dapat langsung lihat kawah,” kata seseorang di Warung Pindang Patin di Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.

Kami pun melesat, meninggalkan Curup lewat jalan nasional ke arah Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Lalu 15 kilometer dari Curup, berbelok kanan di Desa Sumber Urip setelah bertanya berulang kali karena tiada papan petunjuk arah. Setelah itu, di jalan desa itu, kami kembali harus bertanya supaya tak tersesat.

Lalu perjalanan memburuk, setelah mobil kandas di jalan desa yang berlubang kira-kira sepanjang lima kilometer dari puncak Bukit Kaba. “Dulu jalan ini bagus, lalu rusak oleh truk pengangkut sayur,” kata M Yusuf, warga Karang Jaya, Kecamatan Selupu Rejang.

Mobil pun diparkir di tepi jalan, lantas melaju dengan motor ojek sewaan. Tarifnya Rp 60.000 pergi-pulang. Meski jalan rusak, motor bisa dikebut. Bahkan karena aspal berlumut, tiga kali motor jatuh di tepi jurang sedalam ratusan meter. Dua kali pula, kami mendorong motor melewati longsoran. Akhirnya, kami tetap jalan kaki ke puncak karena longsoran terakhir ini menutup badan jalan.

Infrastruktur buruk

Bukit Kaba sangat berpotensi menjadi tempat wisata andalan. Indahnya Bukit Kaba sebanding dengan Gunung Bromo di Jawa Timur dan Gunung Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Kawah vulkanik menjadi pemandangan andalan.

Jika di Gunung Bromo terdapat ratusan anak tangga menuju puncak, di Bukit Kaba juga ada “tangga seribu” untuk mencapai bibir puncak kawah. Dari puncak Bukit Kaba, terhampar pula pemandangan Rejang Lebong dan ibu kotanya, Curup, kota kopi itu.

Ada kalanya, kabut tebal menutup pemandangan ke hamparan kebun- kebun kopi. Kabut disertai hawa dingin adalah sebuah sensasi tersendiri bagi setiap wisatawan.

Oleh karena itu, ketika Gunung Bromo dan Tangkuban Perahu berjaya, mengapa Bukit Kaba meredup? Titik lemahnya adalah buruknya infrastruktur, tidak adanya angkutan massal seperti opelet atau mobil travel, tiada promosi, serta gagalnya membentuk pusat pertumbuhan ekonomi baru.

Dulu, mobil bergardan ganda dapat mencapai puncak, kini naik motor pun sulit. Jalan aspal selebar 3-4 meter itu masih ada, tapi tertutup semak belukar dengan hanya menyisakan 20 sentimeter aspal. Singkat kata, bukit itu sangat ditelantarkan.

Jangankan promosi di mancanegara, untuk menuju Bukit Kaba dari Curup saja, wisatawan kerap tersesat. Padahal andai kata Bukit Kaba mudah dijangkau dan ramai, tak mustahil penduduk di desa-desa terdekat beroleh manfaat ekonomi. Penduduk dapat membuka restoran, menyewakan kamar (home stay), menjual cendera mata, atau sekadar menjadi pemandu wisata.

Mengapa pula, tidak terpikir mendirikan kafe-kafe di puncak Bukit Kaba dengan sajian utama kopi Rejang Lebong? Kafe menjadi penting karena walaupun bangga hidup di sentra kopi, penduduk setempat sulit mencari kedai kopi “yang layak” di Curup. Ini sangat ironis.

Mungkin, “pembiaran” terhadap Bukit Kaba dipicu kepemilikan Hutan Wisata Bukit Kaba seluas 13.490 hektar di tangan pemerintah pusat. Boleh jadi, karena tak merasa memiliki, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Rejang Lebong tak memedulikannya, seolah kawasan tersebut takkan memberikan manfaat ekonomi sedikit pun bagi masyarakat setempat.

Padahal, andai kata pemerintah kabupaten setempat jeli, cukup dibangun infrastruktur dasar yang baik seperti jaringan jalan, jaringan air minum, hingga menara telekomunikasi sehingga sinyal mudah di dapat. Toh, jika infrastruktur dasar memadai, akan ada pihak swasta yang membangun berbagai fasilitas pendukung di kawasan penyangga Bukit Kaba.

Ketika klaster ekonomi baru tumbuh di kawasan tersebut, otomatis ada pemasukan bagi daerah dari pajak, pemkab terbantu dengan potensi penyerapan tenaga kerja. Infrastruktur sesungguhnya adalah gula dan investor menjadi semutnya. (HARYO DAMARDONO)

 

 

 

Artikel Lainnya