Sejumlah situs sejarah penting dari peradaban Sriwijaya, seperti Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Situs Karanganyar, dan Situs Bukit Siguntang, saat ini kondisinya memprihatinkan karena terbengkalai. Untuk membenahi tanpa menghilangkan maknanya, dibutuhkan komitmen, dana, dan keterlibatan pakar serta pemerhati sejarah budaya.
Saat melangkahkan kaki memasuki Museum Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Kamis (25/2), tampak sebongkah batu persegi panjang tergeletak di samping pintu masuk. Batu berukuran 56 x 17 sentimeter itu sekilas hanya terlihat sebagai onggokan batu tak berarti.
Namun sebenarnya, batu itu merupakan prasasti bernilai sejarah tinggi karena berasal dari abad VII Masehi semasa era Kerajaan Sriwijaya.
Menurut arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, tulisan Palawa atau Melayu Kuno yang tertera di permukaan batu tidak lagi utuh menceritakan soal peperangan.
“Mengutip kajian de Casparis dalam Prasasti Indonesia II, maknanya. Tidak tahu berapa banyak yang berperang.. Banyak darah yang tertumpah. Merah (oleh darah) penduduknya,” kata Budi.
Prasasti seperti ini tergolong langka karena menceritakan kisah peperangan. Biasanya, sebuah prasasti bercerita tentang sumpah setia.
Dengan mempertimbangkan penjelasan tersebut, sungguh sayang karena harus menyaksikan aset berharga dari Kerajaan Sriwijaya dibiarkan telantar. Perasaan miris makin menjadi-jadi setelah Budi menjelaskan bahwa prasasti itu belum diinventarisasi pemerintah.
Pada tahun 1928 silam, prasasti ini ditemukan di Bukit Siguntang, Kelurahan Bukit Lama, Ilir Barat I, Palembang, saat dilakukan penggalian tanah untuk pembangunan jalan di kaki bukit. Penemuan terjadi tak lama setelah ditemukan aset sejarah penting lainnya meliputi Arca Buddha, Bodhisattwa, dan Jambhala.
Satu dasawarsa kemudian, ditemukan satu lagi prasasti yang kemudian disimpan di Museum Nasional bersama-sama potongan kepala Arca Buddha Sakyamuni. Prasasti Bukit Siguntang yang sampai sekarang belum diidentifikasi ini pernah tersimpan di dalam gedung tua berlokasi di depan Museum TPKS.
“Dua tahun lalu, prasasti dipindah ke pelataran Museum TPKS bersama-sama benda sejarah lainnya seperti makara Jambi, lapik atau tempat dudukan arca, dan arca gajah dari Muaro Jambi,” kata Budi.
Menurut Nurhadi, sejak tahun 1990, Museum TPKS dirancang sebagai pusat informasi Sriwijaya. Ide pendirian gedung pusat informasi Sriwijaya sebenarnya lebih dulu timbul dibandingkan dengan Pusat Informasi Majapahit yang saat ini dibangun di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
“Untuk itu, perlu ada tokoh yang mendorong agar rencana pembangunan TPKS segera diwujudkan,” ungkapnya.
Keberadaan TPKS sangat penting mengingat Sriwijaya adalah kerajaan maritim yang wilayahnya meliputi kawasan Asia Tenggara bahkan sampai ke Madagaskar. Armada kapal angkatan laut Sriwijaya menguasai jalur perdagangan Asia Tenggara. Sriwijaya juga menjadi pusat agama Buddha.
Bukit Siguntang
Kondisi memprihatinkan juga terlihat saat mengunjungi Bukit Siguntang. Hal itu terlihat antara lain dari jalan menuju lokasi makam dan bangunan utama yang dipenuhi lumut. Jika tidak hati-hati, pengunjung bisa tergelincir. Di sekeliling bukit, rumput ilalang tumbuh subur, pertanda situs tersebut nyaris tak terurus.
Menurut Budi, sungguh sayang apabila tempat bersejarah seperti Bukit Siguntang, yang menjadi simbol utama Kerajaan Sriwijaya, memiliki nasib yang tidak seharum namanya pada zaman dahulu.
Di tempat itu ditemukan berbagai peninggalan sejarah penting seperti Arca Budha Sakyamuni berukuran besar yang mengenakan jubah. Kini, arca disimpan di Museum Badaruddin II. Sebelumnya, tubuh badan dan kepala arca ini terpisah. Kepala ditemukan lebih dulu dan disimpan di Museum Nasional, sementara badan disimpan di Museum Badaruddin.
Ketua Majelis Buddhayana Indonesia Sumatera Selatan Darwis Hidayat miris dengan kondisi itu. Dia mengaku pernah berinisiatif membangun sendiri tempat sembahyang. Namun, gagasan ini diambil pemerintah dan jadilah tempat sembahyang seperti yang ada sekarang ini.
Budi Utomo juga menyayangkan munculnya dua bangunan pendukung yang difungsikan sebagai pelataran istirahat. Bangunan itu justru merusak keasrian situs. Ia pun mengusulkan agar Arca Budha Sakyamuni dikembalikan ke tempatnya semula di Bukit Siguntang demi menjaga kelestarian sekaligus kesakralan lokasi situs.