Sumono (35) mengangkat segayung air dan menunjukkan air berwarna kecoklatan dari bak kamar mandi rumahnya. Di dasar bak, tampak endapan lumpur setebal 15 sentimeter.
Air ini yang sehari-hari kami pakai. Kami menyedot dari Sungai Citanduy,” kata Sumono, nelayan Kampung Majingklak, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Ciamis, Jawa Barat.
Untuk mengurangi pekatnya warna lumpur, Sumono melarutkan tawas ke air dalam bak. “Walau tak secoklat sebelumnya, air ini tak bisa bening, padahal sudah diberi tawas,” ujarnya.
Sumono adalah satu dari sekitar 100 warga Majingklak yang bergelut dengan masalah air bersih.
Majingklak adalah perkampungan nelayan di bagian timur Ciamis. Daerah itu semula merupakan urat nadi transportasi cukup penting, yaitu penyeberangan penumpang dan barang dari Ciamis ke Cilacap, Jawa Tengah. Karena pendangkalan Sungai Citanduy, kapal besar kini tak bisa lagi melayani penyeberangan. Pelabuhan penyeberangan yang dibangun dengan dana miliaran rupiah itu kini mangkrak.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih, ada dua alternatif yang bisa dilakukan warga Majingklak, yaitu menyedot air dari Sungai Citanduy atau mengangkut air dari Pulau Nusakambangan.
Keduanya membawa konsekuensi berbeda. Jika menyedot air Sungai Citanduy, biaya yang dikeluarkan tak terlalu banyak. Hanya perlu membeli bensin untuk mesin pompa. Dalam sepekan, paling-paling dibutuhkan bensin sekitar 4 liter. Tapi hasilnya, hampir setengah bak penampungan berisi lumpur setelah air diberi larutan tawas.
Sebaliknya, jika mengangkut air dari Pulau Nusakambangan, perlu biaya sedikitnya Rp 50.000 untuk menyewa perahu pergi dan pulang. Air sebanyak 2.000 liter yang bisa diangkut menggunakan perahu kecil bermesin tempel itu hanya cukup untuk kebutuhan rumah tangga sekitar seminggu.
Cara ini memerlukan perjuangan keras karena perahu harus menyeberangi muara Citanduy yang luas. Saat perahu kecil dipenuhi muatan air, gerakan sedikit saja bisa membuat perahu oleng dan terbalik. Padahal, kedalaman air di tengah muara bisa sekitar 5 meter.
“Kalau musim kemarau, makin susah mendapat air bersih. Sering kali kami harus menginap semalam di sumber air di Nusakambangan untuk mengantre,” kata Haryanto (41), warga Majingklak.
Air Sungai Citanduy berwarna coklat pekat karena kandungan lumpurnya tinggi. Saat musim kemarau, kandungan lumpurnya sekitar 25 persen. Pada musim hujan, kandungan lumpurnya bisa mencapai 40 persen.
Untuk minum dan memasak, setidaknya diperlukan empat galon air per minggu. Harga air Rp 5.000 per galon. Hal itu benar-benar terasa membebani nelayan dan pengojek perahu yang penghasilannya minim.
Tak menentu
Sumono menuturkan, penghasilan sebagai nelayan tak menentu. Kadang kala nelayan bisa membawa pulang ikan hingga 40 kilogram dari hasil melaut semalam. Ikan itu bisa dijual seharga Rp 10.000 per kilogram. Pendapatan tersebut lalu dipotong untuk biaya bensin dan bekal melaut sebesar Rp 100.000. Sisanya dibagi berdua dengan rekan melaut. Jadi, masing-masing mendapat Rp 150.000. Namun, kadang kala mereka tak mendapat ikan sama sekali.
“Kalau dipukul rata, pendapatan kami sekitar Rp 40.000 per hari,” kata Sumono.
Warga sudah berulang kali mengeluhkan kondisi mereka kepada pemerintah. Saring (29) mengatakan, pernah ada bantuan tangki dan pasokan air, tetapi tidak berlanjut.
Sekretaris Desa Pamotan Utoh menuturkan, sebenarnya ada mata air di bukit yang berada di dalam hutan yang dikelola oleh Perhutani. Jaraknya sekitar 4 kilometer dari permukiman penduduk.
“Sumber air ada. Perhutani juga sudah mengizinkan kami untuk memanfaatkan. Tapi, kami terhambat jarak. Butuh pipa sepanjang 4 kilometer untuk mengalirkan air dari sumber air ke permukiman,” kata Utoh.
Biaya untuk membeli 4 kilometer pipa mungkin tak ada artinya bagi yang memiliki dana cukup. Tapi, bagi nelayan Majingklak, biaya itu terasa jauh dari jangkauan. Mereka juga harus membangun penampungan air sebelum dibagikan ke tiap rumah. Kini mereka menunggu bantuan sederhana untuk hal yang sangat berguna bagi warga.