“Coba beri contoh kata yang dimulai dengan huruf k,” kata seorang guru SMA di Nabire kepada murid-muridnya. Segera seorang siswa yang berasal dari pedalaman mengangkat tangan. Dengan penuh percaya diri, ia menyebutkan, “Wujud!” Sang guru tersenyum dan menghampiri papan tulis. Dituliskannya huruf w.
“Ini huruf apa?” tanyanya kepada siswa tadi. “Huruf k,” jawab si murid lantang.
Tanpa membuat perasaan si murid bersalah, Pak Guru selanjutnya meminta siswa lain menuliskan contoh kata yang diawali dengan huruf k ke papan tulis dan ditemukanlah contoh yang benar. Selanjutnya sang guru dengan sabar membimbing siswa asal pedalaman itu untuk mengenali huruf-huruf sehingga dia mengetahui bahwa huruf pertama dari kata yang diucapkannya tadi adalah huruf w.
Tidak hanya itu. Sang guru ternyata kesulitan mengajari muridnya memahami kata-kata tertentu. “Banyak yang tidak tahu perbedaan kata membela dengan membelah, dan gigi dengan gigih,” kata Pak Guru kepada tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 pertengahan Agustus lalu.
Di Papua memang cukup banyak masyarakat yang menghilangkan huruf h saat melafalkan kata yang berakhiran huruf h. Kata bagaimanakah, misalnya, diucapkan bagaimanaka.
Selain itu, kata-kata yang berakhiran huruf n biasanya mereka lafalkan dengan menambahkan huruf g. Kata ikan, misalnya, diucapkan ikang. Sebaliknya, huruf g pada kata dengan bunyi sengau (ng) dihilangkan sehingga kata panggang dilafalkan panggan.
Itulah sekilas peristiwa di daerah Nabire, Papua. Karena itu, tak perlu heran kalau setiap pulang sekolah, seperti yang berlangsung siang itu, Kepala SMA Adhi Luhur, Pater Mudji Santara SJ, berdiri di depan pintu gerbang sekolah, menjabat tangan setiap siswa, dan mengatakan dengan jelas dan tegas, “Selamat siang.” Menanggapi itu, setiap siswa akan menyahut “Selamat siang” dengan tepat. Kalau ucapannya kurang pas, siswa itu diwajibkan mengulanginya sampai Pater Mudji mengatakan, “Ya, itu sudah tepat.”
Pemaknaan
Hal yang menjadi masalah adalah pemaknaan kata. Dalam kelas bahasa Indonesia, misalnya, seorang anak kesulitan membuat kalimat dengan kata dasar gaul. Setelah berpikir cukup lama, ia mengatakan, “Saya menggauli teman-teman!”.
Sontak kelas pun riuh di tengah kekecewaan si anak tadi. Lalu sang guru menghampirinya dan menanyakan apakah ia tahu perbedaan arti kata bergaul dan menggauli. Si murid dengan polos mengatakan, “Menggauli berarti berkawan dengan teman-teman sekelas.”
Setelah sang guru menjelaskan arti kata menggauli yang benar, si siswa tersipu-sipu malu.
Selama mendampingi anak-anak belajar, Pater Mudji Santara mengatakan bahwa pada umumnya anak-anak dari pedalaman mengalami kesulitan dalam konsep pemaknaan. “Ada beberapa persoalan dasar yang menyebabkan guru-guru tercengang. Awalnya sulit memahami mengapa anak-anak setingkat SMA sulit mengenali huruf dan membedakan arti kata,” ujarnya.
Para siswa asal pedalaman Papua acap menemukan kesulitan di mata pelajaran Matematika. “Dari sepuluh soal penjumlahan bilangan pecahan, rata-rata ada lima sampai sepuluh anak mampu menjawab dengan benar semua soal itu, lainnya keliru,” ungkap Johanes, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMA Adhi Luhur, Nabire.
Untuk itu, katanya, para guru mau tidak mau harus kembali mengolah mereka, menyediakan waktu lebih lama untuk membantu para siswa memahami pelajaran yang diajarkan.
Harus diakui ada perbedaan antara siswa yang berasal dari pedalaman dan siswa yang berasal dari kota kabupaten. Mereka yang berasal dari kota pada umumnya memiliki wawasan dan cara pandang yang lebih luas tentang suatu hal dibandingkan dengan mereka yang berasal dari pedalaman.
Mereka yang berasal dari kota kabupaten memanfaatkan teknologi, seperti televisi, radio, dan internet, untuk menambah pengetahuan. Tidak demikian dengan para siswa dari pedalaman.
Meskipun demikian, melalui pendampingan yang serius, biasanya para siswa yang berasal dari pedalaman tersebut mampu mengejar ketertinggalan mereka.
Karena itu, saat ini salah satu guru di SMA itu, Pater Ch Aria Prabantara, tengah menggagas pengajaran dengan menggunakan video. “Visualisasi yang ditampilkan diharapkan mampu membantu anak-anak di Papua memahami berbagai hal yang dikenalkan kepadanya,” ujarnya.
Langkah itu dinilai mendukung karena umumnya anak Papua kuat pada sisi motorik dan diharapkan upaya itu mampu membuka potensi kecerdasan anak-anak Papua.
Staf Departemen Pendidikan Nasional Julianus Koayo mengatakan, untuk mengatasi minimnya tenaga guru dan kompetensi guru yang pada umumnya lulusan sekolah pendidikan guru, setara SMA, pihaknya melakukan pemetaan kondisi pendidikan di pedalaman Papua.
“Pemetaan yang tengah kami lakukan berkaitan dengan pengelolaan dana otonomi khusus. Pemetaan itu, salah satunya, dilakukan untuk membuat kategori-kategori wilayah seperti terpencil atau sangat terpencil.”
“Suatu daerah sangat terpencil, misalnya, tentu akan membutuhkan dana yang lebih agar proses pengajaran dan pendidikan di daerah itu terselenggara dengan baik. Misalnya, untuk membantu pengembangan pendidikan di kawasan itu buku-buku harus dikirim dengan pesawat terbang dan guru-guru tentu harus memperoleh insentif lebih agar dapat bertemu dengan rekan-rekannya yang lain untuk meningkatkan kompetensi mereka,” ujar Koayo.
Semoga semua yang direncanakan itu benar adanya. Apalagi jika mengingat bahwa otonomi khusus Papua sudah berlangsung enam tahun (sejak tahun 2001). Dengan demikian, anak-anak asli Papua, khususnya yang berdiam di pedalaman, bisa mengenyam pendidikan seperti yang dinikmati oleh saudara-saudara mereka di kawasan lain di negeri ini.
Bagaimanapun, mereka memiliki potensi menjadi intelektual unggul mengingat tidak sedikit anak-anak pedalaman Papua yang telah meraih gelar sarjana, bahkan ada yang meraih gelar doktor.