KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO

Lalu lintas darat dari Nabire menuju Enarotali, Papua, saat ini semakin lancar dan ramai meskipun di beberapa titik jalan berlumpur dan tak jarang menjebak kendaraan yang melintasinya, seperti terlihat pada 18 Agustus lalu.

Liputan Kompas Nasional

Sarana Jalan: Dahulu Perlu Setengah Hari, Kini Cukup 45 Menit

·sekitar 6 menit baca

Tujuh tahun lalu, sedikitnya dibutuhkan waktu lima hari berjalan kaki dari Kota Nabire yang terletak di pesisir Teluk Cenderawasih menuju Kecamatan Waghete di pedalaman Papua. Kala itu kondisi jalan lintas belum baik sehingga kendaraan roda empat tidak bisa masuk ke wilayah pedalaman.

Ketika itu berbagai bahan makanan seperti beras, gula, makanan kaleng, serta bahan bakar dikirim ke pedalaman dengan menggunakan pesawat terbang. Tidak mengherankan jika di pedalaman harga barang-barang itu menjadi sangat mahal.

Meskipun ada jalan lintas Nabire-Enarotali, kondisinya juga saat itu rusak parah. Di beberapa titik tebing longsor dan menutup jalan, bahkan beberapa jembatan penghubung putus. Dari Nabire jalan lintas yang telah diaspal hanya mencapai kawasan Topo, lebih kurang sepanjang 50 kilometer.

Kini kondisi jalan lintas itu berangsur membaik. Lalu lintas darat dari Nabire menuju Enarotali semakin lancar dan ramai meskipun di beberapa titik jalan masih berlumpur dan tak jarang menjebak kendaraan yang melintasinya.

Beberapa jembatan besar sedang dibangun menggantikan jembatan lama yang telah rusak. Untuk melintasinya, pengendara mobil dan sepeda motor harus melaju membelah aliran sungai yang kadang-kadang meluap.

Meskipun demikian, lalu lintas darat yang menghubungkan dua kota itu semakin hari semakin ramai. Truk, mobil bak terbuka berpenggerak empat roda, hingga sepeda motor tampak hilir mudik meskipun perjalanan dari Nabire menuju Enarotali membutuhkan waktu lebih kurang setengah hari perjalanan. Dari Nabire, seseorang hanya perlu membayar Rp 450.000 untuk sampai Moanemani atau Rp 750.000 untuk sampai Enarotali. Tujuh tahun lalu, harga yang sama dibayarkan untuk tiket pesawat terbang dengan tujuan yang sama.

Pembangunan infrastruktur jalan dan lainnya harus diakui telah membuat mobilitas warga menuju pedalaman Paniai makin mudah. Jika tujuh tahun lalu dibutuhkan waktu setengah hari jalan kaki dari Waghete menuju Enarotali, saat ini hanya lebih kurang 45 menit.

Di masa lalu, sesampai Pasir Putih di tepi Sungai Yaweh, seseorang harus menggunakan koma, perahu tradisional suku Mee, untuk mencapai Enarotali yang berada di tepi Danau Paniai. Sekarang orang dapat duduk tenang di dalam kabin mobil Toyota Kijang Innova yang bisa membawanya dari Pasar Waghete menuju Enarotali. Untuk itu, cukup bayar Rp 50.000.

Kini orang tidak perlu lagi menggunakan koma karena sudah ada jembatan besar yang melintang di atas Sungai Yaweh. Namun, apakah perkembangan itu kemudian menggerakkan perkembangan yang lain, seperti ekonomi, sosial, dan budaya?

Tujuh tahun lalu di Waghete hanya ada satu sepeda motor dan tiga sepeda. Tak ada satu mobil pun. Kini belasan mobil dan sepeda motor hilir mudik di sana, belum lagi truk-truk proyek pembangunan bandar udara yang melintas membawa material.

Penonton

Makin lancarnya lalu lintas darat memang telah membuat berbagai harga kebutuhan di pedalaman menjadi relatif stabil. Jika tujuh tahun lalu harga satu liter bensin mencapai Rp 10.000, kini harga itu tetap tak beranjak. Harga satu kilogram beras pun masih dalam kisaran Rp 7.000 hingga Rp 10.000 per kilogram.

Pasokan berbagai macam kebutuhan makin lancar dan orang tidak perlu lagi menunggu pesawat terbang untuk membawa barang pesanannya.

Namun, fenomena yang sama ternyata masih ditemukan. Salah satunya, banyaknya warga asli yang hanya menjadi penonton. Setiap hari dengan mudah dijumpai laki-laki suku Mee berdiri di depan kios-kios di Pasar Moanemani, Waghete, dan Bomomani yang tak satu pun dimiliki oleh warga asli Papua.

Mereka hanya melihat-lihat isi kios itu dan melihat siapa yang datang membeli. Kadang-kadang mereka bertanya, “Bos, ada kerjakah?”

Sebagian besar kaum perempuan asli Papua menjual sayur dan ikan yang ditangkap dari Danau Tigi. Mereka menggelar hasil tangkapannya itu di pinggiran perempatan pasar Waghete. “Mereka tidak sanggup membangun kios,” kata Meliana Douw, warga Waghete.

Kios-kios baru yang didirikan di lapangan, di timur Pasar Waghete pun, lanjut Meliana, adalah milik pendatang yang menyewa tanah milik warga asli. “Tarifnya Rp 200.000 per bulan,” ucap Meliana.

Selain itu, lebih dari 100 mobil yang melayani rute Waghete-Enarotali atau Enarotali-Nabire nyaris 98 persen dimiliki pendatang. Lalu, di mana warga asli dalam pertarungan ekonomi tersebut?

Kondisi yang demikian tentunya harus mendapat perhatian khusus dan segera ditangani. Kelalaian mencermati hal itu bisa meningkatkan kecemburuan sosial yang sudah ada dan terus berkembang. (JOS/SEM)

Infrastruktur: Jika Janji Itu Kosong, “Kitorang” Melompat Gunung

Ucapan Darius Gaby (48) siang itu terdengar sederhana tetapi mengandung makna yang amat dalam. Waktu itu kami bertanya tentang fungsi jalan beraspal yang kebetulan belum terdapat di desanya, Desa Wadangka, 50 kilometer timur laut pusat Kabupaten Jayawijaya, Papua. Ia mengatakan, “Kami berharap jalan beraspal itu segera terwujud. Tetapi, jika janji itu kosong semata, kami bisa mencapai kota dengan melompat gunung.”

Pernyataan Gaby itu sekilas terasa menggelikan. Namun, ternyata dia serius. Gaby menyatakan, akibat minimnya moda transportasi, belum representatifnya kondisi jalan, sekaligus tidak punya uang, mereka biasa menuju pusat kota Wamena dengan berjalan kaki, membelah hutan, naik-turun Gunung Yomosi. “Tidak sampai setengah hari kami bisa mencapai Pasar Jibama di Wamena,” ujarnya.

Belum selesai

Kampung Wadangka sebenarnya dilalui Jalan Trans Papua (dulu disebut Trans Irian), yakni jalan yang menghubungkan Jayapura-Wamena yang panjangnya 585 kilometer. Ironis, jalan yang sudah dicanangkan pembangunannya sejak pertengahan tahun 1985 oleh Presiden Soeharto, presiden kala itu, belum juga selesai dibangun. Dari arah Wamena, jalan yang sudah beraspal saat ini baru sampai Kilometer 37.

Dari Kilometer 37-48 masih setengah aspal, berlanjut jalan “sungai mati”-jalan tanah berlubang yang mirip aliran sungai mati ketika kemarau dan dipenuhi genangan air di musim hujan-hingga Kilometer 140. Kilometer selanjutnya, hingga masuk ke Distrik Lereh, Kabupaten Jayapura, praktis tidak bisa dilalui kendaraan bermotor. Kawasan ini sebenarnya sudah dibuka pada tahun 1990-an, tetapi kemudian tertutup karena teramat jarang dilalui kendaraan.

“Kami bisa mencapai Distrik Elelim di Kilometer 140 itu naik angkutan jenis (Toyota) hard top dengan biaya paling murah Rp 200.000, atau jalan kaki. Pernah ada anggota misi Injil yang mencapai Lereh dari sini, butuh waktu 2-3 minggu mencapai wilayah tersebut,” tutur Gaby.

Realitas infrastruktur secara umum di Papua, khususnya kawasan Pegunungan Tengah, memang masih memilukan. Sebagian warga bahkan menyatakan selama ini tidak ada kemajuan berarti di sana. Semua masih sama, jalan belum dibangun, listrik belum menyala.

Soal listrik, Wamena juga menyajikan contoh yang pas. Hanya Kota Wamena saja yang sekarang sudah “menyala”. Sejumlah distrik lain, misalnya Kurulu, Yelangga, dan Bolakme, belum dialiri listrik PLN sama sekali. Padahal, instalasi listrik sudah terpasang hingga Kurulu. Sungai Baliem, yang notabene sudah dimanfaatkan untuk pembangkit listrik tenaga mikrohidro berkemampuan hingga 500 kilowatt-yang menerangi Wamena dan sekitarnya-pun sebenarnya bisa dijadikan modal dasar. Namun, kenyataannya potensi itu tidak dimanfaatkan.

Ketergantungan

Di bidang transportasi, ketergantungan masyarakat pegunungan tengah Papua terhadap angkutan udara pun teramat besar. Dampaknya, harga barang-barang yang dibutuhkan masyarakat menjadi mahal. Semen, misalnya, harganya bervariasi, Rp 500.000-Rp 1,5 juta per zak. Bahkan, air mineral 1,5 liter dijual Rp 18.000, atau enam kali lipat dari harga yang berlaku di Sorong dan Manokwari.

Dalam rapat kerja bupati/wali kota setanah Papua di Biak, April 2007, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua memang bertekad memprioritaskan penyelesaian sekaligus merawat sebaik-baiknya infrastruktur jalan di seluruh tanah Papua yang panjangnya mencapai 4.677 kilometer. Untuk itu, konon dibutuhkan dana Rp 51,3 triliun.

“Kami tidak dapat sekadar bergantung pada dana APBN untuk merealisasikan hal tersebut karena pasti tidak selesai-selesai. Harus dicari terobosan khusus, misalnya bekerja sama maupun mencari pinjaman dari pihak swasta atau pihak asing,” ungkap Gubernur Barnabas Suebu kala itu. Pembangunan infrastruktur jalan tersebut direncanakan selesai pada tahun 2027.

Semoga semua itu tak sekadar wacana dan bisa berjalan baik, sehingga Gaby tak perlu melompat gunung lagi…. (BENNY DWI KOESTANTO/ICHWAN SUSANTO)

Artikel Lainnya