KOMPAS/NASRULLAH NARA

Nelayan suku Buton, Rabu (22/8), bercengkerama di dermaga dekat perkampungan mereka di Pulau Kosong, selatan Kota Jayapura, Provinsi Papua. Atas persetujuan pemegang hak ulayat setempat, mereka turun temurun menghuni pulau tersebut dengan damai.

Liputan Kompas Nasional

Semangat Integrasi: Orang Buton “Berdamai” di Pulau Kosong

·sekitar 5 menit baca

Kaus dan celana pendek yang dikenakan Muhammad Angga (44) masih tampak basah. Pria asal Buton, Sulawesi Tenggara, itu baru saja memikul tiga jeriken berisi air bersih dari sebuah perahu ke rumah panggung yang dihuninya bersama keluarga.

“Aduh, maaf, pakaian saya masih basah,” ujarnya ketika ditemui tim Ekspedisi Tanah Papua Kompas 2007 pekan ini di teras rumahnya yang terletak di bibir pantai Pulau Kosong, Kampung Tahima Soroma Kayu Pulo, Distrik Jayapura Selatan, Provinsi Papua.

Mengangkut air dengan perahu dari Pantai Hamadi dan Pantai Weref, Jayapura Selatan, ke rumahnya yang berjarak sekitar satu kilometer atau lima menit dengan perahu bermotor adalah kegiatan sehari-hari Angga dan sekitar 100 keluarga lainnya penghuni pulau itu.

Mereka adalah warga suku Buton yang sudah tiga generasi menghuni Pulau Kosong. Pulau seluas sekitar tiga hektar yang dominan berupa bukit kapur itu mereka huni sejak tahun 1970, atas izin pemegang hak tanah ulayat warga asli Papua bermarga Yowe, Sibi, Hay, dan Soro.

Pemberian izin terhadap warga asal Buton untuk menghuni pulau yang berhadapan dengan Teluk Yotefa itu merupakan bagian dari sejarah interaksi antara kaum pendatang dari Sulawesi dan warga asli Papua. Bersamaan dengan kian derasnya kedatangan suku Bugis dan Makassar (asal Sulawesi Selatan) pada tahun 1960-an, orang-orang dari Pulau Buton dari Pulau Muna (Sulawesi Tenggara) pun berdatangan ke Papua.

Tiga suku pendatang tersebut lazim disebut BBM, singkatan dari kata Bugis, Makassar, dan Buton. Dalam bahasa gaul, mereka inilah yang biasa disebut amber alias berambut lurus, kebalikan dari kata komin alias berambut keriting. Orang-orang Bugis-Makassar lebih banyak mengadu nasib di sektor perdagangan. Adapun orang Buton lebih banyak menekuni kegiatan penangkapan ikan.

Karena kentalnya kehidupan orang Buton dengan kegiatan melaut, tiga komunitas adat pemegang tanah ulayat di pesisir selatan Jayapura akhirnya mengizinkan area Pulau Kosong untuk mereka huni secara gratis.

Di samping itu, pada tahun 1970-an, bibir pantai Jayapura bagian selatan, seperti Hamadi dan Weref, memang sudah mulai disesaki rumah-rumah pendatang, terutama suku Bugis dan Makassar.

Gejala yang paling menonjol adalah menancapnya tiang-tiang rumah panggung hingga pada posisi menjorok beberapa meter ke arah laut. Sebagian badan rumah berpijak di daratan. Separuhnya lagi-terutama bagian dapur-berada di atas air laut, disangga tiang-tiang yang menancap di laut.

“Saat itu hampir sudah tidak ada lagi lahan untuk mendirikan rumah buat warga pendatang dari Buton. Hanya satu-dua keluarga asal Buton yang telanjur punya rumah di Hamadi dan Weref. Yang datang belakangan mendirikan rumah di Pulau Kosong,” kata Laode Haeruddin (61) menceritakan kisah pembangunan di pulau itu.

Haeruddin sendiri yang sudah menginjakkan kaki di Papua sejak 40 tahun silam adalah salah satu warga Buton yang telah mendirikan rumah di kawasan Weref. Di usianya yang menginjak senja, Haeruddin banting setir dari profesi nelayan menjadi tukang ojek perahu. Setiap hari perahunya yang mengandalkan mesin berkekuatan tiga tenaga kuda tertambat di sebuah dermaga kecil, di kawasan Weref.

Ayah dari tujuh anak yang sudah beranjak remaja dan dewasa ini melihat tukang ojek perahu lebih berprospek ketimbang terus menangkap ikan di laut lepas. Harap maklum, sekitar 100 keluarga yang menghuni Pulau Kosong setiap hari harus bolak-balik antara daratan Jayapura dan rumah mereka di pulau kecil itu. Macam-macam urusan yang membuat warga setempat bolak-balik dan mengandalkan perahu penyeberangan.

Sebutlah, misalnya, kebutuhan transportasi bagi bagi anak-anak yang bersekolah di pusat kota Jayapura. Belum lagi ibu-ibu yang belanja rutin untuk kebutuhan bahan pokok di Pasar Hamadi dan Entrop. Tarif ojek perahu untuk anak sekolah dipatok Rp 1.000, sedangkan untuk orang dewasa Rp 2.000. Lima tahun belakangan ini makin banyak orang yang bolak-balik ke Pulau Kosong karena hadirnya “orang pintar” semacam paranormal di sana, yang diyakini mampu mengobati macan-macam penyakit.

Pelayanan publik

Walaupun hunian mereka hanya terpisah satu kilometer dari daratan Kota Jayapura, warga Pulau Kosong hingga kini hidup di lingkungan yang tanpa sekolah, pusat kesehatan masyarakat, air bersih, maupun listrik PLN.

“Karena itu, kami terpaksa membeli genset. Kami butuh dua liter bensin sehari untuk penerangan sekitar lima jam,” kata Angga.

Mengenai sekolah anak-anaknya, Angga mengatakan, mereka harus menimba ilmu di wilayah daratan. “Jadi, pagi-pagi sejak pukul 06.30 WIT mereka sudah menuju dermaga untuk naik ojek perahu dan kemudian naik taksi (angkutan kota Jayapura) ke sekolah. Dalam sehari setiap anak membutuhkan biaya paling kurang Rp 8.000, termasuk untuk jajan,” kata Angga menambahkan.

Untuk kebutuhan air bersih, lanjutnya, mereka juga harus membelinya di pangkalan PDAM di daratan Jayapura. “Setiap tiga jeriken yang masing-masing berkapasitas 20 liter harganya Rp 50.000,” ujar Angga.

“Kami di sini minim pelayanan publik. Kami cuma dijenguk saat kampanye politik, setelah itu orang-orang yang dulunya meminta suara dari kami tak pernah lagi menampakkan batang hidungnya,” tutur Waode Munah (47), warga Pulau Kosong yang sudah lima tahun ditinggal mati suaminya dan kini harus menghidupi dua anaknya dengan cara berjualan ikan di pasar.

Berdamai dengan keadaan

Berdamai dengan alam dan keadaan adalah kelaziman bagi warga Pulau Kosong agar hidup ini mereka lakoni dengan enteng. Sebagai orang laut, kesulitan air bersih, misalnya, mereka siasati dengan caranya sendiri. Untuk keperluan mandi, mereka terlebih dahulu menceburkan diri ke laut. Setelah merasa semua kotoran pada tubuh sudah hilang, naiklah mereka ke rumah panggung untuk membilas badan dengan 2-3 liter air bersih.

Hanya dengan prinsip menyiasati hidup pulalah mereka bisa menyisihkan uang hasil pendapatan dari melaut untuk ditabung demi pendidikan anak-anak mereka. Uang yang diperoleh secara tidak menentu lantaran cuaca tak selamanya bersahabat tak langsung habis dibelanjakan begitu saja. Mereka sadar bahwa dalam hasil pendapatan Rp 500.000 dari perolehan ikan tuna, cakalang, dan bawal, misalnya, terdapat ongkos bensin atau solar minimal separuhnya.

“Kami tidak mau tertular kebiasaan minum minuman keras yang potensial membuat manusia lepas kontrol,” ujar Angga.

Bisa jadi karena kemampuan menyiasati alam dan lingkungan sosial-budaya di sekitarnya, orang-orang Buton tetap hidup dengan damai di Pulau Kosong. Sebuah pulau yang menjadi simbol interaksi orang Buton dengan orang asli Papua.

Artikel Lainnya